Sanksi Zugito dan Nasib PWI Sumbar; Catatan Zulnadi
Kongres Kerja Nasional PWI (Kongkernas) di Malang, Jawa Timur telah berakhir (Selasa 22/22) ditutup oleh Ketua Umum Atal.S.Depari dengan mengapresiasi semua pihak tanpa kecuali. Namun dari acara ini ada pemandangan yang tidak sedap lantaran masih tampilnya Zulkifli Gani Ottoh, Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat yang telah mendapat sanksi skorsing selama satu tahun dari Dewan Kehormatan PWI Pusat.
Seperti diketahui Dewan Kehormatan dengan surat nomor 44/SK/DK-PWI/X/2022 tanggal 3 Oktober 2022 ditandatangani Ketua H.Ilham Bintang dan Sekretaris Sasongko Tedjo telah memberikan sanksi kepada Zugito berupa skorsing selama 1(satu) tahun karena telah melakukan beberapa kali pelanggaran PDPRT dan Kode Perilaku Wartawan.
Dilacak dari Mbah goegle skorsing merupakan pemberhentian sementara waktu agar dapat memberikan efek jera bagi yang melanggar. Bila terkena skorsing diistirahatkan atau tidak diizinkan untuk melakukan kegiatan atau ke kantor selama skorsing itu ditetapkan.
Tampilnya Zugito di arena Kongkernas PWI di Malang, memang menjadi pertanyaan besar bagi anggota PWI se Indonesia. Ini menunjukan sanksi yang dikeluarkan Dewan Kehormatan tidak diindahkan sama sekali oleh Pengurus Harian PWI Pusat yang diketuai Atal Sembiring Depari.
Zugito tidak hanya sekedar tampil dengan tampannya, melainkan juga diberitugas dan tanggungjawab
sebagai Steering Commitee (SC) Konkernas Malang.
Bermacam komentar yang muncul dengan tidak dipatuhinya putusan DK tersebut oleh Pengurus Harian PWI Pusat. Ada yang menyebut ini semacam perseteruan dua kelompok yang tidak berkesudahan. Ada yang sinis, percuma ada sanksi jika tidak ditaati. Ada yang menuduh kurang eloknya hubungan pribadi Atal dengan Ilham Bintang selaku Ketua DK. Anggapan itu tidak benar.
Untuk diketahui bahwa baik Pengurus Harian (PH) maupun Dewan Kehormatan ( DK) di PWI adalah bersifat kolektif dan kologial. Artinya apapun putusan dirumuskan, didiskusikan secara bersama sama. Artinya lagi, PWI sebagai organisasi secara bersama sama dikelola dengan baik dan benar. Antara PH dan DK adalah dua sisi yang harus bersinergi saling menghormati dengan mengacu pada pdprt, kpw.
Dewan Kehormatan adalah diberi kewenangan mengawasi, mengontrol dan menjatuhkan sanksi kepada anggota dan pengurus PWI yang melakukan pelanggaran. Sanksi tersebut mengikat, sesuai PRT Pasal 22 ayat 1 dan KPW Pasal 26.
Lebih khusus lagi bahwa dalam KPW, DK tidak hanya berwenang melakukan pengawasan terhadap wartawan anggota PWI dalam menjalankan tugas profesi, melainkan juga dalam menjalankan roda organisasi. Ini artinya pengurus dalam tingkat manapun dapat diawasi dan bila terjadi pelanggaran bisa diberikan sanksi. Baca Pasal 20 KPW, dimana Dewan Kehormatan berwenang memberikan sanksi terhadap pelanggaran Kode Perilaku Wartawan. Jenis sanksi, yakni peringatan, Peringatan keras, pemberhentian sementara (skorsing), dan Pemberhentian tetap.
Dipertegas pula pada Pasal 21 bahwa sanksi yang diberikan atas pelanggaran sepenuhnya merupakan kewenangan dan otoritas Dewan kehormatan PWI Pusat dan merekomendasikan hasil keputusan dan atau ketetapan hasil pemeriksaannya kepada Pengurus PWI, untuk dilaksanakan.
Sekretaris DK Sasongko Tedjo pada Kongkernas di Malang itu menyerukan kepada seluruh anggota dan pengurus PWI mentaati peraturan perundang-undangan, khususnya terkait di bidang pers, serta aturan organisasi, kode etik profesi dan kode perilaku wartawan. Tidak ada yang terkecuali.
. ” Mari kita bersama-sama mengelola organisasi secara profesional, menjunjung PD PRT, dan mematuhi KEJ dan KPW dengan sebaik-baiknya. Letakkan semua hal di atas landasan regulasi dan etika profesi, bukan atas dasar kekuasaan,”
Sasongko mewakili Ketua DK-PWI Pusat Ilham Bintang yang berhalangan hadir menegaskan kembali tiga hal penting terkait tupoksi DK PWI. Peraturan organisasi PWI, PD PRT, KEJ, dan KPW berlaku untuk semua anggota. PWI tidak mengenal diskriminasi aturan hanya buat anggota, tetapi berlaku juga bagi seluruh pengurus PWI di semua tingkatan.
DK PWI adalah satu-satunya lembaga di PWI yang berhak menilai dan menjatuhkan sanksi bagi pelanggaran semua aturan organisasi yang bersifat final dan mengikat.
Tidak terbatas hanya KEJ dan KPW, tetapi juga PD PRT. Oleh sebab itu Putusan DK PWI wajib dilaksanakan oleh Pengurus Harian PWI, tidak ada tawar menawar apalagi membangkang.
Kasus ASN di PWI Sumbar
Kongkernas di Malang juga menggelinding kasus PWI Sumbar yang oleh PWI pusat sepertinya terjadi pembiaran adanya ASN ( Basril Basyar) sebagai pengurus dan terpilih kembali menjadi Ketua PWI untuk periode ketiga.Padahal berdasarkan Pasal 16 poin 2 KPW, yang bersangkutan sejak tahun 2018 kongres di Solo,sudah gugur haknya sebagai anggota PWI, apalagi untuk jadi pengurus.
DK PWI Pusat menilai dalam masa periode kepengurusan 2018-2023 ada sejumlah pelanggaran PD PRT, Kode Etik Jurnalistik dan Kode Perilaku Wartawan yang dilakukan pengurus organisasi sendiri secara terang benderang. Di tingkat daerah maupun pusat, salah satu contoh mengukuhkan ASN menjadi anggota dan pengurus PWI seperti yang terjadi di Sumbar.
Begitu juga upaya pelanggaran pembatasan masa jabatan pengurus melebihi dua kali dalam posisi sama. DK PWI telah memberi sanksi terhadap pelanggaran tersebut.
“Pelangaran- pelanggaran tersebut perlu segera dicegah supaya tidak meluas demi menjaga harkat, marwah, dan tertib organisasi yang menimbulkan citra buruk di masyarakat dan merusak tertib organisasi,” ujar Sasongko di kongkernas tersebut.
Konferensi PWI Sumbar yang digelar 23 Juli 2022 hingga sekarang belum mempunyai kepengurusan yang definitif. Tersanderanya Basril Basyar sebagai ketua terpilih lantaran terciduk sebagai ASN / dosen Fakultas Peternakan di Unand. Dewan Kehormatan PWI pusat meminta PWI pusat membatalkan pemilihan tersebut.
Anehnya apa yang direkomendasikan DK tidak diindahkan Pengurus Harian, melainkan menunjuk Pelaksana Tugas Ketua PWI Sumbar Suprapto terhitung 12 Agustus 2022- 12 Januari 2023.
Ini menunjukan betapa Pengurus PWI pusat memberi keleluasaan waktu ( 6 bulan) kepada Basril Basyar untuk mengurus pensiun/berhenti sebagai ASN.
Padahal bila membaca dan memahami pasal 16 poin 2 KPW, pencalonan Basril Basyar dengan sendirinya dan seketika itu juga ( saat konferensi) batal demi hukum.
PWI pusat tidak perlu menunggu sampai 6 bulan dan tidak perlu SK pensiun yang bersangkutan, karena nantinya juga tersandung tidak boleh lagi di jabatan yang sama setelah dua kali, baik berturut-turut maupun ada tidak.
Tapi itulah keberpihakan PWI pusat kepada Basril Basyar, sehingga aturan pun dilabrak.*
Empat bulan sudah Plt Suprapto memimpin PWI Sumbar boleh dikatakan stagnan, karena tidak bisa berbuat banyak. Apalagi Ia sepertinya dibayang-bayangi sekelompok orang yang diragukan itikad baiknya.
Jujur, Suprapto dalam catatan hanya sekali menjambangi kantor PWI Sumbar saat perkenalan diri. Setelah itu, Ia datang ke Sumbar lantaran ada UKW di Payakumbuh dan Bukitinggi.
Jujur, kehadiran Suprapto tidak mampu mempersatukan anggota PWI Sumbar yang sempat renggang usai konferensi.
Sosoknya sepertinya bersahaja, namun ketika diberi masukan, hanya membalas, terima kasih atas masukannya tanpa ada realisasi.
Kini keuangan PWI Sumbar terancam. Dana hibah yang ada Pemprov Sumbar tidak bisa dicairkan kalau tidak diusulkan oleh pengurus yang definitif berdasarkan SK PWI Pusat.
PWI Sumbar sepertinya di gantung tak bertali, terapung tidak hanyut, terendam tidak basah, hanya gara gara satu orang.**