Syahrizal Koto, Sedikit Diantara Pematung Indonesia yang Tetap EksisBerkarya
Oleh : Muharyadi
Hampir 27 tahun silam pematung urang awak asal Sunur, kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat, Syahrizal Koto (60 th) berpameran tunggal dengan puluhan karya di Bentara Budaya Yogyakarta. Pameran ini cukup sukses dan mendapat apresiasi secara luas oleh publik seni di tanah air.
Malah sang maestro pematung Indonesia, Edhie Soenarso, saat pameran itu menyebutkan, Syahrizal satu diantara sedikit seniman patung di Indonesia telah memberanikan diri membuat karya-karya yang tidak lagi figuratif murni, melainkan sudah mengolah bentuk melalui pengolahan yang tidak terjadi secara cepat, melainkan melalui proses yang cukup lama dan berulangkali hingga Syahrizal dapat dan cepat menemukan bentuk-bentuk yang dikehendaki.
Menurut Edhie Soenarso seorang seniman seharusnya tidak lagi menghiraukan tentang aliran atau isme, melainkan ia harus tetap berkarya dari periode ke periode dengan hasil yang berubah-rubah. Mengingat jika seseorang terlalu cepat berganti bentuk, maka hasilnya akan selalu dipersoalkan.
Namun jika tetap berpijak pada kepuasaan, maka nilai-nilai yang ditampilkan walau dalam beberapa gaya dan bentuk, maka tidak akan menjadi masalah.Kegiatan pameran di Yogyakarta ini, merupakan pameran perdananya setelah ia melanjutkan pendidikan ke ISI Yogyakarta dari Sumatera Barat tahun 1982-an setelah sebelumnya ia bermukim dan berkarya di Sumatera Barat terutama semenjak menyelesaikan pendidikan jurusan seni patung di SMSR Negeri Padang tahun 1981.
Lelaki kelahiran Pariaman Sumatera Barat, 6 September 1960, putra dari Zainuddin dan Mariani itu sejak usia anak-anak memang telah menunjukkan bakatnya yang luar biasa dalam dunia seni rupa seperti melukis dan mematung.
Itu pun dibuktikannya setelah ia menempuh pendidikan di INS Kayu Tanam sebelum memasuki SMSR Negeri Padang tahun 1977 lampau.Dalam sejumlah karya lukisnya, garis-garis yang berirama dan indah, meliuk, melingkar dan lancar itu juga dominan tercermin dalam karya-kara seni patung yang pernah digarapnya selama ini.Dalam pameran perdananya itu, sang empu Soedarso Sp yang juga dosen di ISI Yogyakarta, pernah berkomentar terhadap karya-karya Syahrizal.Menurut Soedarso, alam merupakan guru para seniman yang disebutnya dengan istilah “natura art is magistra”.
Istilah ini meski telah lama bergulir di kalangan seniman, namun tetap saja berlaku setiap ruang dan waktu.Menurut Soedarso, pada era menjelang berakhirnya seni abstrak dunia, dimana seni figuratit atau seni realistik atau apapun namanya yang melekat pada karya seni tetap berusaha memrepresentasikan bentuk-bentuk yang ada di alam yang nyaris tidak memiliki lagi ruang ruang gerak untuk hidup, alam masih tetap sesuai fungsinya, menjadi guru bagi seniman.
Meski diakui, bahwa alam tidak harus selalu digambarkan seperti apa adanya.Alam bisa saja sekedar merupakan tempat belajar bagi para seniman, tidak terkecuali Syahrizal Koto. Artinya alam merupakan tempat seniman untuk mengagumi hukum-hukumnya yang dahsyat atau manifestasi menakjubkan dengan mempelajari aspek-aspek di dalamnya.Karena alam tak pernah habis memberi masukan kepada seniman untuk ditelusuri, dipelajari bahkan dipahami guna digarap menjadi karya-karya yang indah dan menarik sebagaimana berada dalam ranah ungkapan “natura art is magistra” .
Kata Soedarso SP perihal istilah “natura art is magistra” banyak contoh yang turut membenarkannya.Lihat misalnya pematung seperti Phidias dan Praxiteles dai Yunani. Mechelangelo masa Renesans atau mungkin Trubus dan Hendradjasmara dari Indonesia merupakan diantara pengagum alam melalui bentuk-bentuk wujud manusia.Lihat patung karya Michelangelo berjudul patung pemuda “David” yang digambarkan seniman ini sebagai salah satu karya terbaiknya.Kemudian patung “Wanita dan Kodok” karya Trubus yang keduanya menggambarkan sebagai manifestasi alam yang indah hasil idealisasi dari apa yang ada dan banyak sejumlah contoh yang dapat digambarkan serupa karya Gerhard Marcks, Wilheim Lehmbruck yang menangkap alam dengan maksud hakikat-hakikat alam yang ada di dalamnya.
Tak kalah menariknya dalam pameran tunggal perdana itu, Suwarno Wisetrotomo, dosen ISI Yogyakarta yang juga kurator pada kesempatan pameran tunggal itu memberi ilustrasi seumpama ; “seperti seorang penyair yang dalam proses kreatifnya senantiasa berangkat dari fakta-fakta yang pada akhirnya tetap berurusan dengan “dunia dalam”, yakni menggarap makna dan bukan mereka-reka fakta yang tetap bergulat disekitar permenungan.Artinya penyair bertaruh dengan otensitas pengalaman yang dicerna dalam jiwanya.
Kemudian karya-karya yang dilahirkan bukan untuk dipahami melainkan dihayati lebih instens.Menyimak hal ini saya menjadi teringat soal penjelajahan kreativitas Syahrizal Koto yang semasa masih berada dan bermukim di Sumatera Barat juga telah pernah berpameran tunggal di Taman Budaya Sumatera Barat, Jalan Diponegoro 31, Padang.Karya-karyanya mengemukakan ide-ide segar, bahkan menarik perhatian publik.
Artinya aspek konsep, stilisasi bentuk, plastisitas, kecendrungan dengan idiom-idiom baru bagi Syahrizal Koto mencoba masuk ke dalamnya dengan seperangkat penjelajahan kreativitasnya dan muatan nilai-nilai yang diusung sesuai pengalamannya saat itu yang relatif masih berusia muda.Sebagaimana saya ketahui semasa bersekolah di SMSR Negeri Padang Syahrizal Koto tidak berhenti pernah membuat eksperimen-eksperimen terbaru hasil penjelajahan dalam bentuk sketsa sebagai penjelajahaan kreativitasnya sehingga terciptalah karya-karya unik yang dan banyak teman maupun gurunya tidak pernah menduga sebelumnya terhadap hasil yang diperoleh melalui pergulatan kreativitasnya.Kreativitasnya adalah sesuatu yang muncul dan terinspirasi saat itu.
Namun sepengetahuan saya Syahrizal Koto dalam sejumlah karya-karya patung naturalisnya, saat 2 tahun jelang menjesaikan studinya di SMSR Negeri Padang (1979) lebih banyak mengadopsi gaya patung moderen klasik yang menjadi studi literaturnya.Akan hal ini saya menjadi teringat dengan apa yang pernah dikemukan Jim Supangkat perihal awal pertumbuhan seni patung moderen yang ditandai berbagai perubahan dan penafsiran yang tidak menyambung seni patung tradisional manapun, namun tak bisa lepas dari pengaruh seni patung moderen dunia sebagai rujukannya.
Dimana sejala tradisi baru itu tidak segera terbentuk sebuah garis perkembangan.Tetapi setidaknya menurut Jim Supangkat terdapat tiga gejala awal yang tidak berhubungan satu dengan lainnya. Pertama, akibat percobaan sejumlah pelukis membuat patung sebagai usaha mencari media ekspresi lain.Kedua, pembuatan seni patung melayani kebutuhan monument.
Ketiga akibat perkembangan jurusan seni patung di perguruan tinggi seni rupa di tanah air.Yang menarik jika dilihat sebagai benang merah pada sejumlah karya-karya Syahrizal Koto sejak dahulu bahkan hingga kini, terlihatmencapai banyak kemajuan danperkembangan disana sini yang senantiasa tetap berangkat dari persoalan alam dan seisinya.
Kita menyimak ide-ide berbau tradisional bahkan terkesan primitif art misalnya kental mewarnai karya-karya Syahrizal Koto yang syarat dengan nilai-nilai seperti (1) Adam dan Eva, 46x39x90 cm, Bronze, 1996, (2) Menatap Masa Depan, 133 x 43x 103 cm, bronze, 2006, (3) Kehidupan, 43 X 70 cm, Bronze, 2011, (4) Mbalelo, Broze, 2012, (5) Rasa, 90 x 50, Aluminium, 2014, dan (6) Irama Kehidupan, 65 x 200 cm, 2018 adalah beberapa contoh sejumlah karya dari puluhan bahkan ratusan yang senantiasa mengadopsi alam dan seisinya yang tidak terjadi begitu saja di karya-karyanya secara periodik sebagai kekuatan konsep, pesan dan makna yang disampaikan.
Syahrizal Koto yang bermukim dan berkarya di studionya Griya Meijing Lor No. 8 RT 01/RW 02, Ambar Ketawang, Gamping Sleman. Yogyakarta dalam perjalanan kariernya selama puluhan baik semasa di Sumatera Barat maupun sejak ia menetap, berkarya dan berkarya diYogyakarta telah berpameran puluhan kali, baik di Indonesia maupun sejumlah negara lain.
Diantaranya memperoleh Anugerah Seni Lukis Terbaik Tingkat SLTA dan Depdikbud Bidang Kesenian Provinsi Sumatra Barat (1978), Anugerah Sketsa Terbaik Tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi Sumatra Barat (1979), Karya terbaik Dies Natalies ISI (1990), Anugerah ke II kategori karya non abstrak Lomba Rancang Patung Citra Raya Kota Nuansa Seni (1996) dan Anugerah Tiga Karya Nominasi Sayembara Landmark Ancol tahun 2001 silam dan seredetan prestasi lain. (***)