Teori Hans Kelsen Vs Teori Sosiologi dalam Kasus Shin Tae-yong Vs Patrick Kluivert
*Oleh Wina Armada Sukardi*, _Analis Sepak Bola_
Kedatangan pelatih baru kesebelasan nasional Indonesia asal Belanda, Patrick Kluivert, Sabtu malam, 11/1/ di bandar udara (bandara) Soekarno-Hatta (Soeta), masih belum sepenuhnya menghilangkan kontraversi dan tanda tanya besar apa sebenarnya yang terjadi di balik pergantian dari Shin Tae-yong ke Patrick Kluivert. Penjelasan langsung oleh ketua umum PSSI Erick Thohir pun tidak lantas segera menghentikan berbagai tanda tanya apa gerangan sejatinya alasan pergantian Shin Tae-yong.
Jika diselisik lebih lanjut, prestasi Shin Tae-yong tidaklah buruk, kalau tak mau dibilang baik atawa sangat baik. Shin Tae-yong telah membangun fondasi budaya sepak bola Indonesia yang kukuh: disiplin, profesionalitas dan tentu saja deretan prestasi. Shin Tae-yong yang telah memegang jabatan sebagai pelatih Timnas Indonesia sejak tahun 2020 berhasil menorehkan prestasi, antara lain, membawa Timnas Indonesia menembus ke Piala Asia 2023 dan menjadi semifinalis Piala Asia U-23. Lantas dia juga membawa Indonesia ke ronde ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Dan, bukan tidak mungkin, jika diberikan kesempatan, dia mampu menciptakan sejarah baru untuk sepak bola Indonesia, yakni berhasil menempatkan Indonesia menjadi salah satu peserta Piala Dunia tahun 2026. Tapi impiannya membawa Indonesia ke kejuaraan dunia itu kandas, lantaran dia keburu “dipecat.”
Dilihat dari sisi ini, penghentian Shin Tae-yong menjadi kontraversial dan mengejutkan, bahkan nyaris di luar akal sehat. Apalagi persiapan kesebelasan Indonesia ke ajang Piala Dunia tinggal tersisa dua bulan lagi.
Di balik ketidakjelasan itu, setidaknya kita dapat menemukan beberapa alasan pemecatan Shin Tae-young.
Pertama, seperti dikatakan Erick Thohir, ada masalah komunikasi antara pemain dan pelatih. Hal ini menyebabkan adanya kegelisahan, bahkan ketidakpuasan, dari sebagian pemain kepada pelatih Shin Tae-yong. Ini dianggap dapat meruntuhkan kesatuan tim Indonesia.
Kedua, manakala Indonesia melawan China dan Indonesia keok, Shin Tae-yong dinilai tidak menurunkan komposisi tim terbaik karena faktor sentiman ke beberapa pemain. Shin Tae-young menganggap ada pemain yang tidak patuh terhadap strateginya. Oleh sebab itu susunan pemain rada aneh dan rada “ala kadarnya.” Wahasil, kesebelan Indonesia babak belur. Padahal melawan China kala itu, Indonesia diharapkan wajib menang. Kekalahan dari China bukan sekedar dipandang sebagai tanggung jawab Shin Tae-yong tapi juga membuat solidaritas pemain dan pelatih juga menjadi goyah.
Kemenangan Indonesia melawan Arab Saudi di Jakarta kemudian pun agak di luar skenario Shin Tae-yong. Kala itu, pergerakan bintang Indonesia Marselino Ferdinan, sesungguhnya di luar strategi Shin Tae-yong. Akibatnya Marselino malah nyaris diganti. Beruntung Marselino dapat menunjukkan tajinya dengan mencetak dua gol.
Alasan berikutnya, prestasi di Piala AFF sangat memukan. Bukan saja dia tak mampu membawa Indonesia lolos dan pase group, tetapi juga mengukir sejarah buruk: Indonesia “dibunuh” Filipina di kandang sendiri. Padahal sebelumnya Filipina hampir selalu menjadi bulan-bulan Indonesia.
*Teori Hukum Hans Kelsen*
Dalam dunia hukum ada teori dari filosof terkenal Hand Kelsen. Dalam ilmu hukum pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen di sebut _The Pure Theory Of Law_: teori hukum murni. Artinya, dalam penegakkan hukum harus murni hanya berdasarkan faktor-faktor hukum. Unsur di luar hukum sama sekakl tidak boleh mempengaruhi penegakkan hukum.
Menurut Hans Kelsen, sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Intinya norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi. Norma hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Sedangkan kaidah hukum yang tertinggi ialah konstitusi. Teori ini dikenal teori hukum stufenbau atau teori hukum berjenjang.
Jika teori Hans Kelsen diterapkan dalam kasus Shin Tae-yong, tolak ukurnya harusnya hanya pada faktor-faktor sepak bola saja. Unsur-unsur di luar sepak tidak boleh dimasukkan sebagai pertimbangan. Dengan kata lain, ukurannya apakah prestasi yang dihasilkan di lapangan sepak hanya boleh dilihat dari hasilnya bagus atau tidak.
Dari pendekatan ini, faktor di luar prestasi sepak tidak boleh dipakai dan harus disingkirkan.
Apakah dalam pengelolaan tim, ada komunukasi yang kurang lancar, ada protes atau ketidakpuasan, itu bukan masalah dan tidak boleh dijadikan masalah, sepanjang prestasi sepak bolanya bagus. Tak peduli strategi dipahami pemain atau tidak, pelatihnya “ditaktor” atau tidak, asal hasilnya bagus, prestasinya tinggi, tak ada masalah.
Dari pendekatan ini kepelatihan Shin Tae-yong harus diakui baik. Prestasi Shin Tae-yong dalam menangani kesebelasan Indonesia patut dibanggakan. Tak ada alasan untuk “menyingkirkannya.”
*Teori Sosiologis*
Berbanding terbalik dengan teori dari Hans Kelsen, di dunia hukum juga ada teori soaiologi hukum. Secara sederhana teori ini menerangkan penegakkan hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dari kenyataan dan faktor-faktor sosial. Hukum menurut teori ini, bukan menara gading yang terpisah dari lingkungan sosialnya. Jelasnya ada hubungan timbal balik antara hukum dengan struktur sosial, lembaga sosial, budaya, ideologi, dan nilai-nilai.
Hukum tak mungkin ditegakkan tanpa memperhatikan aspek kenyataan sosial. Misalnya peraturan kecepatan di jalan tol harus antara 70 – 100 km per jam. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih. Jika terjadi kemacetan sehingga kenyataan kecepatan tak dapat lebih dari 30 km per jam, apakah semua harus dihukum? Menurut teori sosiologi hukum, tentu tidak.
Jika diterapkan dalam kasus Shin Tae-yong , walaupuh dia berhasil mengapai hasil baik, tetapi kalau dalam kenyataan banyak api dalam sekam, jabatannya setiap saat dapat ditinjau kembali. Walaupun sepak bola memang soal prestasi menang atau kalah, tetapi keharmonisan, kepemimpinan dan komunukasi sangat penting. Apalagi dalam konteks keseimbangan kepentingan masa depan sepak bola Indonesia, penilaian tak boleh cuma terpaku pada sepak bola murni. Faktor-faktor sosial, budaya, kepenimpinan, dan komunikasi juga penting menjadi pertimbangan. Pendekatan ini memungkinkan setiap saat semua pelatih dapat dan boleh dievalusi, termasuk Shin Tae-yong . Dan kalau memang dirasakan diperlukan pergantian merupakan sesuatu yang dapat dilakukan. Dari sudut ini pergantian Shin Tae-young hal yang normal saja.
*Harga Mati Target Patrick Kluivert*
Dari proses yang ada PSSI menghendaki ada gabungan kedua teori itu.Prestasi iya, harmonisasi, komunikasi dan kepemimpinan juga iya.
Bagi Pengurus PSSI, prestasi jelas sangat penting. Pelatih kesebelasan nasional Indonesia harus membawa sepak bolah Indonesia kepada lebih yang lebih tinggi. Harus menggapai prestasi yang jelas. Dalam hal ini , Shin Tar-young telah memenuhi syarat yang ada. Namun pengurus PSSI menilai unsur harmonis, solidaritas, komunikasi dan kepemimpinan merupakan hal yang juga penting. Sesuatu yang justru dipandang kurang ada pada Shin Tae-yong. Oleh karena itu Shin Tae-yong dipecat.
Lantas datanglah Patrick Kluivert. Minggu siang, 12/1/2025, dia diperkenalkan secara resmi.
Dalam berbagai wawancara sebelumnya Patrick Kluivert memang memiliki visi harus ada kesatuan yang harmonis antara pemain, pelatih, induk organisasi dan para pendukungnya. Artinya Patrick Kluivert dinilai dapat memenuhi elemen harmonisasi, komunikasi, dan kepemimpinam buat sistem nasional. Oleh sebab itulah dia dipilih untuk diangkat menjadi pelatih baru kesebelasan nasional.
Dari proses ini dapat terlihat, Patrick Kluivert baru memenuhi salah satu syarat teori, tetapi pada sebagian lagi dia belum membuktikannya. Patrick Kluivert baru punya setengah kepingan, tetapi belum punya setengah kepingan lainnya.
Makan dari pendekatan ini, jelas menjadi harga mati bagi seorang Patrick Kluivert harus memberikan prestasi konkrit kepada kesebelasan Indonesia. Dan karena waktunya untuk menembus target masuk sebagai peserta Piala Dunia, Patrick Kluivert tak boleh lagi bertumpu pada proses. Dia harus langsung diukur dengan hasil. Dengan prestasi. Bukan saatnya lagi bicara mengenai pemahaman sosiologis sepak bola Indonesia. Patrick Kluivert sudah dituntut untuk segera mengapai hasil maksimal. Hasil sesuai target.
Target terdekat kesebelasan nasional Indonesia: masuk final menjadi peserta Piala Dunia 2026. Tak soal mau lewat dua besar atau play of melalui empat besar. Pokoknya harus lolos. Kelolosan ini yang sudah ada melekat sebagai ekspetajsi atau harapan pada kepingan kepelatihan Shin Tae-young. Kepingan inilah yang harus dicapai oleh Patrick Kluivert.
Jika kesebelasan Indonesia kalah dari Australia dalam pertandingan tandang dan kemudian di kandang tidak manpu mengalahkan China dan Bahrain, maka kesimpulannya sudah jelas : Patrick Kluivert telah gagal. Dia sudah menghempaskan asa bangsa Indonesia yang sedang tumbuh berkembang. Dia tak berhasil memenuhi teori hasil sepak bola. Dalam hal ini, tak perlu menunggu lama lagi, dan tak perlu lagi ada perdebatan kembali, Patrick Kluivert sudah pasti segera layak didepak.
Jika gagal, Patrick Kluivert hanya menghadirkan sebagian kepingan: yakni aspek komunikasi, harmonis serta kepemimpinan sesuatu yang dinilai kurang atau tidak ada dari Shin Tae-young. Sebaliknya kalau Patrick Kluivert tak berhasil menembus Piala Dunia, dia gagal memberikan prestasi, kepingan yang sudah dimiliki Shin Tae-young. Kalau itu terjadi, sebagaimana sikap profesionalitas kita kepada Shin Tae-young, terhadap Patrick Kluivert pun harus diterapkab hal sama. Profesional. Tak perlu ada belas kasihan untuk memecatnya, walaupun usia kepelatihanbya baru seumur jagung.
Sebaliknya, jika Patrick Kluivert berhasil mencapai hasil yang baik melawan Asutralia dan menang melawan China dan Bahrain, serta meloloskan Indonesia ke Final Piala Dunia 2026, berarti dia mampu menyatukan kepingan sosial yang sudah dimilikinya dan kepingan prestasi yang sebagian sudah dimiliki Shin Tae-young. Dengan kata lain Patrick Kluivert merupakan kepingan hilang yang telah kita temukan kembali untuk menyatukannya dengan Kepingan yang telah kita miliki lewat Shin Tae-young. Dalam konteks ini, tegasnya Patrick Kluivert berhasil menyatukan teori kemurnian sepak bola yang kita pinjem dari teori kemurnian Hans Kelsen dengan teori hukum sosiologis yang merupakan kenyataaan harapan masyarakat bangsa Indonesia.
Dalam dua bulan ke depan sudah akan terbukti mana yang benar dan mana yang blunder.***