Menyimak Tulisan Marah Sakti Siregar; Kiprah Atal Dipreteli Bak Disayat Sembilu
Oleh Zulnadi
Berulang-ulang saya membaca catatan Wartawan Senior Marah Sakti Siregar (MSS) dengan judul, ” Kongres PWI.MENYIGI LIMA TAHUN KIPRAH BANG ATAL.”
Tulisan dedengkot WartawanTempo ini sungguh runut,runtut dan komprehensif. Tak satupun yang luput dari pengamatannya tentang sepak terjang Ketua Umum Atal Sembiring Depari rentang 5 tahun yang terpilih pada kongres PWI di Solo tahun 2018.
Tulisan MSS tidak memperlihatkan emosi. Mereka berteman, MSS tetap mengedepankan objektif. Namun bila diresapi secara mendalam MSS mengupas dan menguliti bak disayat sembilu. Dari A sampai Z kiprah Atal di preteli. Tak terasa darah meleleh sampai kering di badan.
Satu persatu janji Atal 5 tahun yang lalu disigi dan diterawang. Ada lima misi Bang Atal saat mencalonkan dulu yang dirumuskan dalam pelbagai program: pendidikan berbasis teknologi digital; perbaikan manajemen dan administrasi berbasis digital; gerakan wartawan masuk kampus; meningkatkan peran pengurus pusat untuk aktif dalam penyelesaian di daerah; dan PWI sebagai inisiator dan stake holder perumusan regulasi media baru.MSS justeru tidak menemukan alias hanya pepes kosong.
Aplikasi PWI yang katanya segera terwujud dan juga PWI Comand Center. Tak satupun terlaksana. Bang Atal justeru terperangkap tugas rutin turun ke daerah menghadiri konferensi atau acara pelantikan sekalian penggalangan untuk dipilih kembali.
MSS dalam catatan yang dilansir sejumlah media, utamanya media online selain menyorot masalah internal; soal kepatuhan terhadap konstitusi PWI, Atal dinilai kurang peka dan eksis terhadap berbagai issu yang berkembang di kalangan anggota dan juga masyarakat. PWI kalah cepat dengan organisasi wartawan lainnya, sebut MSS.
Masalah internal Atal juga sering abai dan melanggar PDPRT dan KPW yang disahkan kongres PWI Solo. Atal juga tidak mau melaksanakan sanksi yang direkomendasikan Dewan Kehormatan-DK yang putusannya adalah final dan mengikat. Sanksi dimaksud adalah terhadap Zugito dan Basril Basyar.
Belum pernah ada masa di dalam kepengurusan di PWI Pusat segelap sekarang. Era gelap ini bahkan tidak terjadi di era PWI Pusat dipimpin dua tokoh PKI, Djawoto ( pada akhir tahun 50 an ) dan Karim DP (1963-1965).
Jejak digital kepengurusan Atal amburadul. Plintat- plintut. Inkonsistensi. Untuk kepentingan pribadi aturan dilabrak. Itu hal biasa bagi Atal. Tatanan organisasi berjumpalitan dibuatnya. Sulit diterima akal sehat kalau dia mengklaim dirinya sebagai tokoh pers, wartawan senior dan berpengalaman mengurus organisasi dengan hasil seperti sekarang.
Separuh cabang yang mengalami penggantian pengurus diwarnai pergolakan. Menimbulkan masalah. Alhasil tiap cabang itu terpecah menjadi dua kubu.
Itu terjadi karena Atal sulit berlaku tegas sesuai PDPRT. Ia lebih dominan mengatur kepentingan pribadi ketimbang organisasi. Ia lebih butuh “setoran” balas budi cabang- cabang agar mendukung dia di Kongres Bandung yang dibuka , Senin 25 September 2023.
Kembali pada tulisan MSS, Atal sepertinya sudah lupa berteman dengan MSS yang meminta wawancara tentang persiapan Kongres. Awalnya dijawab akan dicari waktu, namun seminggu menjelang kongres dinyatakan waktu tidak ada karena sibuk persiapan Kongres.
Begitu juga pertemanan Atal dengan Ilham Bintang yang ketua DK itu. Sebagai pemegang amanah kongres Ilham dan anggota DK lain ingin menegakan konstitusi untuk maruah PWI. Tak terselip niat jahat DK untuk menjerumuskan Atal cs dalam kepengurusannya.
Kalau saja Atal mau mengalah dan mengeksekusi sanksi yang dijatuhkan DK, pasti Atal dapat dukungan dari anggota . Ia tidak susah payah menggapai untuk periode ke dua seperti ketum sebelumnya ( Almarhum Tarman Azzam dan Margiono) karena dinilai konsisten melaksanakan PDPRT dan KPW.
Bang Atal, simak dan baca baik baik tulisan Bro Marah Sakti Siregar. Jika banyak yang salah tolong bantah. Tapi kalau itu kenyataan, maka angkat saja bendera putih dan nyatakan tidak bersedia dicalonkan dan itu lebih elegan dan terhormat. Selamatkan PWI dan atau PWI hancur berantakan.