Melindungi Jurnalis dari Kekerasan

by -
Melindungi Jurnalis dari Kekerasan

SEMANGAT JAKARTA – Peringatan World Press Freedom Day atau Hari kemerdekaan Pers dunia 2017 baru saja berlangsunng di Jakarta. Salah satu bahasan utama kegiatan yang dihadiri perwakilan UNESCO dan insan pers dari berbagai penjuru dunia tersebut adalah bagaimana memberikan perlindungan kepada jurnalis dari tindak kekerasan saat mereka menjalankan tugas. Termasuk jaminan untuk berekspresi.

Pertimbangan utamanya adalah masih banyak terjadi kasus tindak kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalisdi sejumlah negara termasuk di kawasan Asean. Bahkan perwakilan UNESCO dalam kesempatan tersebut meminta agarKomisi Hak azasi manusia HAM di Asia tenggara meningkatkan komitmen untuk menghindarkan jurnalis dari tindak kekerasan dan intimidasi.

Isu utama tindak kekerasan terhadap jurnalis ini barangkali memunculkan pertanyaan, sejauhmana sebenarnya tindak kekerasan dan intimidasi yang dialami para jurnalis atau masyarakat di tanah air lebih mengenal dengan sebutan wartawan ini, terjadi di berbagai negara. Mengapa mereka harus dijamin keselamatan dan kebebasan dalam berekspresi ketika menjalankan tugas?.

Menurut data Aliansi Jurnalis Independen AJI Indonesia, selama tahun 2016 ada sedikitnya ada 78 kasus lekerasan terhadap jurnalis di tanah air. Sayangnya hanya sebagian kecil yang dilaporkan ke Dewan Pers maupun yang diproses secara hukum. Demikian juga di tahun 2017, hingga bulan mei ini sudah tercatat sekitar 23 kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis di tanah air.

Padahal tugas jurnalis adalah mengumpukan informasi dan menyampaikan informasi tersebut untuk masyarakat. Tugas jurnalis juga dilindungi undang undang. Karena itulah ketika menghahang halangi, mengintimidasi bahkan melakukan kekerasan terhadap jurnalis ketika bertugas, berarti menghalangi hak publik untuk memperoleh iformasi. Ini bertentangn dengan undang undang Pers, Undang undang nomer 40 tahun 1999, yang pasti ada konsekwensi hukumnya.

Memang ada yang mengkaitkan peningkatan kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis tersebut sebagai imbas keterbukaan Pers. Di era keterbukaan sekarang ini harus harus diakui semakin banyak orang yang mengaku jurnalis tetapi tidak perpegang pada prinsip prinsip jurnalistik yang sebenarnya. Melanggar Kode etik Jurnalistik, menabrak P3SPS yang menjadi rujukan media elektronik. Merekalah yang sering menabrak aturan dan norma jurnalis sehingga mempengaruhi kredibilitas jurnalis yang sesungguhnya yang akhirnya berdampak pada ketidakpuasan orang atau pihak yang diberitakan, dan berbuntut pada terjadinya kekerasan maupun intimidasi.

Jurnalis atau wartawan tidak ubahnya profesi lain, seperti dokter, pengacara, guru, politisi, birokrat, buruh. Semuanya harus mendapat perlindungan hukum ketika menjalankan profesinya secara benar dan sesuai norma yang berlaku. Ketika dalam koridor tersebut tentu semua memiliki hak untuk dilindungi. Namun ketika sudah menyalahi atau menyimpang jauh dari norma dan regulasi yang mengaturnya, dapat saja hak memperoleh perlindungan tersebut menjadi gugur.

Artinya ketika masih berpedoman pada prinsip prinsip jurnalistik dan aturan yang berlaku, dalam kondisi apapun juga profesi dan kegiatan seorang jurnalis harus mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan intimidasi. Ini menjadi tugas kita bersama. Tugas pemerintah, tugas aparat keamanan, tugas perusahaan pers yang mempekerjakan dan tugas masyarakat. Memperkuat regulasi, meningkatkan profesionalime para jurnalis, pemahaman masyarakat, dan penegakan hukum secara konsekwen menjadi  menjadi syarat utama agar kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis dapat ditekan.

Benarkah wartawan mendapat perlindungan hukum? Pertanyaan itu mudah-mudah sulit dijawab. Akan tetapi wartawan tak ada bedanya dengan profesi lain. Dokter, advokat, guru, politisi, akademisi, birokrat dan para buruh, semuanya adalah anak-anak bangsa yang dilindungi hak-haknya secara konstitusional.

Perlindungan yang sama terhadap anak-anak bangsa itu sesuai pula dengan asas equality before the law (setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum). Equality before the law berasal dari pengakuan terhadap individual freedom. Pasal  27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya. Dengan demikian konsep equality before the law telah diintodusir dalam konstitusi, suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di  Tanah Air.

Perlindungan hukum untuk wartawan adalah amanah UU No 40/1999 tentang Pers. Dalam Pasal 8 dikatakan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Yang dimaksud dengan perlindungan hukum oleh undang-undang ini adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan Kaidah Etika Jurnalis (KEJ).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.