Pembiaran Penyimpangan Distribusi BBM Bersubsidi
Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) BPH Migas per tanggal 20 Juni 2022 menyampaikan, bahwa besaran realisasi kuota Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, yaitu jenis BBM Solar dan Pertalite telah mencapai 50 persen lebih. Komposisi realisasinya menurut data BPH Migas, yaitu besaran realisasi untuk jenis BBM solar telah mencapai 51,24 persen atau telah dikonsumsi sejumlah 7,73 juta Kilo Liter (KL) dari total alokasi yang ditetapkan sejumlah 15,8 juta KL. Data ini sekaligus menunjukkan, bahwa konsumsi rerata BBM subsidi jenis solar per bulan mencapai 1.28 juta KL. Apabila realisasi BBM jenis solar ini relatif konstan sampai dengan akhir tahun buku, Desember 2022, maka konsumsinya akan mencapai 15,46 juta KL atau berlebih dari kuota (over quota) yang ditetapkan sejumlah 0,36 juta KL. Artinya, kuota BBM bersubsidi jenis solar ini akan bermasalah atau mulai mengalami kelangkaan dibulan Oktober atau Nopember 2022.
Realisasi distribusi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP), yaitu Pertalite sampai dengan tanggal 20 Juni 2022 telah mencapai 57,54 persen atau sejumlah 13,26 juta KL dari total alokasi sejumlah 23,05 juta KL. Hitungan konsumsi rata-rata per bulan oleh penerima alokasi subsidi BBM ini mencapai 2,21 juta KL. Jika mengambil asumsi konsumsi yang sama dengan uraian penggunaan solar, maka sampai 6 bulan ke depan atau tepatnya di bulan Desember 2022 konsumsinya akan mencapai 26,52 juta KL atau melewati batas kuota yang telah ditetapkan sejumlah 3,47 juta KL. Dan, permasalahan kelangkaan jenis BBM pertalite ini kemungkinan besar juga akan terjadi bulan yang sama Tahun 2022 ini.
Pemerintah mengklaim telah mengeluarkan anggaran subsidi energi hingga Rp502,4 triliun dengan tujuan untuk membantu masyarakat miskin atau tak mampu. Mengacu pada informasi yang disampaikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers di Hari Jum’at, 26 Agustus 2022 menyatakan, bahwa BBM jenis Pertalite yang harganya Rp7.650 per liter mendapat subsidi sejumlah Rp6.800 per liter.
Dalam hal harga keekonomiannya seharusnya harga jual riil adalah Rp14.450 per liter, tapi harga jual subsidi itu justru hanya dinikmati oleh 20 persen masyarakat miskin. Padahal, pemerintah menggelontorkan anggaran subsidi hingga Rp93,5 triliun untuk kuota pertalite ini sebanyak 23,05 juta kiloliter hingga akhir tahun. Namun, menurut Menkeu Sri Mulyani anggaran yang besar ini, 80 persennya dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu, dan dari jumlah tersebut 60 persen diantaranya dinikmati oleh orang sangat kaya atau *crazy rich* atau sekitar Rp60 triliun.
Hal yang sama terjadi pada konsumsi BBM bersubsidi jenis solar, rumah tangga miskin yang menikmati haknya ini hanya 5 persen saja, sedangkan 95 persennya dinikmati oleh rumah tangga mampu. Artinya, alokasi anggaran subsidi untuk solar yang mencapai Rp149 triliun dengan jumlah kuota 15,01 juta kiloliter, mayoritasnya juga terdistribusi pada kelompok masyarakat mampu. Nilai subsidi untuk solar yang diberikan pemerintah pada harga jual berlaku yang disalurkan Pertamina ke SPBU-SPBU adalah sejumlah Rp8.800 per liter dengan harga jual oleh PT Pertamina (persero) hanya sejumlah Rp5.150 per liter.
Terkait harga yang dijual ke masyarakat konsumen hanya 37 persen dari harga pasarnya, berarti sisa persentase lainnya adalah alokasi subsidi dari pemerintah sebesar 63 persen atas harga riil yang berlaku di pasar. Sesuai data tersebut, maka total alokasi subsidi untuk BBM jenis solar dan pertalite yang telah terdistribusi adalah Rp242,5 triliun dengan tingkat ketepatan sasaran penerima manfaat yang mengkomsumsi hanya sebesar 10-15 persen. Sejumlah 85-90 persen alokasi subsidi yang didistribusikan atau sejumlah Rp218,25 triliun terjadi penyimpangan signifikan pada masyarakat konsumen yang tidak berhak mengkonsumsinya.
Dengan demikian perlu dipertanyakan kepada pemerintah melalui otoritas yang berwenang atas keluhan beban alokasi anggaran subsidi BBM sejumlah Rp502,4 triliun tersebut. Faktanya, jumlah alokasi anggaran untuk subsidi 2 jenis BBM itu hanya Rp242,5 triliun dan sisanya sejumlah Rp259,9 triliun mengalir untuk kepentingan apa dan siapa? Jika jumlah alokasi anggaran yang bukan subsidi ini ditambahkan dengan penyimpangan penerima manfaat BBM bersubsidi itu, maka jumlah penyimpangan subsidi yang dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu ini totalnya berjumlah Rp472,15 triliun. Angka ini setara dengan membangun gedung sekolah atau pasar raya untuk rakyat diberbagai pelosok negeri sejumlah 100.000 unit lebih jika dialokasikan Rp4-5 miliar.
Lebih dari itu, yang patut dipertanyakan kepada pemerintah adalah mengapa membiarkan penyimpangan alokasi anggaran subsidi itu terdistribusi pada kelompok masyarakat mampu yang tidak berhak mengkonsumsinya? Terlalu naif bagi pemerintah dan otoritas berwenang tidak memiliki data terkini kelompok masyarakat yang berhak mengkonsumsi BBM bersubsidi tersebut. Apalagi sampai tidak disiapkan perangkat sistem perencanaan, pengawasan dan pengendalian BBM bersubsidi ini, mulai dari alokasi kuota sampai distribusinya ke titik serah terima atau SPBU. Pemerintah harus mengantisipasi kelebihan kuota subsidi BBM yang kemungkinan akan terjadi ini dan segera menambah pasokannya melalui pembelian ke produsen minyak dunia dengan harga yang lebih kompetitif.
Selain itu, tidaklah tepat dan bijaksana jika permasalahan penyimpangan alokasi dan distribusi yang terjadi, tapi kenaikan harga BBM bersubsidi lah yang dikampanyekan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, Menteri BUMN, Erick Tohir dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan menyatakan kewajiban dan tanggungjawab subsidi yang harus dijalankan pemerintah sebagai beban. Alih-alih menindak para pelaku yang terlibat dalam penyimpangan alokasi-distribusi anggaran untuk subsidi BBM tersebut, malah kelompok masyarakat miskin yang menerima akibat dan dampak kebijakannya.
Atas pengelolaan subsidi yang tidak tepat dan terminologi kompensasi yang salah kaprah itu, pantaskah tidak ada hukuman (punishment) pada otoritas yang merancangnya!? Haruskah masyarakat konsumen yang menerima beban kesalahannya?