Transisi Energi: Transisi Menuju Kendaraan Listrik Semakin Nyata?
Oleh: Defiyan Cori(Ekonom Konstitusi)
SEMANGATNEWS.COM-Mengurangi ketergantungan pada barang/jasa impor dan memproduksi subtitusinya di dalam negeri harus mulai terus digencarkan. Apalagi, kecenderungan melakukan impor atas barang/jasa baik itu Minyak dan Gas bumi (migas) maupun non migas terkait fluktuatifnya nilai Rupiah terhadap US$ yang tajam mengakibatkan terkurasnya devisa negara. Khusus produk migas, Indonesia sejak tahun 2004 sudah menjadi negara pengimpor minyak neto (net oil importer) karena minyak yang diproduksi tidak mencukupi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri sehingga impor menjadi keniscayaan!
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor migas Indonesia selama empat (4) tahun terakhir, yaitu 2019-2023 telah mengalami kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2019, nilainya sudah mencapai US$21.885,3 juta atau setara dengan Rp312,96 triliun (kurs US$1= Rp14.300) dan pada tahun 2022 telah meningkat menjadi US$40.416,4 juta yang nilainya setara Rp636,558 triliun (kurs US$1=Rp15.750). Artinya terdapat kenaikan jumlah US dollar yang dibutuhkan setiap adanya peningkatan jumlah impor migas yang akan menggerus devisa negara dan lebih banyak Rupiah yang harus disediakan.
Sementara itu, meskipun Indonesia juga mengekspor migas pada tahun 2019 namun hanya senilai US$11.789,3 juta atau setara dengan Rp168,59 triliun, dan pada tahun 2022 meningkat sedikit menjadi senilai US$15.998,2 juta atau setara dengan Rp251,17 triliun. Nilai ekspor migas lebih rendah dibandingkan dengan impor yang dilakukan untuk menutupi konsumsi atau terjadi defisit migas sejumlah rata-rata US$10.789 juta hingga US$25.583 juta atau setara Rp169,9 – Rp402,9 triliun. Tidak ada artinya nilai ekspor migas Indonesia dengan nilai devisa yang harus dikeluarkan untuk mengimpor migas atas selisih kurs Rupiah yang terdepresiasi terhadap US dollar.
*Impor Migas dan BBM Harus Ditekan*
Atas permasalahan itu, maka transisi energi atau perpindahan konsumsi dari bbm yang tidak bersih dan tidak ramah lingkungan menjadi relevan dijalankan. Relevansinya, tidak saja terkait adanya isu dunia (global) terkait perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, tapi juga diversifikasi energi dan pengelolaan keuangan negara khususnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih efisien, efektif dan masuk akal (rasional). Lalu, bagaimanakah perkembangan jalannya transisi energi di Indonesia pasca Kesepakatan Paris (Paris Agreement) pada 22 April 2016 sebagai salah satu anggota negara maju yang tergabung dalam G20?
Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Paris 2016 tersebut melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 dan pengaruhnya secara bertahap telah mampu menarik keikutsertaan masyarakat sebagai konsumen. Pengaruh itu terlihat pada perkembangan penjualan kendaraan listrik (electrical vehicle/EV) selama periode 2019-2023 sebagai salah satu cara dalam mengurangi penggunaan bbm sumber fosil. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) populasi kendaraan listrik berbasis baterai di Indonesia mengalami pertumbuhan cukup baik.
Pada tahun 2019 jumlah penjualannya adalah 1.437 unit, tahun 2020 sejumlah 3.894 unit, tahun 2021 meningkat 15.883 unit, tahun 2022 meningkat tajam, yaitu 41.743 atau sebesar 162,8%. Penjualan kendaraan listrik ini semakin meningkat tajam pada tahun 2023 mencapai 116.438 unit, dan pada April 2024 total penjualannya telah mencapai 133.225 unit. Populasi kendaraan listrik berbasis baterai di Indonesia mengalami pertumbuhan dilihat dari tahun 2019 sebesar 1.437, tahun 2020 sebesar 3.894, tahun 2021 sebesar 15.883, tahun 2022 sebesar 41.743, tahun 2023 mencapai 116.438, dan pada April 2024 total mencapai 133.225.
Ada baiknya juga memperhatikan data jumlah total kendaraan bermotor menurut Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas Polri) pada bulan September Tahun 2021 yang berjumlah 143.340.128 unit. Dan, dari total jumlah kendaraan bermotor tersebut jenis sepeda motor merupakan yang terbesar yaitu 122.269.129 unit atau porsinya sebesar 85,3 persen. Sementara, jumlah kendaraan umum seperti mobil penumpang hanya 14.914.534 unit (10,4%), kendaraan komersial 5.449.802 unit (3,8%) dan bus 217.791 unit (0,15%).
Dua tahun kemudian, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia yang aktif sampai periode 9 Februari 2023 telah mencapai 153.400.392 unit atau mengalami peningkatan sejumlah 10.060.264 unit (naik 6,5%). Angka tersebut mencakup 147.153.603 unit kendaraan pribadi yaitu 127.976.339 unit sepeda motor (87%) dan 19.177.264 mobil pribadi, selain itu merupakan angkutan barang dan orang, yaitu 5,7 juta unit mobil besar, 213.788 unit bus, dan 85.113 unit kendaraan khusus. Artinya, terdapat kenaikan jumlah kendaraan bermotor, khususnya kendaraan pribadi dan sepeda motor yang signifikan mempengaruhi jumlah dan pola konsumsi BBM secara rata-rata nasional.
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor pribadi sebesar 6,5 persen tersebut jelas membutuhkan tambahan pasokan kebutuhan BBM. Data ini terkonfirmasi dalam ‘Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022’, yang menunjukkan bahwa impor produk kilang seperti BBM mengalami kenaikan sebesar 12,6% dalam periode 2019-2022. Pada tahun 2019 impor produk olahan kilang hanya tercatat sejumlah 24,73 juta kl, sedangkan tahun 2022 impor BBM telah sejumlah 27,86 juta kilo liter (kl). Dengan demikian, terdapat kenaikan impor produk BBM sejumlah 3,13 juta kl yang menguras devisa negara sejumlah Rp324 triliun lebih sebagai dampak depresiasi mata uang Rupiah terhadap US dollar.
Akibat selisih kurs Rupiah terhadap US dollar, BPS telah mencatat sampai bulan Maret 2024 impor migas dan BBM telah mencapai 4,66 juta kl. Jumlah impor ini mengalami peningkatan dibanding bulan Februari 2024 yang hanya sejumlah 4,29 juta kl. Jika angka ini konstan diperkirakan impor migas dan BBM pada bulan Juni 2024 bisa mencapai kurang lebih 15 juta kl. Data ini membuktikan, bahwa penyebab defisit transaksi berjalan (CAD) sehingga munculnya kebijakan importasi migas dan BBM adalah sektor transportasi. Kontribusi sektor transportasi ini menurut data Bank Indonesia pada bulan Mei 2024 dalam membentuk defisit transaksi berjalan mencapai 79 persen. Apakah pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto periode 2024-2029 akan melanjutkan kondisi yang menggerus devisa dan keuangan negara dengan mengimpor BBM kotor dan tidak ramah lingkungan?