Sudah 2 Delegitimasi, Masih Juga?
Oleh Miko Kamal, Advokat dan Wakil Rektor III UISB Padang
Pelanggaran etik sudah 2 kali terbukti: putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Keduanya menyangkut Gibran, dan tentu juga menyerempet pasangannya, Prabowo.
Korban sudah berjatuhan. Anwar Usman diberhentikan oleh MKMK dari jabatannya sebagai ketua MK. Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan semua anggotanya diberikan peringatan keras terakhir.
Meski sudah 2 kali terbukti dan korban berjatuhan, Prabowo-Gibran tetap bergeming. Serupa tidak terjadi apa-apa saja. Santai saja mereka menghadapinya.
Kedua putusan itu memang tidak soal hukum tertulis, yang berdampak langsung terhadap pencalonan pasangan nomor dua. Ini soal etik yang sering dicemooh Prabowo. Segan saya menuliskan kata-kata kasar yang disebut Prabowo dalam sebuah pertemuan internalnya itu.
Posisi etik memang tinggi. Ada di puncak. Jauh di atas hukum. Ibarat orang mendaki gunung, memang tidak semua pendaki yang bisa sampai ke puncak. Hanya yang kuat-kuat saja yang bisa. Yang tidak kuat biasanya mengopi atau tidur-tiduran saja di pinggang gunung atau pesanggrahan. Cerita indahnya puncak saat matahari terbit biasanya cerita yang ditunggu-tunggu para pendaki pinggang gunung. Dan, biasanya lagi, pulang mendaki, cerita pendaki pinggang gunung itu pula yang lebih heroik dari pada pendaki yang sebenarnya.
Orang yang memelihara etika perasaannya halus. Itu salah satu cirinya. Dia takut orang lain tersinggung atas sikap dan perilakunya, meskipun dia tahu persis tidak satupun norma hukum yang dilanggarnya.
Biar jelas, saya beri contoh saja: Terkentut di atas bus kota yang sedang penuh sesak bukanlah pelanggaran hukum. Carilah rumusan, misalnya “Barangsiapa yang terkentut di depan umum dihukum paling lama 5 tahun penjara atau denda paling banyak 1 Milyar Rupiah” di kitab hukum pidana atau kitab-kitab lainnya. Pasti anda tidak akan menemukannya. Sebab itu, orang yang hidupnya biasa mengabaikan etika akan terkentut saja keras-keras di tengah sesaknya bus kota tanpa rasa bersalah. Orang yang beretika, sebaliknya, pasti tidak mau melakukannya. Jika kentutnya memang tidak bisa ditahan-tahan lagi, dia akan menepi dan menekan bunyi yang akan keluar semampunya.
Dalam pandangan etika, putusan MKMK dan putusan DKPP adalah putusan etik yang mendelegitimasi Prabowo – Gibran dalam kontestasi Pilpres. Tapi, saya sangat paham, berharap kepada mereka berdua sebagai orang yang sudah sampai ke puncak (menjunjung tinggi etika) nampaknya memang tidak logis.
Sekarang tinggal di kita rakyat saja lagi: Sudah 2 delegitimasi, masih juga?
Bukittinggi, 10/2/2024