Ledakan Bom Sosial dalam Kekerasan Sepak Bola: Oleh Wina Armada Sukardi
_wartawan senior_
Sebenarnya, Aremania, julukan suporter kesebelasan Arema Malang, Jawa Timur, lebih dari dua dekade terakhir sudah dikenal sebagai salah satu suporter klub sepak bola Indonesia yang paling tertib, damai, atraktif dan simpatik.
Mereka sudah terbiasa masuk ke stadion menonton tim Kesayangannya dengan membayar. Kesadaran membeli karcis bakal membantu penampilan dan manajemen kesebelasan kesayangannya sudah melekat pada Aremania. Sudah menjadi disiplin mati. Mendarah daging.
Sebelumnya memang mereka pernah dikenal juga sebaga fans yang beringasan. Fanatisme kepada Arema hampir selalu membuat mereka gemar membuat keonaran. Mereka menjadi sumber kericuhan. Belakangan mereka sadar, tingkah laku seperti itu, selain membahayakan keselamatan anggotanya, juga dapat merugikan kesebelasan Arema sendiri. Kemudian mereka mulai berubah. Boleh mendukung kesebelasan kesayangan dengan fanatisme tinggi, aktraktif, namun harus dalam batas-batas ketertiban, sportifitas, dan damai .
Aremania sudah sejak lama menyadari, jika mereka tidak tertib, tidak damai dan sportif justru Arema sendiri yang akan menerima dampak-dampak buruk. Akibat tingkah pola Aremania yang tercela, kesebelasan Arema dapat menanggung sanksi yang merugikan semua pihak.
Dari sana Aremania lantas berubah total. Mereka menjelma menjadi suporter teladan. Itulah sebabnya Aremania sering dijadikan contoh profil suporter sepak bola modern . Kalah atau menang, Aremania terus mendukung tim pujaan mereka.
Tak mengherankan, sejarah mencatat, Aremania pernah beberapa kali mendapatkan penghargaan. Aremania pernah dianugrahi The Best Suporter pada Ligina VI 2000 oleh Ketum Agum Gumelar. Demikian juga, mereka menerima predikat serta The Best Suporter pada Copa Indonesia II 2006. Selain itu, pada Indonesian Super League 2010, Aremania menjadi fans sepak bola yang melakukan tur dengan jumlah paling besar. Sekitar 50 ribu Aremania datang ke Jakarta untuk menyaksikan pertandingan Arema FC dengan Persija Jakarta. Itu belum
terhitung jumlah fans yang datang dari seputar Jabotabek yang diduga berjumlah sekitar delapan ribuan orang.
*Berubah Total*
Pertanyaannya, kenapa pada Sabtu, 1/10, tatkala melawan Persibaya mereka berubah total? Kenapa tiba-tiba mereka menjadi brutal? Kekalahan pertama di kandang selama 23 tahun dari rival sesama Jawa Timur, kesebelasan Persebaya, jelas membuat sakit hati.
Menciptakan penderitaan bagi Aremania. Hanya saja, kalo cuma itu alasan, tidaklah cukup kuat menjadi faktor utama mengubah suporter yang sebelumnya begitu tertib, damai, atraktif dan simpatik menjadi suporter yang brutal: mengejar-ngejar pemain, merusak fasilitas stadion dan kendaraan yang ada di sana? Tindakan polisi menyemprotkan gas air mata di dalam stadion, jelas terang benderang sangat berperan menciptakan chaos yang menyebabkan lebih dari 100 orang tewas. Tapi itu merupakan soal lain lagi yang juga perlu diusut.
Meski begitu, pertanyaan dasar terhadap apa yang memicu perubahan profil dasar Aremania, tetap menggelitik. Biasanya kalah atau menang, Aremania tetap mendukung kesebelasan Arema dengan positif.
Mereka setelah masuk pada fase menjadi suporter yang tertib, damai, sportif, dan aktraktif sudah terbiasa menerima kekalahan.
Lantas mengapa setelah mereka keok 2
-3 dari Persebaya mereka langsung seperti “terbakar,” tak terkendali dan hilang identitasnya yang tertib, damai,sportif dan atraktif ?
*Saluran Keresahan Sosial*
Sepak bola merupakan olah raga akar rumput. Dalam perkembangannya kemudian, sepak bola bukan sekedar urusan pertandingan teknis di lapangan. Sepak bola telah menjadi cabang olah raga yang sangat berkaitan dengan situasi sosial para pendukungnya. Sepak bola kiwari sudah menjadi semacam ventilasi kesesakan nafas sosial.
Disinilah sepak bola menjadi hiburan yang menghanyutkan para penggemarnya. Dalam setiap pertandingan kesebelasan kesayangan, terbawa pula perasaan sosial dari para penggemarnya. Mereka menonton aksi di lapangan sekaligus melepaskan himpitan sosial yang menghinggapi mereka sebagai satu kesatuan kerumuman sosial.
Jika kesebelasannya mencapai kemenangan, rasanya seperti ada beban menindih yang lepas. Bebas. Simak saja ketika Indonesia menggilas kesebelasan Curacao dua kali, 3 – 2 dan 2 -1, tiba-tiba ada keriangan yang luar biasa pada masyarakat Indonesia. Padahal itu cuma pertandingan persahabatan saja, yang hasilnya jika menang cuma menaikkan rating FIFA sepak bola Indonesia tiga tingkat. Kendati begitu, masyarakat Indonesia yang sudah haus kemenangan dan dililit problem sosial sehari-hari, menyambut kemenangan itu bagaikan oksigen raksasa bagi nafas masyarakat.
Di tengah-tengah berbagai masalah dan tekanan sosial, kemenangan itu seperti vitamin dan obat kuat. Masyarakat Indonesia sejenak seperti dapat meluapkan setumpuk soal yang mereka hadapi sehari-hari.
Jika waktu itu pada pertandingan kedua, Indonesia kalah, kemungkinan besar pemain Curacao yang dikenakan kartu kuning dan kemudian menendang botol minuman ke arah penonton, Juninho Bacuna , seusai pertandingan akan terus dikejar-kejar penonton untuk melampiaskan sumbatan sosial. Jangan-jangan hotel pun Juninho bakal diringsek. Untung saja Indonesia menang dan cuma media sosial Juninhon yang diserbu dengan makian nitizen Indonesia sampai yang bersangkutan menutup kolom komentarnya.
*Ledakan Keresahan Sosial*
Demikianlah , sepak bola sangat erat kaitannya dengan dinamika sosial. Kehadiran penonton mewakili situasi sosial yang sedang dihadapi masyarakatnya. Sikap penonton dalam hal ini dapat menjadi cermin keadaan sosial yang sedang terjadi di masyarakatnya.
Sepak bola tidak lagi sekedar urusan tak-tik dan strategi pertandingan di lapangan. Sepak bola juga bukan hanya kalkulasi perekonomian.
Sepak bola tidak lagi bebas nilai. Di belakang setiap pertandingan sepak bola sudah melekat segala urusan sosial. Ini berlaku di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang penggemar sepak bolanya berjibun seperti Inggris dan Indonesia.
Potret sosial masyarakat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sepak bola. Para penonton, sadar atau tidak sadar , membawa urusan sosial dalam diri mereka ke dalam setiap pertandingan. Ketika kesebalasannya menang , segala problem sosial yang sulit pun dapat terlepas dengan cair dan positif. Rasanya diri menjadi merdeka seutuhnya. Solidaritas bersama menjadi lebih kental. Jalinan sosial pun bagaimana pun rumitnya dapat terjalin dengan apik dan membawa nafas kebahagiaan bersama.
Sebaliknya jika dalam kehidupan sehari-hari lingkungan sosial para penonton memang sedang banyak masalah, dan kemudian kesebelasan pujaannya keok, apalagi di kandang dan dihadapan mata sendiri, maka bom sosial itu tanpa terduga dapat “meledak” berwujud kekerasan, antipati dan irasional. Kemungkinan itu pula yang yang menjadi salah satu penyebab mengapa Aremania yang tertib, damai, sportif dan simpatik, tiba-tiba berubah drastis menjadi suporter yang murka, berang dan berangasan.
Potret profil suporter Aremania tak lain dan tak bukan juga refleksi profil dari masyarakat kita. ***