Peluang Keberhasilan Gugatan Karen Agustiawan Terhadap PWC: Oleh Defiyan Cori/Ekonom Konstitusi
Mantan Direktur Utama (Dirut) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Pertamina (Persero) periode 2009-2014 dan pada tahun 2011 dinobatkan oleh majalah Forbes diurutan pertama dalam daftar pengusaha wanita berpengaruh kuat di Asia (Asia’s 50 Power Businesswomen) tiba-tiba membuat publik terkejut! Pasalnya, adalah gugatannya pada perusahaan akuntansi PT PricewaterhouseCoopers Consulting (PWC) Indonesia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan persidangan pertama dijadwalkan pada 12 Desember 2023. Gugatan tersebut berkaitan erat dengan kasus yang sedang dijalaninya, yaitu sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas pembelian liquefied natural gas (LNG).
Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa tiba-tiba saja seorang mantan pimpinan perusahaan pengguna jasa konsultan dan auditor menggugat perusahaan yang dipilihnya sendiri dan apakah lembaga auditor dapat digugat atas laporan pemeriksaannya? Bahkan, PWC sebagai tergugat dituduh melakukan perbuatan melawan hukum atas laporan terkait investigasi pengelolaan bisnis LNG dan meminta kerugian yang telah dialami sebesar Rp12 miliar serta mengugat ganti rugi sebesar US$ 78 juta atau senilai Rp1,2 triliun. Sementara itu, pada kasus korupsi yang dituduhkan KPK kepada dirinya negara dinyatakan mengalami kerugian keuangan sejumlah sekitar US$140 juta atau setara dengan Rp 2,1 triliun. Apakah ini sebuah serangan balasan (counter attack) Karen Agustiawan pada PWC sebagai perusahaan audit yang dipekerjakannya. Atau hanya soal selisih nilai antara kerugian negara Rp2,1 triliun dan tuntutannya kepada PWC sebagai pelaku jasa akuntan publik sejumlah Rp1,2 triliun atau Rp900 miliar?
Jasa Akuntan Publik telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik yang memuat antara lain ketentuan profesi Akuntan Publik, Pendidikan Profesional Berkelanjutan konsultan, penyusunan dan penetapan Standar Profesional Akuntan Publik pembatasan jasa audit dan hasil audit. Peraturan lain terkait teknis operasionalnya juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2015 tentang Praktek Akuntan Publik (PP 20/2015), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.01/2017 (PMK 155/2017), PMK 186/2021 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2023 tentang Penggunaan Jasa Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam Kegiatan Jasa Keuangan.
Mengenai kasus gugatan Karen Agustiawan terhadap PWC, maka jasa akuntan publik memang dapat digugat sesuai ketentuan Pasal 28-29 UU 5/2011 pada pokok independensi akuntan, kode etik dan kerahasiaan hasil audit. Namun demikian, proses pemilihan dan penunjukan jasa akuntan publik juga mengharuskan adanya uji tuntas (due dilligence), termasuk rekam jejaknya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sering kali terjadi kongkalikong antara pengguna jasa konsultan atau auditor dengan rekanannya atas laporan keuangan perusahaan yang diperiksa. Apalagi biaya jasa konsultan dan atau jasa audit dibebankan pada perusahaan pengguna sehingga dapat mempengaruhi sifat independesi hasil auditnya.
BUMN Pertamina sendiri telah lama menjalin kerjasama dengan PWC, bahkan transformasi bisnis korporasi pada tahun 2021 dikerjakan oleh perusahaan konsultan terkenal 4 besar (big four) dunia tersebut. Meskipun begitu, rekam jejak (track record) PWC atas kasus kecurangan yang melibatkan manipulasi data dan pelanggaran etik (fraud) sering terjadi.
Tercatat, perusahaan besar multinasi onal ini ikut mengalami fraud akuntasi pada awal triwulan kedua tahun 2017 di perusahaan raksasa Inggris British Telecom Price. Atas berbagai kasus skandal yang telah mendera PWC pada beberapa perusahaan besar dunia lainnya, maka masuk akal (logis) jika BUMN Pertamina tidak menggunakan jasanya lagi. Lalu, apa alasan mendasar menggunakan jasa konsultan dan akuntan publik asing tersebut?
Oleh karena itulah, kasus gugatan Karen Agustiawan ini menjadi menarik tidak saja terkait proses pemilihan dan penunjukan konsultan jasa audit PWC itu, melainkan juga sejauh mana penggunaan standar akuntansi publik (SAP) dan kode etik auditor diterapkan dalam pemeriksaan laporan keuangan.
Apabila ditemukan fraud, maka Pasal 55 UU 5/2011 telah menetapkan sangsi administrasi sampai pencabutan izin operasional kantor akuntan publik (KAP) dimaksud sebagaimana diatur lebih teknis pada PMK 186/2021. Hakim tentu akan memberikan perhatian pada pemilihan dan penunjukan perusahaan jasa konsultan jasa audit publik PWC beserta rekam jejaknya. Setelah itu, baru memeriksa profesionalisme, independensi dan pelanggaran kode etik (fraud) atas obyek laporan keuangan yang diperiksa oleh PWC sebagai auditor yang ditunjuk BUMN Pertamina.
Peluang dikabulkannya gugatan Karen Agustiawan terkait tuntutan ganti ruginya atas hasil audit PWC sangat tergantung pada hubungan (relasi) kedua faktor tersebut.
Sejauh PWC independen dan memegang teguh kode etik, maka pemilihan dan penunjukan PWC tidak bisa dipermasalahkan walaupun pernah ada rekam jejak kasus fraud akuntansi. Sebaliknya, apabila PWC terbukti melakukan tindakan pelanggaran profesionalisme, independensi dan kode etik (fraud) maka peluang Karen Agustiawan memenangkan gugatan terbuka luas.
Last but not least, kasus gugatan mantan Dirut BUMN Pertamina ini sekaligus adalah bahan berharga bagi Dirut BUMN Pertamina lainnya yang juga pernah dinobatkan prestasinya mendunia sebagai pengusaha wanita berpengaruh hubungannya dengan pemilihan dan penunjukan perusahaan jasa konsultan.