Menyesatkan, Pernyataan Ketum PWI di Makassar Soal Media Online
Oleh : Daeng Parani, Wartawan Makassar
Mau tidak percaya, tapi faktanya berkata begitu . Entah salah ucap atau memang disorientasi.
Yang bicara, lagi-lagi Ketua Umum PWI Pusat Atal Depari. Ponggawa organisasi wartawan yang hampir sembilanpuluh prosen anggotanya bekerja dan sekaligus menjadi publisher media online saat ini..
Kata Atal, berita media online tidak bisa dipercaya. Kebanyakan hoaxnya, banyak bohongnya. Berita media online itu bisa dihapus, bisa didelete sehingga sulit dimintai tanggung jawab, kata Atal lagi, yang hari itu mendapat nama “Daeng Rewa”. Nama khas Makassar yang entah pemberian dari lembaga adat mana pula.
Tapi kita berharap mudah-mudahan Atal salah ucap saja karena tidak menguasai materi yang dia bahas, dan bukan “disorientasi”. Sebab definisi disorientasi buruk sekali. Yaitu
perubahan kondisi mental seseorang yang menyebabkan ia tidak mengetahui waktu atau tempat mereka berada saat itu, bahkan tidak mengenali identitas dirinya sendiri.
Pernyataan kontroversial Atal disampaikan di sela -sela soft opening Kantor PWI Sulsel, Senin 14 Agustus lalu. ( Baca “Menyesatkan Klaim Kantor PWI Sulsel Simbol Perjuangan –17 Agustus 2023 oleh Daeng Parani).
Yang menyiarkan lembaga penyiaran pemerintah yang dibiayai rakyat : TVRI Makassar.
Pada awalnya Atal memuji media cetak sebagai media alami yang bisa dipercaya masih mematuhi kode etik jurnalistik. Sebelum berita dituruhkan oleh media cetak, imbuhnya, harus melewati pemeriksaan ketat redaksi sehingga terjamin kebenarannya. Membandingkan dengan media online yang disebut tadi kebanyakan hoax dan bohong, maka Atal yakin media cetak akan rebound ( bangkit kembali) menarik lagi pembaca media online.
Sulit kita percaya tapi nyata : pernyataan itu keluar dari mulut Ketum organisasi wartawan tertua dengan jumlah anggota terbesar di Indonesia. Pernyataan itu seperti tertinggal lebih seperempat abad di belakang. Ini mengambil ukuran momen Harian Kompas dan Harian Republika ketika memulai mencoba media online di Tanah Air pada tahun 1996. Di masa itu dua media besar tersebut telah mengambil langkah antisipasi merespons disrupsi tehnologi digital yang terjadi secara global.
Disrupsi teknologi digital adalah era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran secara fundamental. Kehadiran teknologi digital, mengubah sistem yang terjadi secara global. Perkembangan teknologi digital ini mampu menggantikan pekerjaan manusia. Platform digital mampu mengubah produksi, distribusi dan iklan di media. Belajar dari media-media yang berguguran para pengusaha media lalu belajar dan cepat beradaptasi mengubah model bisnis media digital atau online tersebut.
Setelah Reformasi 1998 di indonesia tren itu dipelopori Detik yang menggumuli secara serius penerbitan media digital. Detik berhasil mengalihkan pembaca berita media cetak mengikuti informasi melalui platform digital. Sekarang, hampir seluruh media cetak di Indonesia telah bermigrasi ke platform digital. Ada beberapa memang masih tetap menerbitkan media cetak ( Kompas, Media Indonesia) dan versi online ( selanjutnya ditulis Digital).
Namun, jumlahnya lebih banyak sudah terjun secara full digital. Seperti ” Seputar Indonesia”, “Republika”. Belum lagi dengan tambahan belasan ribu media baru digital yang lahir belakangan. Maka Atal sungguh lancang menyebut media digital kebanyakan hanya mempublikasi hoax dan kebohongan, mudah didelete atau dihapus. Padahal, Atal mestinya tahu, lebih satudasawarsa lalu Dewan Pers telah menerbitkan Pedoman Media Siber yang berfungsi mengontrol produk jurnalistik media – media digital di Indonesia.
Pernyataan Atal sangat serius karena mengandung pelecehan kemampuan profesional wartawan, yang kemungkinannya lebih banyak anggota PWI sendiri. Silahkan cek ke Dewan Pers yang jumlah konstituennya lebih banyak organisasi media online. Organisasi penerbit surat kabar / SPS ( baca : cetak) hanya itu saja di Dewan Pers.
Terlepas pula dari ingatan Atal pada momen Hari Pers Nasional di Medan Februari lalu dimana Presiden Jokowi menunjukkan sikap perlindungan terhadap media digital.Presiden memerintahkan para menterinya dalam satu bulan sudah menyiapkan draft Perpres perlindungan terhadap media digital. Bahwa hingga kini Perpres tersebut belum terealisasi itu hal lain yang bersifat tehnis.
Dasar pemikiran Perpres tersebut adalah pernyataan kehadiran negara untuk melindungi berita – berita berkualitas produk media – media digital termasuk hak ekonominya yang selama ini dikangkangi oleh platform Global seperti Google.
Momen HPN Medan di 9 Februari dengan Soft Opening Kantor PWI 14 Agustus lalu hanya berjarak delapan bulan. Masak persoalan penting media digital bisa cepat menguap dari benak Ketum PWI Pusat. Kemana para penasehat organisasi itu?
Lakekomae Daeng Rewa? Apa boleh buat saya terpaksa meminjam istilah orang Makassar.