Oleh Khairil Anwar
Pemgantar Redaksi
Penulis Khairil Anwar kembali membuat tulisan bersambung setelah sukses dengan tulisannya tentang Terorisme di media ini kali bersambung.
Kali ini Ia akan menceritakan sejarah perjalanan etnik Minangkabau
Tulisan ini dirangkum berdasarkan cerita para tokoh-tokoh adat (orang tua-tua) Minangkabau baik berupa catatan kaki maupun bersifat oral atau dari mulut ke mulut. Mungkin saja ada yang berganggapan bahwa tulisan ini merupakan hikayat atau cerita rakyat yang mungkin dapat kita terima karena banyak mengandung makna yang sesuai dengan perilaku masyarakat Minangkabau. Bak pepatah; dari niniak turun ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan, kito lah hutang mandapa-i, dan untuk menambah ilmu pengetahuan dilengkapi lagi dengan pepatah; nak tahu, rajin batanyo, nak cadiak, pandai baguru. Jadi keilmuan seseorang tidaklah cukup diperoleh dari bangku sekolah saja, akan tetapi lebih banyak dari pengalaman hidup dan perjalanan waktu seseorang. Selamat mengikuti .
Bangsa Aad Atstaani
Bangsa pertama yang datang ke Minangkabau tahun 6.000 s/d 5.000 SM (abad 60 s/d 50 SM), mereka adalah rombongan besar bangsa “Aad Atstaani”, umat peninggalan Nabi Hud, mereka mendarat di Katiagan dimudiak batang Masang. Pada waktu itu dataran tinggi Agam masih merupakan danau dan mengalir ke barat batang Masang, mereka menyebar ke daerah kaki tiga gunung (tri arga), dan itulah yang disebut dengan Minangkabau inti (tigo luhak). Kemudian danau Agam itu bocor di Tarusan Kamang dan Tarusan Sungai Janiah sehingga air danau kering, maka terbentuklah dataran tinggi Agam. Mereka bangsa “Aad” ber ketuhanan yang maha esa, tidak menghormati atau menyembah benda alam, sehingga mereka tidak meninggalkan kebudayaan penyembahan kepada benda yang berupa, mereka hidup menyatu dengan alam, lama kelamaan mereka tidak lagi mengenal daerah asal mereka.
Kemudian pada 3.500 SM (abad 35 SM) bangsa Arab Yaman telah berdagang ke Kanton (China) dan Minangkabau, perdagangan itu mereka sebut “Thariqal Bahri”, atau Yaman-Kanton-Minangkabau.
Dari Minangkabau mereka kampher, lada dan kayu manis yang merupakan bahan yang dibutuhkan di negara-negara sekitar Laut Tengah.
Kampher bahan pengawet makanan, dan oleh “Bangsa Mesir kuno” dijadikan “pengawet mummi”, jika tidak ada kampher dari Minangkabau, tidak ada mummi di Mesir.
Lada dan kayu manis digunakan sebagai bahan minuman dan pemanas badan dalam musim dingin.
Barang dagangan tersebut dibawa melalui jalur perdagangan dari Yaman ke Syam dengan jalan darat melalui Mekah.
Pembelian rempah-rempah tersebut dari Minangkabau berlangsung sejak abad ke 35 SM sampai abad ke 17 SM (Bersambung)