Pertashop Yang Terseok-seok :Oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau saat ini dikenal dengan PT Pertamina (Persero) (entah apa latar belakangnya badan hukum menjadi PT) diberikan penugasan untuk membangun10.000 unit Pertashop selama tahun 2022. Perusahaan Negara ini melakukan penawaran kepada publik melalui skema kemitraan untuk merealisasikan sasaran (target) tersebut. Menteri BUMN Erick Thohir pun dengan optimis menyatakan, bahwa sasaran 10.000 unit Pertashop tersebut akan berdampak signifikan terhadap kelangsungan energi di daerah, sekaligus penyerapan tenaga kerja oleh pengusaha menengah dan daerah. Benarkah demikian adanya?
Mari dicermati kebijakan pembangunan Pertashop ini secara lebih detail dan hati-hati, yangmana sampai Desember 2022 baru terbangun 6.152 unit Pertashop (61,5%). Artinya, sasaran yang ditetapkan untuk tahun 2022 tidak tercapai sama sekali karena masih ada 3.848 unit (38,5%) yang tidak terbangun. Tentu ini ada penyebabnya, dan bisa saja reaksi apologisasi atau kilahan sebagai pembenaran yang akan muncul dari Menteri BUMN. Meskipun itu tidak memecahkan permasalahan kinerjanya atas capaian sasaran yang meleset itu!
Sejak awal, Pertashop dapat disebut program yang ambisius dan mungkin tanpa perencanaan yang matang dan cenderung ambigu atau tidak ada kaitannya dengan permasalahan utama program langit biru yang dicanangkan. Kenapa begitu, tidak lain adalah dari aspek sasaran wilayah pembangunan unit Pertashop yang diperuntukkan lebih ke perdesaan. Pertanyaannya, apakah wilayah perdesaan memang telah terkontaminasi Bahan Bakar Minyak (BBM) atau energi kotor? Sementara pabrik dan industri serta jumlah kendaraan bermotor terbesar berada diwilayah perkotaan yang memang sarat dengan polutan membuat lingkungan kotor.
Selain itu, skema penawaran kepada publik untuk investasi pembangunan Pertashop per unit pun termasuk jumlah yang cukup besar, yaitu antara Rp250-500 juta. Pembiayaan ini tidak termasuk alokasi untuk kebutuhan lahan yang rata-rata harus disediakan calon peminat antara 210-500 meter persegi. Maka, wajar saja pembangunan Pertashop terseok seok disebabkan oleh ketidaksinkronan kebijakan yang telah ditetapkan. Atas sasaran pembangunan Pertashop di wilayah perdesaan dan kebutuhan lahan per unit-nya tentu hanya pemilik modal kuat saja yang akan mampu membangunnya. Apalagi, kemudian BBM yang diwajibkan bagi Pertashop diperjualbelikan adalah jenis pertamax yang harganya lebih tinggi dibandingkan pertalite.
Oleh karena itu, orientasi kebijakan pembangunan Pertashop per unit harus diubah atau direvisi dengan lebih melibatkan entitas ekonomi masyarakat setempat. Disamping itu, pembatasan BBM bersubsidi Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) pertalite juga bisa dilakukan sekaligus melalui pengurangan jatah (kuota) kepada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tertentu dan mengalihkannya ke Pertashop. Untuk hal inilah pelibatan Koperasi menjadi penting dalam mendorong kemanfaatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan bersama di perdesaan akan terwujud, bukan oleh pihak swasta yang hanya menguntungkan orang per orang.