Reynold Rehan Pratama
Mahasiswa Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Andalas
SEMANGATNEWS.COM – Setiap orang bebas melakukan berbagai hal guna mempertahankan hidupnya, seperti melakukan transaksi jual beli. Jual beli sebagaimana diatur dalam buku ke-III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pada Pasal 1457 didefinisikan sebagai berikut: suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.
Perkembangan teknologi saat ini yang begitu pesat dan tidak terhindarkan lagi sangat mempengaruhi gaya hidup dan orientasi masyarakat kearah dunia digital. Di Indonesia bisnis elektronic commerce telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan telah dibuat Undang-Undang yang mengaturnya yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun dalam kenyataan masih banyak para pelaku tidak memahami Undang- Undang yang dikeluarkan Pemerintah tersebut sehingga para pihak konsumen dirugikan dalam hal transaksi tersebut. Setiap elektronc commerce haruslah memiliki pembayaran elektronik yang memiliki tingkat perlindungan secara yuridis maupun ekonomis. Oleh sebab itu perlindungan konsumen dalam transaksi elektronc commerce juga ditentukan dan bagaimana pula jaminan dalam transaksi yang terjadi dalam sistem perbankan elektronik yang mencapai jangkauan dunia.
Dalam kegiatan jual beli melalui sistem elektronik, para pihak akan terlibat dalam suatu perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian yang dimana salah satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang/benda, dan pihak yang lainnya untuk membayar harga yang telah disepakati. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, disebutkan ada 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
- Adanya kesepakatan kehendak oleh kedua belah pihak
Maksud dari kata ‘sepakat’ itu sendiri adalah kedua belah pihak yang melakukan suatu perjanjian setuju dengan hal-hal pokok yang telah diatur dalam kontrak dan dikatakan sah di mata hukum. Kesepakatan dalam transaksi E-commerce terjadi pada saat costumer menekan tombol beli, setelah pembeli mengisi daftar pembelian sebagai Digital Order (DO), sesuai dengan asas konsensualisme dalam hukum perdata, maka transaksi jual beli telah terjadi pada saat terjadinya kata sepakat mengenai harga dalam suatu barang. Pembayaran dalam transaksi E-commerce dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain adalah dengan menggunakan kartu kredit, kartu cash (debet), maupun tunai pada saat barang diterima oleh pembeli (cash on deliver).
- Kecakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum
Yang dimaksud ‘cakap’ untuk melakukan suatu perbuatan hukum yaitu bagi setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pemikirannya. Maksud dari sehat pemikirannya adalah orang yang dapat berfikir secara rasional dan menggunakan akal sehat untuk dapat menimbang-nimbang baik buruknya ataupun untung ruginya. Menurut ketentuan KUH Perdata, yang dimaksudkan dewasa adalah laki-laki dengan usia 21 tahun dan wanita dengan usia 19 tahun. Didalam melakukan perjanjian jual beli barang tersebut, seorang harus cakap terlebih dahulu didalam melakukan perbuatan hukum.
- Adanya obyek/hal tertentu
Dalam hal ini sesuatu yang diperjanjikan di dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas. Hal ini sangat penting sekali untuk memberikan jaminan dan memberikan suatu kepastian kepada pihak pembeli maupun pihak penjual agar tidak adanya pihak yang merasa dirugikan dan/atau menimbulkan kontrak yang batal demi hukum.
- Adanya kausa yang diperbolehkan/halal
Suatu perjanjian yang dibuat harus dengan alasan yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Jadi, suatu perjanjian tidak boleh untuk dibuat jika isi dalam perjanjian itu bertentangan dengan ketentuan hukum yang belaku di Indonesia, tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu, jika perjanjian dibuat tanpa sebab yang halal melainkan dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang maka perjanjian itu tidak mempunyai ketentuan hukumnya (Pasal 1335 KUH Perdata).
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak azasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Bentuk perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang- undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
- Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur pula mengenai tanggungjawab pelaku usaha didalam menjalankan usahanya yaitu:
- Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
- Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau serta nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
Pasal 1507 KUH Perdata menentukan dalam hal terdapat rusak, cacat tersembunyi, pembeli/konsumen dapat memilih beberapa opsi antara lain: mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali uang harga barang pembelian atau akan tetap memiliki barang itu sambil menuntut kembali sebagian dari uang harga pembelian sebagaimana ditentukan olah hakim.
Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian.
Pasal 45 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelenggarakan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Oleh karena itu perbuatan melawan hukum yang timbul dalam transaksi jual beli secara elektronik/melalui internet dapat diselesaikan baik secara litigasi ataupun secara non litigasi, sesuai kesepakatan para pihak, sehingga tidak ada kekosongan hukum yang dapat berakibat menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi.