Novelet “Sang Tokoh”: Karya Wina Armada Sukardi
XI. Pertarungan Hitam Putih
Inilah arena yang ditetap untuk pertarungan antara Sang Tokoh dengan Lelaki Kelompok Hitam. Pertarungan golonhan putih melawan golongan hitam. Tokoh kita mewakili golongan putih, lawannya mewakili golongan hitam. Venue ini dipilih sebagai ad tarung itu. Sebuah tempat kabarnya milik sebuah banjar Bali. Mungkin disewa.
Letaknya agak terpencil. Untuk masuk sampai ke tempat ini, harus melalui berbagai pohon besar, terutama pohon beringin. Di sisi kiri ada pengunungan yang masih ditubuhi semacam hutan cukup lebat. Di sana masih ada banyak binatang bias, terutama monyet-monyet. Sebagian sudah sering berinteraksi dengan manusia, sebagian lagi masih semi liar. Juga ada beberapa harimau. Tentu banyak pula uler dan burung.
Kalau terus masuk melewati venue duel, akan ada pantai. Walaunpun pasirnya hitam, sebenarnya pantai ini indah, tetapi karena ada dua palung yang dapat menyedot orang ke bawah, pantai ini jarang dikunjungi orang, terutama wisatawan. Mungkin terlalu bahaya.
Rumah-rumah di depan pantainya juga cuma ada beberapa saja. Sebaliknya di depan ketika masuk, terutama di sebelah kanan, penduduknya malah cukup padat.
Semalam Sang Tokoh diberitahu ditempat ini bakal dilaksanakan “duel.” Diminta Sang Tokoh tak boleh membawa penonton , karena “nanti sudah pasti banyak penonton dari kedua belah pihak.” Sang Tokoh tak mengerti bagaimana mungkin penonton “dari kedua belah pihak” bakal hadir, jika tak ada dari pihaknya yang diberitahu acara ini? Hanya keluarganya sendiri yang tahu. Memang, menurut ketentuan, hanya keluarganya yang boleh menghadiri pertarungan menjadi penonton. Selain itu dilarang. Kepada keluarganya, Sang Tokoh sudah menceritakan semuanya.
“Aneh,” kata Ayah Sang Tokoh. Anggota keluarga lain tidak berkomentar apa-apa.
Mereka mengantar Sang Tokoh naik mobil sewaan. “Nih saya bawa tongkatnya. Kemarin baru beli,” ujar kakaknya membanggakan sebuah tongkat yang baru dibelinya.
“Allaaa, tongkat kayak gitu mah di puncak juga banyak di jual di pinggir jalan,” adiknya mencela.
“Ini lain dong. Lihat penug ukirannya sepanjang tongkat. Padahal terbuatndaei kayu ulin hitam dari Kalimatan yang samgat keras lho. Susah banget diukirnya! Terus Gagangnya dilapis dari tanduk sapi. Pokoknya istimewa, deh ” tutur kakaknya membela diri.
“Terus buat apa dibawa-bawa?” ejek adiknya lagi.
“Ya keren! Jadi kelihatan gaya!”
“Norak!”
Mereka turun di arean masuk bagian depan. Dari sana mereka berjalan kaki ke gelanggang. Meskinpun agak jauh, tetapi karena lokasinya asri dan sejuk, mereka tak merasa lelah.
Di tengah jalan Samg Tokoh berjumpa dengan seorang pedante berbusana serba putih. Lengkap layaknya seorang pedande ketika sedang bertugas. Wajahnya bersih dan terpancar kebijakaan. Mereka saling senyum.
“Saya tidak ikut campur urusan kalian. Saya cuma ingin melihat saja bagaimana kalian menyelesaikan masalah. Mungkin bisa jadi pelajaran,” kata Pedande itu sambil tersenyum.
“Iya. Terima kasih,” jawab Sang Tokoh.
Di arena masih terlihat sepi. Tak ada penonton sama sekali. Rombongan keluarga Sang Tokoh meletakan barang bawaannya berupa tas, topil dan juga tongkat. Lantas merela berdoa bersama dipimpin Ayah Sang Tokoh. Intinya isi doa: mohon perlindungan, bimbinhan dari Allah dan dihinindari dari malapeta. Sewaktu mereka selesai berdoa , rupanya si lelaki yang bertemu di bandara dan beberapa kawanya sudah ada dan bersiap juga di arena. Hanya si lelaki yang menaka Sang Tokoh yang dintengah arena berhadapan dengan Sang Tokoh. Dua orang berbadan besar masing-masing yang hitam dan kuning sipit yang “menjemput” Sang Tokoh , duduk di pinggir berhadap-hadapan dengan kekuarga Sang Tokoh.
Sedang Tokoh juga telah berada arena berjarak sekitar 5 – 8 meter.
Peraturannya : duel berlangsung tiga ronde. Setiap ronde paling lama 3O menit, atau jika ada yang keok sebelum 30 menit, tiap rondenya selesai. Pas 30 menit otomatis masing-maaing sudah ditata alam tidak bakal dapat melanjutkan dalam situasi apapun. Lalu istirahat lima menit.
Pada ronde ketiga, ronde terakhir, harus ada pemenangnya. Jika belum ada pemenang pada ronde terakhir, pertandingan tidak dibatasi waktunya. Sampai kapanpun. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan, setahun, satu dekade, satu abad dan entah sampai kapan. Kalau belum ada pemenang tapi fisik sudah wafat, jiwa lawan jiwa. Wujud jiwapun dapat berubah macam-macam, termasuk fisik manusia lagi.
Sang Tokoh memperhatikan sekeliling. Dia terkejut. Di seluruh sisi arena dipenuhi penonton. Hanya saja para penontonya kelihatan aneh. Wajah-wajah mereka tidak seperti manusoa biasa. Sebagian wajahnya cuma nampak samar-samar. Matanya dingin tak berkedip. Sang Tokoh tidak dapat memastikan apakah kaki-kaki penonton ini menyentuh dasar atau tidak.
Ronde pertama dimulai.
Lawan tiba-tiba mengeluarkan tali temali yang bercabang-cabang. Tali itu diputar-putar keras ke arah Sang Tokoh. Setiap puteran menimbulkan angin puter sangat keras ke arah Sang Tokoh. Hebusannya luar biasa kencang. Jika terkena, Sang Tokoh pasti bakal terpental berputar-putar dan dapat merusak organ dalam tubuhnya.
Menghindari efek negatif, Sang Tokoh awalnya memutar-mutarkan tubuhnya dengan arah yang berlainan dengan arah angin dari lawan, sehingga angin berhenti dan berpitar ke samping dan meluncur ke luar.
Setelah itu giliran tangan Toloh yang berputar-putar lalu dibuat ke arah lawan. Angin pun berbalik arah menuju lawan membuat lawan harus menghentikannya angin balasan. Caranya putaran tali-temali diperlambat.
Tiba-tib a tali-tali berubah menjadi rantai-rantai besar seperti sering dipakai di pelabuhan untuk menahan kapal. Rantai-rantai ini dapat melar mencapai Sang Tokoh. “Sabetan” itu jelas dapat melukai tubuh Sang Tokoh. Menghadapi ini Sang Tokoh berkonsentrasi dan membentuk benteng aura yang tak dapat ditembus rantai. Terjadilah benturan-benturan rantai dengam semacam tameng besi.
Benturannha menimbulkan suara keras. Berkali-kali gagal, lawan mengubah strategi lagi.
Tiba-tiba rantai-rantai itu berubah menjadi puluhan ular kobra. Kumpulan uler itu berdesis-desis menuju Sang Tokoh. Sekali kena patokan dari seorang ular ini saja, mungkin Sang Tokoh dapat kena racun berbisa dan beberapa saat kemudian dapat tewas.
Sang Tokoh waspada penuh. Dia mengatur dirinya untuk dapat berbicara hanya dengan hewan ular.
“Hai para ular, kalian dari mana?” sapa Sang Tokoh.
“Hai….hai…..hai.. kami….” beberapa ular kobra menjawab tidak tuntas. Sebelum melanjut menjawab, suara mereka sudah hilang. Sementara mereka terus maju ke arah Sang Tokoh.
Dalam sekejap Sang Tokoh faham, ini adalah tipuan. Ular-uler itu hanya fisiknya saja, tetapi yang bergerak adalah kekuatan sihir.
Lansung Sang Tokoh teringat kisah Nabi Musa. Dalam bebagai kitab suci dikisahkan Nabi Musa AS diberikan mujizat oleh Allah. Tongkat Nabi Musa dapat berubah menjadi ular sangat besar. Berawal ketika Allah SWT mengutus Nabi Musa AS untuk menghadap Fir’aun, raja Mesir yang masih menyembah berhala dannsangat kejam.
Allah memerintahkan Nabi Musa AS untuk meminta Fir’aun tidak bertindak kejam dan menghentikan perbudakan. Sebelum berjumpa dengan Firaun, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk melemparkan tongkatnya ke tanah. Seketika tongkat Nabi Musa tersebut berubah menjadi ular. Kemudian Allah juga memerintahkan Nabi Musa mengulurkan tangannya Nabi Musa untuk mengambil ekor ular tersebut. Walhasil, ular tersebut berubah menjadi tongkat lagi.
Ketika berhadapan dengan Firaun, penguasa zholim itu menampikan penyihirnya yang paling hebat. Di hadapan Nabi Musa Tulang Sihir memainkan tali temali, dan hup, tetiba tali-taki iti berubah menjadi ular-ular yang ganas siap mematuk Nabi Musa. Sesuai perintah Allah, Nabi Musa melemparkan tongkatnya. Seketika tongkatnya itu berubah menjadi ular yang sangat besar. Melihat ini, ular-ular tulang sihir ketakutan dan langsung dipatuk dan dimakan oleh ular milik Nabi Musa. Setelah semua ular tukang sihir habis, Nabi Musa memeganh ekor ular besar iyu. Ular itupun berubah menjadi tongkat kembali.
Sang Tokoh faham, ular-ular kobra adalah sihir yang berisi mahluk-mahluk jahat, entah apa. Kalau dibiarlan pastilah mereka meremuk redamkan Sang Tokoh. Makanya harua dilawan.
Terinspirasi dari kisah Nabi Musa, Sang Tokoh teringat tongkat yang dibawa kakaknya. Sebelum ular-ular kobra sampai padanya, cepat dia mengambil tongkat kakaknya dan dengan mengucapkan bismilahhirohmanhirohim, Sang Tokoh secepat kilat melemparlan tongkat itu ke gerombolan ular kobra yang mengejarnya. Selanjutnyan Sang Tokoh membaca ayat-ayat Quran yang menguaahkan Nabi Musa seperti Surat Al Kahfi ayat 60-82 dan Surah Taha ayat 77 dan sebagainya.
Begitu tongkat dilempar okeh Sang Tokoh, bagaikan kisah Nabi Musa, tongkat itu pun berubah menjadi Ular besar. Ular itu menghadang dan menelan satu persatu ular kobra yang ada. Beberapa ular kobra melarikan diri ketakutan, selebihnya ditelan ular besar Sang Tokoh
Ular besar Sang Tokoh telah siap menyantap orang ada dihadapan. Lawan Sang Tokoh. Sekali telan mungkin lawannya akan hilang. Sebelum itu terjadi, Sang Tokoh memegang ekor ular itu. Seketika ular itu berubah lagi menjadi tongkat
Ronde pertama mutlak milik Sang Tokoh
Istirahat. Sang Tokoh dan keluarganya sholat dua rakaat dan kembali berdoa
“Nanti kalau sudah mulai ronde kedua mulaI, tolong terus berzikir. Selang seling dengan suara nyaring dan lembut.
Ronda kedua dimulai….***
Bersambung…
—
Update Terbaru Informasi Setiap Hari. Silahkan Baca Berita Semangatnews di GRUP TELEGRAM ini.
—
Cara Update Terbaru Informasi Setiap Hari. Silahkan Baca Berita Semangatnews di GRUP WhatsApp (read Only) ini.