SEMANGATNEWS.COM – Republik Indonesia (RI) memperingati hari kemerdekaan atau Proklamasi ke-76 tahun pada Selasa (17/8/2021). Setiap tahunnya, ada sejumlah prosesi tahunan yang dilaksanakan guna mengenang tanggal bersejarah ini, salah satunya cerita di balik teks proklamasi yang dibacakan oleh Presiden Soekarno.
Banyak kenangan dari secarik kertas teks proklamasi yang dibacakan oleh pria yang kelak menjadi Presiden RI pertama di negeri ini.
Naskah rancangan proklamasi yang ditulis tangan oleh presiden soekarno, sempat hilang setelah naskah tersebut diketik ulang oleh Sayuti Melik.
Kuat dugaan, naskah asli tersebut hilang karena sudah diketik ulang, naskah asli tulisan tangan itu kemudian tidak terlalu diperhatikan, sehingga ikut terbuang.
Naskah itu baru ditemukan di sebuah keranjang sampah oleh seorang pria bernama Burhanudin Mohammad Diah.
Diah menemukan naskah asli tersebut di keranjang sampah di kediaman Laksamana Maeda dan kemudian mengamankannya.
Diah kemudian menyimpan naskah asli tersebut dan baru memberikannya kepada presiden Soeharto pada 29 Mei 1992.
Sebelum diketik ulang oleh Sayuti Melik, Bung Hatta, ternyata sempat menugaskan BM Diah untuk menggandakan atau memperbanyak teks proklamasi.
Beliau juga memerintahkan untuk menyebarluaskan teks tersebut.
Setelah konsep dari naskah proklamasi selesai ditulis oleh Soekarno dan disepakati bersama, Sayuti Melik menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan Tentara Angkatan Laut Jerman milik Mayor Laut dr Hermann Kandeler.
Dalam perjuangan mengumumkan kemerdekaan RI, tidak sedikit rintangan yang dilalui.
Upacara proklamasi saat itu dilaksankan dengan sangat sederhana, upacara tersebut berjalan tanpa protokol, tanpa musik, tanpa konduktor dan tanpa pancaragam.
Bahkan tiang pengibaran bendera disiapkan hanya beberapa menit sebelum upacara di mulai.
Tiang pengibaran bendera tersebut terbuat dari bambu dan disiapkan oleh barisan pelopor yang dipimpin oleh komandan PETA, yaitu Shodancho Latief Hendraningrat dan Shodancho Arifin Abdurahman.
Upacara pada saat itu hanya ada tiga agenda, yaitu pembacaan teks proklamasi, pengibaran bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan yang terakhir adalah sambutan dari Wali Kota Jakarta saat itu yaitu Suwiryo dan Dr Muwardi.
Sebelum pembacaan naskah proklamasi, Kepala Pemerintah militer Jepang mengirimkan lima opsirnya untuk mendatangi Soekarno dengan maksud untuk melarang soekarno membacakan proklamasi, namun kelima opsir tersebut datang ketika upacara telah selesai dilakukan dan proklamasi sudah dibacakan.
Kelima opsir tersebut kemudian pergi meninggalkan tempat upacara setelah sebelumnya sempat dikepung oleh barisan pelopor dengan senjata golok dan bambu runcing.
Tak sampai di sana, seorang fotografer bernama Frans Mendoer mengabadikan jalannya upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia dikejar dan didatangi oleh tentara Jepang yang bermaksud untuk merampas dan menghancurkan negatif film atau klise yang dimiliki oleh dirinya.
Beruntung sesaat sebelum kedatangan tentara jepang, frans mendoer berhasil menyembunyikan klise tersebut di bawah pohon, di halaman belakang Kantor Harian Asia Raya tempat dia bekerja.
Saat di temui tentara Jepang, dia mengaku jika foto-foto proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah di ambil oleh barisan pelopor.
Foto karya Frans Mendoer inilah yang membuat bangsa Indonesia dapat menyaksikan dokumentasi proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, Pembacaan teks proklamasi yang dilakukan pada 17 Agustus 1945 ternyata belum sempat direkam karena listrik padam, dimana pada saat itu Indonesia sangat diawasi ketat oleh serdadu Jepang.
Pendiri RRI (pada masa itu), Jusuf Ronodipuro, meminta Presiden Soekarno untuk mengulang dan merekam pembacaan teks proklamasi. Namun, niat itu sempat ditolak oleh Soekarno yang menganggap pembacaan teks proklamasi hanya berlaku satu kali.
Setelah dibujuk, Presiden Soekarno akhirnya bersedia untuk membacakan kembali teks proklamasi tersebut. Perekaman baru terlaksana pada 1951 di Studio RRI yang berlokasi di jalan Medan Merdeka Barat nomor 4, Jakarta Pusat.
Master rekaman teks proklamasi kemudian dikirim ke Lokananta di Solo untuk digandakan pada tahun 1959. Rekaman suara pembacaan teks proklamasi yang kita dengar saat ini merupakan hasil rekaman yang dilakukan enam tahun setelah Indonesia merdeka. (*)