Novelet Religi “Sang Tokoh”: Karya Wina Armada Sukardi
IX. Berjumpa Ratu Pantai Selatan
KENDATI telah berhasil menyelesaikan persoalan tuduhan kepadanya di media sosial dengan cara unik, Sang Tokoh tetap merasa sangat lelah. Mungkin tanpa disadari, persoalan tersebut telah menguran tenaganya, sekaligus dia mengalami pergulatan batin yang berat. Sekarang, semuanya sidah beres. Sudah ada klarifikasi yang disaksikan berjuta-juta orang.
Tak hanya itu, undangan untuk ceramah, jadi khotib dan sebainua lansaung berdatangan lagi bertubi-tubi. Panitia pengundang pun banyak yang mohon maaf atas sikapnya ikut menghakimi Sang Tokoh. Semuanya dijawab Sang Tokoh, tak ada masalah. Tetapi Sang Tokoh mengutarakan dalam tempo sebulan ke depan, dia belum aktif lebih dahulu. Sang Tokoh ingin istirahat sejenak. Ingin santai. Ingin menenangkan diri dulu.
Atas saran kakaknya, Sang Tokoh akhirnya memilih daerah beristirahat di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Dipilih Hotel yang tidak terlalu ramai, Hotel Pelabuhan Ratu Indonesia Internasional, sebuah hotel BUMN yang sudah sangat lama berdiri, bahkan yang pertama ada disana yang bertaraf internasional.
Letak hotelnya di bibir Pantai Pelabuhan Ratu. Dari hotel debur ombak masih terdengar. Apalagi pada malam hari, lebih jelas lagi suara obaknya, menimbulkan suasana tenang sekaligus mistis. Tak heran di seputar wilayah hotel ini beredar berbagai macam mitos dan aneka cerita mistis.
Hanya saja hotelnya yang sudah lama belum banyak direnovasi. Banyak bagian hotel yang terasa sudah usang dan kurang diberi sentuhan internasional yang sesuai zaman. Dengan begitu, hotel terasa ketinggalan zaman dan bahkan rada “redup dan hambar.” Belum lagi kualitas makanannya pun disini, “pas-pasan” saja. Setelah jalan tol Jakarta Sukabumi tembus ke sekitar Pelabuhan Ratu, jika ingin dibanjiri turis, perlu banyak perubahan dan perbaikan.
Tetapi lantaran yang dicari Sang Tokoh bukan itu, melainkan ketenangan, Sang Tokoh tidak begitu memperdulika hal-hal itu. Baginya, jika hotel dapat memberikan ketenangan, sudah cukup.
Sang Tokoh datang lengkap satu keluarga. Mereka mengambil beberapa kamar yang sederatan. Lokasi kamarnya di lantai tertinggi yang diperuntuan kamar. Semuanya menghadap pantai. Dari kamar di subuh menjelang pagi masih dapat melihat matahari mulai terbit. Sebaliknya di senja hari terlihat matahari mulai mengundurkan diri. Dua-duanya memmberikan pemandangan yang indah.
Kamar Sang Tokoh berada pada deretan palinh akhir di antara kamar keluarga, tapi belum sampai di ujung kamar hotel.
Sudah tiga hari di hotel, hampir setiap hari Sang Toko lari pagi dan melihat matahari siap terbit menjalankan tugasnya. Desiran ombak dan udara yang segar membuat Sang Tokoh menikmati benar suasana itu.
Sore hari terkadang turun hujan gerimis, namun tak lama. Sebelum magrib hujan biasanya sudah berhenti. Tapi sore ini tak tak asa hujan. Malamnya udara panas. Walaupun di kamar sebenarnya udara panas itu tak terasa karen a ada AC, namun Sang Tokoh merasa ingin mendapat udara malam di tepi pantai. Dia turun ke lobi dan menuju daerah bibir pantai. Sepi. Hampir tak ada orang. Hanya ada beberapa lampu menuntun jalan ke pantai dan balik ke hotel.
Sang Tokoh menengadah ke atas. Bulan terlihat bulat lonjong sepatuh dan berwarna kuning keemasan.
Bintang-bintang berserakan di langit. Sebagian ada yang nampak berkelab-kelib. Angin bertiup sediki kencang. Tapi tak lama kemudian cuaca cepat berubah.
Awan hitam seakan memgusir bulan dan bintang-bibtang. Seperi menyera, bulan dan bintang semuanya sudah tertutup awam, diikuti jatuhnya tetasan air hujan ke bumi. Untuk menghindari air hujan yang mungkin lebih besar, Sang Tokoh berlari-lari kecil ke dalam hotel. Sebelum masuk hotel dia
mengibas-ngibaskan bajunya dari butiran air yang menempel si bajunya.
Masuk ke dalam lobi hotel dia mendengar jelas suara gamelan. Di arah kaca depan dia melihat para pemain gamelan sedang menabuh masing-masing alatnya. Mereka
nampak masih mudah dan tampan dengan busana adat Sunda Jawa Barat.
Dari tempat Sang Tokoh berjalan dia jiga melihat dengan jelas ada beberapa sinden duduk di bagian depan, nanun mereka tidak bersenadung. Para sinden itu masih belia serta terlihat jelita dan berseri.
Di seputar pertunjukan gamelan, Sang Tokoh merasa mencium bau harum alamiah kembang. Dalam beberapa tradisi daerah m meman di seputar gamelan sering ditabur berbagai kembang yang harum untuk memberikan keselarasan antara bunyi dan suasana kebatinan. Sang Tokoh menenggok jam tanyanya. Pukil
20.58. Hebat juga nih hotel, batin Sang Tokoh, sampai malam begini masih menampilkan pertunjukan gamelan. Gak peduli ada atau tidak ada penontonnya hotel tetap konsisten menyajikan pertunjukan gamelan.
Santai Sang Tokoh menuju lift yang terletak tak jauh dari sana. Setelah dia masuk lift dan telah menekan angka tombol lantai kamarnya, tiba-tiba muncul dua wanita muda. Mereka memakai kebaya hijau dan rambutnya disanggul. Keduanya menekan tombol stop. Satu menit kemudian, berarti tepat pukul 21.00, seseorang wanita berpakian kebaya hijau masuk ke dalam lift. Kelihatannya dia boss dari kedua perempuan yang masuk duluan.
Wouw, cantik nian perempuan setengah baya ini. Hidung mancung tetapi tidak semancung hidunh orang Eropa. Matanya penuh kharisma. Baju kebayanya dari pundak dan dada depan dibuat tranaparan, sehingga nampak kulitnya yang mulus. Ya ampun, dia sempat melirik sebentar ke Sang Tokoh. Keringan matanya dahsyat bagaikan aliran listerik berkapasitas tinggi. Jantung Sang Tokoh hampir copot. Luar biasa menariknya ini mahluk perempuan, dalam pengelihatan Sang Tokoh.
Kemudian perempuan itu berdiri di depan tombol-tombol lift, sebelah kanan depan Sang Tokoh. Rambutnya tergerai. Di bagian dahi ada semacam mahkota perak campur emas dan dihiasi mutu manikam.
Dan amboi, wanginya minta ampun. Meski wangi terasa benar, namun bukanlah harum yang menyegat hidung, tapi harum yang menimbulkan romantisme, terutama bagi kaum adam. Harum yang membuat pria dewasa manapun pasti ingin mengikuti dan menghirupnya.
Dari arah belakang Sang Tokoh terus memperhatikan perempuan itu. Semuanya hampir sempurna, batin Sang Tokoh. Kalaulah tidak ada dua “asistennya” mungkin Sang Tokoh telah berniat mengulurkan tangan berkenalan.
Beruntung Sang Tokoh bukanlah tipe
lelaki “bangor. “ Bukan lelaki hidung. Meski tertarik, dia dapat menahan diri. Tidak lupa diri. Melihat ada perempuan dengan sejuta pesona, dia juateru tafakur. “Ya Allah, Ya Tuhanku, bimbingalah hambamu ini. Kuatkanlah iman hamba,” Sang Tokoh berdoa, dalam hati.
Dua assisten perempuan itu menekan tombol angka di lift. Sang Tokoh melirik. Sepintas dia melihat yang ditekan angka 6. Tak lama kemudian, di lantai 6, prempuan itu keluar, diikuti oleh dua asistennya. Sang Tokoh melihat mereka sampai pintu lift tertutup lembali
Sekeluarnya “tiga bidadari itu” di lift juateru meninggalkan harum luar biasa. Kali ini sedemikian harumnya membuat kepala Sang Tokoh agak pusing. Lebih pusing dan semakin pusing. Akibatnya dia sampai lupa kamarnya ada di lantai berapa. Sudah beberapa kali Sang Tokoh turun di lantai yang salah. Keluarganya pun tidak dapat dihubungi sama sekali. Telepon tangan mereka tiba-tiba seperti mati. Sang Tokoh
benar-benar tidak dapat menemukan lantai kamarnya.
Sekali lagi Sang Tokoh mencoba menekan tombol lift dan turun. Salah lagi. Rasa pusing masih ada pada diri Sang Tokoh, tetapi sudah agak berkurang. Di pinggir sebelah lef, dia berdoa: minta ampun ke Allah dan minta ditunjukan jalan ke kamarnya serta minta dihindari dari musibah dan malapetaka.
Selesai berdoa Sang Tokoh bersandar di dinh hotel. Sedikit demi sedikit ingatan pulih. “Astafirrullah,” katanya. Sang Tokoh seperti tersadar dari pikiran yang menerawang. Dia juga langsung ingat kembali lantai dan nomer kamarnya, termasuk nomer kamar keluarganya.
“Kok kalian saya telepon gak mengangkat semua,” protes Sang Tokoh kepada keluarganya ketika telah sampai di kamar orang tuanya dan keluarganya berkumpul disana.
“Iya aneh, tadi kami semua seperti secara bersamaan sangat mengantuk,sehingga semuanya tidur secara bersamaan pula,” jelas ibunya. Nampaknya sesuatu yang tidak wajar tapi itulah yang terjadi.
Pagi harinya ketika sarapan di ruang restoran hotel, Sang Tokoh sudah selesai mengambil makanannya. Seorang pelayan datang mengantarkan kopi.
“Memang di hotel ini gamelan setiap malam hari sampai jam berapa?” tanya Sang tokoh kepada pelayan itu.
“Gamelan?” pelayan itu balik bertanya. Heran.”Sudah beberapa tahun terakhir hotel tidak pernah menampilkan gamelan sama sekali,” tekannya.
“Ah, tadi malam saya melihat dan mendengarnya kok,” sanggah Sang Tokoh.
“Tidak ada Pak!” jawab pelayan tidak kalah tegasnya. “Kalo Bapak kurang yakin coba tanya petugas atau tamu lain. “
Mereka berdua lantas bertanya kepada perugas dan tamu yang tadi malam masih ada di lobi. Semua jawaban sama: tidak ada gamelan.
Dalam sekejap ada tidak gamelan tadi malam sudah menjadi topik ramai di restoran itu. Semuanya tidak ada yang beda: tidak ada gamelan. Yang beda ada berbagai pendapat kenapa Sang Toko merasa melihat dan mendengar ada gamelan?! Ada yang bikang itu ilusi belaka. Ada yang bilang juga karena Sag Tokoh lagi pusing dan sebagainya.
Manakala Sang Tokoh sedang bingung, seorang lelaki memakai ikat kepala adat Sunda Jawa Barat menghampiri Sang Tokoh. “Tadi malam mendengar dan melihat gamelannya pas sebelum jam 9 ya?”
“Iya.Kok Bapak tahu?” Sang Tokoh heran
“Pas jam 9 Bapak masuk lift”
“Betul! Daripada Bapaka bisa tahu?”
“Sebelum saya jawab pertanyaan Bapak, saya justeru mau tanya Bapak dulu: dari mana Bapak tahu itu jam itu pas jam 9?”
“Kebetulan saya lihat jam tangan saya!”
“Oke kalao begitu,” ujar lelaki tersebut mengangguk-angguk. Dia lantas meneruskan.”Saat itu semerbak wangi kembang?”
“Tidak salah!”
“Waktu Bapak Masuk lift ada seorang perempuan cantik memakai baju hijau ikut masuk lift jugakah?”
“Betul. Tapi ada dua orang wanita yang juga cantik lebih dahulu masuk, baru wanita yang Bapak bilang sangat cantik masuk!”
“Mohon maaf dia melirik Bapak?”
“ Begitulah “
“Bapak mengakui wanita itu luar biasa jelitannya. Perempuan yang hampir sempurna?”
“Tidak salah!”
“Mereka turun di lantai 6?”
“Tepat!”
“Setelah perempuan itu keluar lift mereka
meninggalkan wangi harum yang tak terkirakan?”
“Ya”
“Waktu Bapak keluar lift kepala Bapak pusing sekali sehingga tidak ingat sebagian besar kejadian sebelumnya?”
“Iya.”
“Tadi malam hari apa?”
“Hari kamis malam atau malam jumat!!”
“Tidak salah. Itulah…..” orang itu berhenti sejenak. Berpiki keras. Menenggok ke kiri ke belakang. Akhirnya dengan suara keras dia berkata,”Itu Ratu Pantai Selatan. Itu Nyai Roro Kidul!”
“ Nyi Roro Kidulll????” serentak yang ada disana menjawab terkejut.
Bersambung….