Teguh Esha Wafat Terpapar Covid19, Ini Kisah Putra Sulungnya
Catatan Ilham Bintang
Jenasah almarhum Teguh Esha, pengarang novel terkenal ” Ali Topan Anak Jalanan”, Senin (17/5) siang pukul 14.30 WIB dimakamkan di TPU Tanah Kusir dengan protokol covid19.
” Ayah memang terpapar Covid19 “, kata Muhammad, putra sulung Teguh Esha ketika saya hubungi sore tadi. Teguh Esha mengembuskan nafas terakhir Senin subuh pukul 05.30 WIB di RS Suyoto, Bintaro ( bukan pukul 07.23 WIB seperti diberitakan sebelumnya). Almarhum meninggalkan seorang isteri, Ratnanindia Irawati, tujuh anak putra- putri, serta seorang cucu. ” Wasiat ayah untuk anak cucu, supaya rajin membaca Al Quran, ” kata Muhammad.
// Komorbid//
Teguh Esha dirawat di RS Suyoto sejak 10 Mei lalu. Virus covid19 diketahui menggerogoti tubuh almarhum berawal ketika salah satu putri dan suaminya anaknya positif covid19 setelah menjalani test swab PCR tanggal 8 Mei. Pasutri itu kemudian menjalani isolasi mandiri di kamar lantai atas rumahnya. Sedangkan Teguh dan istri tinggal di kamar lantai bawah rumah mereka di Bintaro.
Keesokan harinya, Teguh dan istri menjalani juga test swab. Malam hari diketahui hasil Teguh Positif, sedangkan istri negatif.
” Saya terakhir kontak dengan ayah tanggal 10 Mei itu melalui telepon. Maklum, karena positif pihak RS melarang keluarga besoek,” ujar Muhammad.
Teguh menurut Muhammad memang memiliki penyakit penyerta ( komorbid). Almarhum pernah mendapat serangan stroke dan punya penyakit diabetes. “Sejak dirawat di RS tidak ada kontak dengan almarhum. Tadi sekitar jam 5 subuh lebih sedikit pihak RS mengabarkan ayah sudah tiada “sambung Muhammad yang darinya almarhum memperoleh satu cucu.
// Tiga Bersaudara//
Tiga bersaudara, kakak beradik Teguh Esha, Kadjat Adrai, dan Djoko Prayitno menggumuli dunia jurnalistik dan sastra. Teguh Esha dan abangnya Kadjat Adrai ( bukan adik seperti ditulis sebelumnya) yang paling terkenal dan produktif menulis novel di tahun 1970 an dan 1980-an. Karya-karya mereka banyak diangkat menjadi skenario film Nasional.
Novel ” Ali Topan Anak Jalanan” mengangkat nama Teguh mencapai puncak popularitas, menjadi sosok pengarang penting Indonesia pada masanya. ” Ali Topan Anak Jalanan” tidak hanya muncul dalam versi film tetapi juga sinetron.
Nama lengkap Teguh Esha adalah Teguh Slamet Hidayat Adrai. Ia lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 8 Mei 1947. Pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Ketua IMADA (Ikatan Mahasiswa Jakarta) tahun 1973—1975, Wakil Sekretaris Jendral SOMAL (Sekretariat bersama organisasi- organisasi mahasiswa lokal di Indonesia) tahun 1975—1976, Pemimpin Redaksi Majalah Hiburan Khusus Le Laki.
Lewat novel itu, Teguh memperlihatkan sikapnya yang bebas, dengan gaya bahasa yang kuat dan orisinil. Ia menceritakan dengan lancar kehidupan anak muda Ibukota. Pembangunan watak -watak tokohnya menunjukkan pengetahuannya yang luas mengenai kehidupan serta aspirasi kalangan muda kota MetropolitanJakarta.
// Kado lahiran //
Perkenalan saya dengan Teguh lebih empat puluh tahun lalu. Di Press Club/ Kantor PWI Pusat, jalan Veteran, Jakarta Pusat. Hari itu berlangsung diskusi yang menampilkan dia salah sebagai satu pembicara. Saya ingat persis tanggalnya , 27 Mei 1980, karena putera saya yang pertama Rezanades Mohammad lahir di RS Budi Kemuliaan hari itu.
Dari RS siangnya saya bergeser ke Press Club menghadiri diskusi. Teguh mengucapkan selamat dan menyelipkan amplop sebagai kado atas kelahiran putera saya.
Bukan hanya kadonya yang berkesan — sebanyak 50 ribu rupiah, yang nilainya masa itu sepertiga biaya persalinan kelas 1 di RS Budi Kemuliaan—-tetapi cara Teguh menunjukkan persahabatan, saya nilai luar biasa. Maka itu akan saya kenang selalu sampai kapan pun. Tiap kali Teguh berkunjung ke rumah atau pun ke kantor, saya selalu ingatkan kisah itu. Dia cuma senyum tersipu khas Teguh. Sampai hari ini saya merasa belum pernah membalas kebaikannya.
Sikap solider Teguh yang tinggi kepada kawan, tampaknya berkait dengan latar belakangnya yang cukup pahit di masa lalu.
Ayahnya, Achmad Adrai, seorang tukang listrik, meninggal waktu Teguh Esha masih berusia empat tahun. “Sejak itulah Ibu merangkap jadi bapak,” cerita Teguh, anak ketujuh dari delapan bersaudara itu suatu kali.
Tahun 1959 — Wilujeng A. Adrai, ibunya, dengan alasan “demi pendidikan anak-anak,” mengajak Teguh dan saudara-saudaranya pindah dari Bangil, Jawa Timur, ke Jakarta. Pada usia belasan tahun di Jakarta itu, Teguh merasakan “masa tantangan hidup”. Dia dan kakak atau adiknya harus menjajakan pakaian anak-anak yang dijahit ibunya ke Pasar Tanah Abang, atau menjual kantung kertas ke beberapa toko di situ. Dalam kehidupan yang sulit dan keras, ibunya menetapkan tujuan, yaitu “paling tidak anak-anak harus lulus SMA,” cerita Teguh. Upaya itu berhasil. “Sampai mati pun saya akan mengenang kegigihan ibu. Beliau wanita mulia, sangat memperhatikan pendidikan, moral, dan agama,” kata Teguh bersemangat. Karena itu ia mengakui kebanyakan novelnya membicarakan soal agama dan moral. “Karena pengaruh Ibu,” tambahnya. Novel Teguh antara lain Ali Topan (1977), Ali Topan Detektif Partikelir (1978), Dewi Beser (1979), Dari Januari sampai Desember (1980), Izinkan Kami Bercinta (1981), Anak Gedongan (1981), Dan Penembak Bintang (1981).
Tahun 2000 ia menerbitkan “ Ali Topan Wartawan Jalanan” .
Teguh sering menceritakan alasan yang membuatnya merasa dekat dan bersimpati kepada saya. “ Ada kesamaan dalam keluarga kita Bung Ilham. Kami juga tiga bersaudara terjun di dunia pers, dari nol“ katanya.
Tiada lagi Teguh Esha. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun.