Peningkatan Utang Dan Kemampuan Pertamina Melunasinya
Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
Perusahaan Negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah perusahaan publik yang dikelola oleh pemerintah. Perusahaan publik, berarti pemiliknya adalah seluruh rakyat Indonesia atau secara sederhana dalam terminologi korporasi rakyatlah sebagai pemegang sahamnya. Atas dasar inilah, kebijakan pemecahbagian (stock split) saham BUMN melalui penawaran perdana (Initial Public Offering/IPO) ke pasar bursa dengan alasan mencari pendanaan/pembiayaan (financing) menjadi tidak bisa dibenarkan logikanya karena persentase saham negara berkurang! Maka itulah, kebijakan Menteri BUMN (MBUMN) Erick Tohir yang melakukan penciutan jumlah BUMN dari awalnya mencapai 114 unit dengan 24 klaster menjadi 47 unit dan 12 klaster pada tahun 2024 patut dipertanyakan dasar hukumnya.
Inilah alasan kuat, partisipasi publik untuk mengawal keberadaan (eksistensi) BUMN melalui pengawasan jalannya operasi perusahaan tanpa tendensi politik partisan. Dalam konteks mengawasi tersebut tidak bisa seseorang atau sekelompok orang disebut atau dicap dengan kata yang lagi populer saat ini, yaitu “nyinyir”. Apalagi, sebagai perusahaan publik BUMN juga harus mengikuti prinsip tata kelola yang baik dan bersih (good and clean governance) diantaranya yaitu aspek transparansi dan akuntabilitasnya. Sebab menurut MBUMN yang merangkap Ketua Umum PSSI ini akronim dari BUMN bukanlah badan usaha milik nenek lu!
Termasuk dalam hal ini pelaksanaan transparansi seleksi dan perekrutan (recruitment) jajaran dewan manajemen (direksi dan komisaris) yang profesional menjadi keharusan agar BUMN tidak dikelola secara nepotis, kolutif dan koruptif (KKN) serta kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif menurut kaidah yang berlaku. Tidak bisa hanya begitu saja selesai menjabat pimpinan BUMN tanpa mengevaluasi capaian-capaian yang telah ditetapkan dan umum dilakukan berdasarkan teori dan praktek manajemen perusahaan.
*Pengembalian Hasil Semakin Menurun*
PT. Petamina (Persero) adalah salah satu perusahaan publik disektor energi selain Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang saat ini belum diIPO-kan oleh pemerintah (termasuk PLN) harus dikelola dengan baik dan benar demi keberlanjutannya di masa depan. Sebagai pemegang mandat publik pemerintah melalui MBUMN) Erick Tohir telah menetapkan sasaran bagi Pertamina untuk mencapai nilai pasar (market value/cap) sejumlah US$100 miliar atau sekitar Rp1.550 triliun pada tahun 2024. Artinya, BUMN Pertamina harus memilki harta kekayaan (asset), yaitu posisi utang dan modal sendiri (equity/ekuitas) serta kinerja operasi dan keuangan sejumlah nilai tersebut yang diakui oleh pasar keuangan.
Untuk tujuan itulah, beberapa proyek strategis yang krusial dan penting, seperti pembangunan infrastruktur hulu migas menjadi prioritas utama digenjot. Lalu, bagaimanakah perkembangan dan kemampuan kinerja keuangan Pertamina selama Dirut Pertamina dijabat oleh Nicke Widyawati selama enam (6) tahun kaitannya dengan masa depan kinerja Pertamina ditangan penggantinya Simon Aloysius Mantiri? Berikut ini adalah analisis beberapa rasio keuangan kunci menurut teori manajemen keuangan. Sekaligus untuk mengkonfirmasi pernyataan Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina (Persero) sebelumnya, yaitu Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang pernah mengungkapkan bahwa Pertamina selama ini sering berutang.
Ahok dahulu menyatakan bahwa utang BUMN Pertamina pada tahun 2019 telah mencapai US$16 miliar atau sekitar Rp236 triliun (US$1= Rp 14.800). Menurut Ahok, utang yang diperoleh Pertamina sangat sering dipergunakan untuk melakukan akuisisi ladang dan blok minyak di luar negeri sementara di dalam negeri masih ada potensi eksplorasi minyak dan gas yang besar. Bahkan, Pertamina merupakan salah satu BUMN penyumbang utang terbesar berdasar laporan keuangan konsolidasi tahun 2022 (diaudit) yang dipublikasikan.
Utangnya, terdiri dari utang, jangka pendek sejumlah US$21,2 miliar atau setara Rp316,68 triliun dan utang jangka panjang sejumlah US$29,39 miliar atau setara Rp439 triliun. Dengan demikian, total utang Pertamina periode 2022 telah mencapai US$50,59 miliar atau setara Rp755,69 triliun. Angka itu mengalami lonjakan sejumlah US$5,87 miliar atau setara Rp87,7 triliun dari posisi utang perusahaan per 2021 yang sejumlah US$44,72 miliar atau setara Rp667,99 triliun. Dibandingkan saat awal menjabat Dirut Pertamina, kenaikan utang yang dilakukan oleh Nicke Widyawati mencapai sejumlah US$34,59 atau senilai Rp519,69 triliun, adalah catatan prestasi atau rekor utang yang sangat fantastis!
Dari jumlah utang dan investasi yang telah dilakukan itu dapat dihitung tingkat hasil yang telah diperoleh oleh Pertamina melalui laporan keuangannya, yaitu laba atau rugi secara periodik. Perbandingan laba bersih atas investasi yang dikeluarkan dalam terminologi manajemen keuangan disebut Return On Investment (ROI) merupakan penilaian kinerja atas berbagai penanaman modal untuk mencapai tujuan meraih laba. Penilaian kinerja lainnya, yaitu perbandingan perolehan laba bersih atas total harta kekayaan (asset), termasuk penambahan utang yang dikenal dengan Return On Asset (ROA). Dan, perbandingan laba bersih yang bisa diperoleh dari penggunaan modal sendiri atau ekuitas (equity) perusahaan atau tambahan modal dari pemerintah dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN Pertamina dinyatakan dalam Return On Equity (ROE).
Sebelum Nicke Widyawati menjabat Dirut Pertamina, tingkat pengembalian hasilnya masing-masing dapat diperbandingkan dari periode ke periode dengan jajaran dewan manajemen yang berbeda. Berdasarkan laporan keuangan Pertamina dan pernyataan Direkter Keuangan Arief Budiman saat itu pada tahun 2018, nilai investasi perusahaan minyak dan gas bumi (Migas) ini sejumlah US$5,6 miliar atau sekira Rp84 triliun (US$1=Rp14.300). Investasi yang dibelanjakan oleh Pertamina sumbernya sebagian besar dari utang atau saham global (global) dan terbesar disektor hulu.
Dari investasi itu, Pertamina menghasilkan laba bersih senilai Rp36 triliun pada periode tersebut, yang berarti tingkat hasil pengembaliannya, yaitu laba bersih dibagi atas investasi (ROI) tersebut adalah sebesar 42,8 persen. Tingkat pengembalian hasil ROI pada tahun 2019 setelah setahun Dirut Pertamina dijabat oleh Nicke Widyawati dengan nilai investasi sejumlah US$4,3 miliar atau Rp61,7 triliun berhasil mencatatkan laba senilai Rp35,8 triliun atau ROI-nya sebesar 58 persen. Kinerja Dirut Pertamina yang baru menggantikan Elia Massa Manik ini berhasil mencapai tingkat pengembalian hasil investasi perseroan lebih baik sebesar 15,2% dengan investasi lebih rendah dibanding pendahulunya.
Dengan jumlah utang senilai US$10,51 miliar atau Rp149,77 triliun pada tahun 2018, tingkat pengembalian hasil atas pengelolaan harta kekayaan (asset) adalah sebesar 15,4 persen dengan total aset sejumlah Rp151 triliun ditambah Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp82,3 triliun atau senilai Rp233,3 triliun. Sedangkan, tahun 2019 mengacu pada pernyataan Komutnya utang Pertamina meningkat sejumlah US$5,49 miliar atau bertambah Rp112 triliun. Sejumlah Rp108 triliun digunakan untuk investasi Refinery Development Master Plan (RDMP) kilang Balikpapan. Raihan ROA dicapai telah menurun menjadi sebesar 7,2 persen atau berkurang sebesar 8,2 persen.
Selanjutnya, ditahun 2022 utang Pertamina telah semakin menggunung dan bertambah sejumlah Rp519,69 triliun atau setara US$33,53 miliar. ROA yang berhasi dicapai hanya sebesar 4,16 persen atau masih lebih rendah dibanding capaian jajaran dewan manajemen ditahun 2018. Meskipun, laba bersih yang dicatatkan pada periode 2022 ini diklaim meningkat sebesar 86 persen dibanding tahun 2021, yaitu senilai Rp56,6 triliun atau US$3,8 miliar dan total harta kekayaan/aset US$87,8 miliar meningkat drastis menjadi Rp1.360 triliun. Namun, dengan peningkatan utang dan aset yang lebih tinggi itu justru menghasilkan kinerja korporasi yang semakin menurun. Artinya, pertambahan nilai pengelolaan harta kekayaan (asset) Pertamina dengan semakin meningkatnya utang dan investasi semakin menghasilkan inefisiensi dan tidak efektif berkinerja positif.
Oleh karena itu, publik patut menuntut transparansi dan akuntabilitas kinerja tingkat pengembalian hasil tersebut kepada jajaran direksi dan komisaris Pertamina. Tidak hanya kepada Dirut Pertamina ansich tetapi juga kepada Direktur Keuangan Emma Sri Hartini, Direktur Logistik dan Infrastruktut Alfian Tanjung dan Erry Widiastono selaku Direktur Penunjang Bisnis. Sebab, dengan mengambil asumsi rata-rata laba bersih per tahun sejumlah Rp56 triliiun saja, maka utang Pertamina baru akan lunas 13,5 tahun ke depan atau di tahun 2037-2038. Apalagi, jika capaian laba bersih lebih rendah dari Rp56 triliun maka pelunasan utang tidak akan menghiasi dan menggembirakan sasaran Indonesia Emas 2045. Pertanyaannya, apakah ini hasil kinerja seorang dan beberapa orang direksi dan komisaris yang profesional dengan gaji serta tunjangan dan tantiem yang besar?