Makan Siang Gratis:Program Rasional dan Konstitusional: Defiyan Cori/
Ekonom Konstitusi
Gagasan program makan siang gratis yang disampaikan oleh pasangan calon Presiden Prabowo Subianto dan calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada kampanye lalu adalah ide yang luar biasa. Sebab, program makan siang ini merupakan wujud komitmen konstitusional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4, yaitu: *Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa*. Seharusnya kebijakan program makan siang gratis ini telah dijalankan oleh pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden sebelumnya karena banyak fungsi dan manfaatnya dalam mencapai cita-cita dan tujuan proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, program makan siang ini bukanlah pertama kali dilaksanakan oleh suatu negara, ada sekitar 64 negara dengan kebijakan beragam telah melakukannya tersebar di benua Asia-Afrika, Eropa dan Amerika. Di kawasan Asia dan Asia Tenggara saja, negara Jepang dan India telah lama melaksanakan kebijakan program makan siang gratis bagi siswa ini. Jepang lebih dahulu menjalankannya pada tahun 1898 dalam bentuk subsidi program bagi kelompok masyarakat miskin (maskin) dikenal dengan istilah *Shokuiku*. Barulah, pada tahun 1945 kebijakan program makan siang gratis ini dibuatkan Undang-Undang-nya (UU) sebagai landasan hukum berkekutan mengikat. Kemudian, India menjalankan program ini pada tahun 1955 dikenal dengan istilah Mid Day-Meal Scheme dalam bentuk skema khusus.
Negara tetangga Indonesia, yaitu Malaysia memulai program makan siang gratis bagi siswanya pada tahun 1979, sedangkan Vietnam telah lebih awal memulai, yaitu 1977. Sebagian besar latar belakang kebijakan negara-negara itu melaksanakan program makan siang gratis oleh pemerintahannya adalah disebabkan oleh meningkatnya angka kemiskinan dan kasus kurang gizi atau stunting. Selanjutnya, bagaimanakah halnya dengan program makan siang gratis yang ditawarkan oleh pasangan capres-cawapres nomor urut 2 tersebut? Seperti apakah skema dan pola penganggarannya serta berada pada kewenangan kementerian/lembaga mana pengelolaannya terkait jumlah siswa Indonesia sebagai sasaran program (targetting)?
*Skema dan Rekayasa Anggaran*
Jumlah siswa Indonesia berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pada tahun ajaran 2023/2024 jumlah totalnya adalah 53,14 juta orang. Dari jumlah tersebut, hampir 50 persen atau mayoritas siswa berada pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), yaitu sejumlah 24,04 juta orang (data BPS, 24.832.346). Jumlah siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) 9,97 juta orang (data BPS, 10.084.560). Sedangkan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) berjumlah 5,32 juta orang (data BPS, 5.016.558) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jumlahnya 5,08 juta orang (data BPS, 5.258.426). Barangkali, jumlah siswa yang sangat besar inilah banyak pihak di dalam negeri menyangsikan keberhasilan program makan siang gratis itu.
Di dalam pemerintahan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang selama ini menggeluti soal keuangan negara-pun seperti menerima beban dan kebingungan mencari terobosan. Alasannya, rancangan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2025 sebesar 2,48%-2,8%, dan defisit itu melebar dibandingkan rancangan APBN 2024 yang sebesar 2,29%. Bahkan, keberatan Menkeu ini juga didukung oleh pihak lembaga lender seperti Bank Dunia (the World Bank) melalui Kepala Perwakilannya untuk Indonesia dan Timor Leste, Satu Kahkonen dengan meminta Indonesia harus tetap patuh dengan aturan defisit fiskal. Apa urusan Bank Dunia dengan kebijakan program negara yang berdaulat?
Memang benar, kalau dihitung berdasar data jumlah siswa se-Indonesia tersebut program makan siang gratis kelihatannya akan mengeluarkan anggaran besar. Sebagai contoh latihan hitungan (exercise) saja dengan mengambil angka Kemendikbud Ristek atas jumlah total siswa 53,14 juta, jika alokasi makan siang gratis rata-rata Rp20.000/hari/siswa, maka kebutuhan anggarannya sejumlah Rp1,063 triliun. Total kebutuhan yang harus dialokasikan untuk program makan siang gratis bagi siswa dengan asumsi 25 hari belajar ini dalam APBN tahunan, yaitu sejumlah Rp318,84 triliun. Dibandingkan dengan keluhan Presiden Joko Widodo atas beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sejumlah Rp502 triliun dan keprihatinan Menkeu Sri Mulyani atas penyimpangannya, angka alokasi untuk program makan siang gratis itu belumlah seberapa.
Meskipun begitu, tetap saja terkait skema, alokasi anggaran dan kewenangan implementasi programnya pemerintah harus mempertimbangkan keterbatasan anggaran (budget limitation) yang ada. Sebagaimana ketentuan UUD 1945, alokasi APBN kementerian/lembaga porsinya telah terbagi sesuai arah dan prioritas pembangunan nasional tahunan. Sejumlah 20 persen dari total APBN merupakan hak mutlak yang dialokasikan secara tetap (fixed) untuk Kemendikbud Ristek. Atas dasar inilah, maka rancangan program makan siang gratis dapat dijalankan dengan membagi proporsi program dan kegiatan di Kemendikbud Ristek. Skema dan kewenangan ini mungkin konvensional serta ada konsekuensinya atau akan berdampak pada rasionalisasi anggaran program dan kegiatan tengah berjalan (existing) Kemendikbud Ristek.
Namun demikian, banyak skema lain untuk melakukan kebijakan program makan siang gratis tersebut, apalagi kalau peruntukkannya dibatasi hanya bagi kelompok siswa miskin atau dari orang tua tak mampu. Kewenangannya-pun tidak harus atau hanya berada pada Kemendikbud Ristek saja, melainkan lintas kementerian/lembaga serta alokasi anggarannya menjadi kurang dari Rp318,84 triliun. Apalagi kalau kebijakan program ini juga sekaligus melibatkan banyak pemangku kepentingan (multi stakeholders), seperti Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi/Kabupaten/Kota dan perusahaan swasta besar/korporasi dan BUMN tentu akan semakin ringan. Untuk mengkonsolidasikan program makan siang gratis, baik terkait skema, anggaran dan kewenangan agar mencapai sasarannya, maka Presiden terpilih mendatang perlu melakukan sinergitas antar kementerian/lembaga dan menggabungkan Kementerian Kesehatan dan Sosial sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Oleh karena itu, program makan siang gratis ini jelas merupakan sesuatu kebijakan yang masuk akal (rasional) sekaligus konstitusional dalam membangun Sumber Daya Manusia berkualitas, sehat, kuat dari asupan gizi cukup sejak dini. Banyak negara sudah memiliki kebijakan program makan siang gratis (school feeding) di sekolah, entah berupa sarapan, makan siang, atau keduanya. Program ini juga tercatat dalam laporan The State of School Feeding Worldwide 2022 dari World Food Programme (WFP). WFP mendefinisikan school feeding sebagai penyediaan makanan untuk anak-anak melalui program berbasis sekolah. Pemberian makanan di sekolah dapat berdampak pada setidaknya empat sektor, yaitu pertanian, pendidikan, kesehatan, dan mengatasi kemiskinan-pengangguran atau perlindungan sosial
Menurut WFP, anak-anak yang mendapat asupan gizi baik bisa belajar dengan lebih baik, lebih berpeluang mengoptimalkan potensinya saat dewasa, dan meningkatkan prospek penghasilan mereka. WFP juga menilai program makan gratis di sekolah bisa memberi manfaat langsung bagi petani kecil, mendukung produksi pangan dan perekonomian lokal, serta menopang adanya pasar makanan yang beragam dan bergizi. Jadi, kekhawatiran Bank Dunia dan ketidakkreatifan Menkeu Sri Mulyani terkait beban anggarannya adalah sesuatu yang mengada-ada (naif) atas data dan fakta yang disampaikan WFP tersebut! Semestinya, Menkeu-lah di dalam kabinet yang harus getol memperjuangkan anggaran negara untuk kebaikan generasi penerus bangsa agar semakin cerdas dan mampu memajukan dan memandirikan perekonomian bangsa sesuai konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945! Sambil menunggu hasil resmi penetapan Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) diharapkan Presiden Joko Widodo dapat memulai proyek percontohannya (pilot project) program makan siang gratis tersebut.