Tafsir Pasal 33 UUD 1945 Atas Frasa Dikuasai Negara: Oleh Defiyan Cori/ Ekonom Konstitusi

by -

Tafsir Pasal 33 UUD 1945 Atas Frasa Dikuasai Negara: Oleh Defiyan Cori/
Ekonom Konstitusi

“Catatan Untuk Ahli Hukum Tata Negara Dan Menteri Keuangan”

Salah satu bentuk pengaturan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah negara kesejahteraan (Welfare State), dapat dicermati dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut juga dijelaskan bahwa, tujuan dikuasai oleh negara adalah untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran untuk rakyat. Hal ini menunjukan bahwa terdapat “hak menguasai” yang dimiliki oleh negara, terhadap sumber daya alam yang terkandung di bumi, air dan yang terkandung di dalam wilayah Indonesia.

Namun, frasa “dikuasai negara” ini kemudian menimbulkan polemik dan permasalahan pelik, yaitu apa yang dimaksud dengan “dikuasai negara”? Apa bentuk hak penguasaan negara”?Bagaimana implikasi pengaturan “hak menguasai negara” terhadap politik ekonomi terhadap penafsiran dari ayat 2 Pasal 33 UUD 1945 mengenai cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak? Sebab, terminologi dikuasai negara dan pemisahan kekayaan negara inilah menjadi pangkal dari perbedaan pandangan atas status badan hukum BUMN dengan PMN yang berasal dari APBN. Dan, BUMN berpotensi atau memiliki peluang luas karena diabsahkan oleh Undang-Undang (UU) dan dikuatkan oleh Putusan MK untuk dipecahbagikan sahamnya (stock split) kepada orang per orang maupun sekelompok orang atau institusi.

Konsepsi dan mandat atas “hak menguasai negara” telah ditafsirkan sepihak oleh para hakim konstitusi dan menjadi yurisprudensi tetap (fasten jurisprudence) setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi pada Tahun 2004. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003,Nomor 002/PUU-I/2003, dan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 yang menafsirkan secara konstan “hak menguasai negara”, sebagai perbuatan merumuskan kebijakan (beleid), merumuskan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad ), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad).

*Penguasaan Negara Atas SDA*
Frasa penguasaan negara ini oleh Mahkamah Konstitusi (MK), melalui Putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang tertanggal 18 September 2014, juga telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN menjadi bagian dari perspektif hak penguasaan keuangan negara dalam paradigma pengelolaan kekayaan negara. Inilah keputusan sesat pikir MK yang para anggotanya merupakan representasi kelompok terdidik, akademisi dan intelektual atas tafsir Pasal 33 UUD 1945!

Dengan keputusan MK itu, maka secara yurisprudensi telah mengakhiri perdebatan mengenai frasa “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” yang terdapat dalam Pasal 2 Huruf g Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang merupakan salah satu unsur dari keuangan negara. Meskipun Undang-Undang ini dengan tegas telah menempatkan kekayaan yang dipisahkan pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara, ketentuan tersebut sering dibenturkan dengan pandangan yang menganut prinsip otonomi badan hukum pribadi (private) dan teori kekuasaan pengelolaan kekayaan negara.

Salah satu pandangan atas perspektif tersebut menyatakan bahwa dengan perubahan bentuk hukum suatu BUMN menjadi PT persero, status kekayaan negara yang bersumber dari pemisahan keuangan negara di BUMN yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dikatakan tak lagi tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan APBN. Inilah pangkal terjadinya kesalahan (misleading) cara berpikir yang menempatkan keuangan negara hanya sebagai modal yang berbentuk penyertaan saham pada BUMN melalui APBN dan tidak melihat proses sejarah panjang perjuangan kehadiran BUMN dimasa kolonialisme dan akumulasi operasional yang dalam pengertian akuntansi dihasilkan dari modal awal dalam bentuk Saham Negara sumber APBN ini.

Mengacu pada terminologi inilah kemudian definisi kekayaan negara yang dipisahkan menurut Pasal 1 angka 10 dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengikuti perintah UU Keuangan Negara. Yaitu, Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Negara. Penyertaan modal yang dilakukan oleh negara (PMN) berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Frasa dipisahkan dari kekayaan negara ini jelas bermasalah dan menyimpang, yang seharusnya dimaknai sebagai pembagian kekayaan negara.

Jelas, frasa itu kemudian menimbulkan permasalahan dan konsekuensi terutama kaitannya dengan Anak-anak Perusahaan (AP) sampai dengan Cucu, Cicit-nya yang berdiri atau lahir dari kehadiran (eksistensi) BUMN induk yang bersumber dari modal atau saham negara ini. Apakah memang benar menempatkan AP bukan merupakan bagian dari BUMN? Mungkinkah AP beserta cucu sampai cicit perusahaan bisa berdiri sendiri tanpa kehadiran BUMN induknya? Hal inilah yang menjadi pertanyaan penting dan krusial atas logika pemisahan kekayaan BUMN dari Kekayaan Negara sebagai sumber permasalahan keuangan BUMN dikaitkan dengan rencana holding-sub holding serta rancangan Initial Public Offering/IPO melalui pemecahan saham negara (stock split) ke pasar modal/bursa menempatkan posisi penguasaan negara berdasar kepemilikan saham menjadi hanya sebesar persentase saham yang tidak diperjualbelikan.

Alih-alih, Pasal 33 ayat 2 UUD 1945, menyatakan bahwa: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, menjadi frasa yang multitafsir apabila tidak ada UU yang memberikan pengertian secara normatif lengkap dan tegas. Sebab, inilah yang telah terjadi selama masa pemerintahan Presiden almarhum Soekarno di era Orde Lama, almarhum Soeharto di era Orde Baru dan era Reformasi, dengan penafsiran masing-masing atas frasa “Dikuasai oleh Negara”. Penafsiran yang didasarkan kepada pemegang kekuasaan sebagai pengendali pemerintahan.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, tafsir dikuasai oleh Negara didefinisikan sebagai negara memiliki wewenang untuk menguasai dan mengusahakan langsung semua perusahaan milik Negara. Penegasan frasa dikuasai negara tentang penguasaan dan pengusahaan langsung melalui perusahaan negara tersebut diatur dalam PERPPU No. 19/1960, yangmana modal perusahaan negara tidak terbagi atas saham-saham. Sementara pada pemerintahan Orde Baru, pengertian “dikuasai negara” terminologinya berubah dari “kepemilikan dan penguasaan secara langsung” menjadi “penguasaan secara tidak langsung”, yaitu kepemilikan seluruh saham dalam Perusahaan Negara diatur melalui PERPPU No.1/1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara.

Sedangkan, diera pemerintahan Reformasi, pengertian “dikuasai negara” berubah sangat drastis dan lebih mencerminkan paradigma liberalisme-kapitalisme. Pengertian “dikuasai negara” bukan lagi dengan kepemilikan Negara secara langsung dan penuh 100 persen, namun juga tidak langsung dengan cara melakukan pemecahan saham (stock split), dan secara umum penguasaan negara melalui kepemilikan saham ditoleransi diatas 50 persen saja. Kebijakan ini telah memberikan peluang sebesar-besarnya kepada investor swasta atau asing untuk memiliki saham di BUMN, dengan perkecualian BUMN tertentu menurut ketentuan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU sektoral terkait. Pada perspektif kebijakan yang ambigu inilah pemaknaan dikuasai negara oleh BUMN dengan pemisahan kekayaan negara akan berada pada titik kritis dan adanya ruang transaksional sebagian pemangku kebijakan.

*Porsi Kepemilikan Dan Kekayaan Yang Dipisahkan*
Pada pasal 77, UU BUMN dinyatakan bahwa untuk BUMN tertentu tidak boleh di privatisasikan, yaitu BUMN yang mendapat tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam, dan yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara. Namun, tafsir BUMN tertentu dalam pasal 77 tersebut, bisa dimaknai berbeda dalam perspektif manajemen organisasi sebuah perusahaan dengan dalih efektifitas dan efisiensi, padahal justru malah sebaliknya.

Bahkan, bisa saja pemaknaan BUMN tertentu ini dapat memisahkan atau membagi-bagi dan tidak terintegrasinya operasional perusahaan terkait rantai pasokan internal (internal supply chain management). Yaitu unit-unit kegiatan usaha yang termasuk dalam rantai produksi/operasi suatu perusahaan yang secara satu kesatuan beroperasi efektif dan efisien dalam membentuk harga/biaya pokok produksi (HPP/BPP) untuk menghasilkan suatu produk tertentu yang akan digunakan oleh konsumen sebagai pengguna terakhir (end user).

Dalam hubungan inilah, maka holding dan sub holding BUMN dapat menjadi “permainan” para pengambil kebijakan dengan meningkatkan valuasinya demi kepentingan menghasilkan laba lebih tinggi tapi orientasi pelayanan publik menjadi minimal. Pada saat perusahaan melalui sub holding ini berkinerja positif dan menghasilkan laba signifikan untuk dimasukkan Kas Negara bisa menjadi alasan untuk melakukan kebijakan privatisasi melalui IPO karena adanya terminologi pemisahan kekayaan negara dalam UU. Sebaliknya, jika perusahaan mengalami kinerja negatif akan menjadi alasan bagi pengambil kebijakan untuk melakukan pembubaran atau penggabungan serta akuisisi yang tidak rasional dengan adanya ruang perburuan rente atas aksi korporasi ini.

Sementara, terminologi kepemilikan (ownership) yang diindikasikan oleh porsi kepemegangsahaman dalam perspektif “dikuasai negara” adalah mutlak dan tidak bisa melalui pemecahbagian saham (stock split). Pemecahbagian saham melalui IPO di pasar bursa tidak saja melanggar konstitusi ekonomi, tapi berdasar kesejarahan (historis) BUMN terbentuk bukan atas dasar Penyertaan Modal Negara (PMN) oleh para pihak, melainkan melalui nasionalisasi perusahaan asing. Jadi, tidaklah tepat kemudian kebijakan IPO selama ini, khususnya untuk BUMN cabang produksi penting, apalagi secara keuangan negara melakukan pemisahan kekayaan.

Oleh karena itu, BUMN yang merupakan cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara/PLN serta merupakan pengemban mandat Pasal 33, ayat 2 bukan saja perusahaan yang bisa dipecah-pecah jaringan atau rantai produksinya, tapi juga memilliki pengelolaan rantai pasok internal (internal supply chain management), mulai dari sumber bahan baku untuk pengolahan atau produksi, pengadaan kebutuhan melalui pelelangan (procurement), pabrikasi dan distribusi sehingga tidak bisa disub- holdingkan apalagi sampai ada rencana melakukan privatisasi melalui IPO, karena sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak ini akan berubah menjadi komoditas pasar bebas untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Makna penguasaan Negara yang berada pada BUMN sektor hajat hidup orang banyak ini, yaitu penguasaan menyeluruh dari hulu produksi sampai ke hilir industrinya menyalurkan ke konsumen akhir.

Dengan pengertian tersebut, maka holding dan sub holding tidak bisa memisahkan jaringan atau rantai kesatuan operasional perusahaan serta harus terintegrasi. Kebijakan sub holding dapat menjadi potensi tergerusnya integrasi dengan holding BUMN karena masing-masing sub holding diharuskan mencapai sasaran dan tujuannya masing-masing. Potensi sub holding untuk diIPO-kan menjadi terbuka apabila merujuk pada ketentuan UU Keuangan Negara dan UU BUMN, padahal Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 menyatakan, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama serta tidak mengenal pemisahan kekayaan negara. Sebab seluruh kegiatan operasi yang dihasilkan oleh BUMN menjadi potensi penerimaan negara yang berasal dari laba usahanya dimasukkan ke Kas Negara.

Inilah alasan dan perbedaan perusahaan negara atau BUMN dengan perusahaan/ korporasi swasta yang membagi hasil operasi perusahaan dalam bentuk laba usahanya berdasarkan pada porsi kepemilikan saham masing-masing. Atas landasan konstitusional ekonomi itulah dan dengan latar belakang privatisasi yang telah berlangsung selama era reformasi, maka putusan-putusan MK mengenai terminologi dikuasai negara tapi adanya pemisahan kekayaan negara menjadi absurd dan inkonstitusional.

Untuk itulah, pembatalan putusan-putusan MK (bahan pemikiran bagi ahli tata negara) atas pemahaman hakim konstitusi terhadap terminologi “dikuasai negara” harus dilakukan sekaligus menganulir UU sektoral dan pasal-pasal dari peraturan yang berlaku saat ini tapi bertentangan dengan konstitusi ekonomi UUD 1945. Disamping menganulir Putusannya, MK selayaknya bekerja tidak hanya menunggu pengajuan Judial Review (JR) dari masyarakat, tapi juga melakukan kajian terhadap berbagai UU yang telah ditetapkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Inilah sebenarnya tugas pokok dan fungsi MK sebagai alasan utama MK dibentuk pasca reformasi dan bukan hanya mengurusi sengketa Pemilihan Umum (Pemilu).

Publik menanti perhatian dan kerja serius dari Presiden, Menteri BUMN dan Menteri Keuangan untuk merevisi UU terkait yang bertentangan secara substansial dengan frasa itu, disebabkan Pasal 33 UUD 1945 tidak mengenal istilah pemisahan kekayaan negara atas pengelolaan keuangan negara. Termasuk yang absurd lainnya adalah pemungutan pajak yang terjadi selama ini pada BUMN yang jelas-jelas notabene milik pemerintah juga, seharusnya cukup Sisa Hasil Usaha (SHU) atau dividen saja yang dimasukkan ke Kas Negara. Beban pajak, jelas akan memperburuk kinerja BUMN dalam persaingan bisnis dunia dan pelayanan konsumen atas penugasan negara melalui Public Service Obligation/PSO yang termaktub dalam Pasal 66 UU No. 19/2003..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.