SEMANGATNEWS.COM – Kita amat menyayangkan Tugu Linggarjati lebih kurang 100 meter dari stasiun Tabing Kota Padang Hilang. Kemungkinan dibongkar pada saat perbaikan pembangunan jembatan karena jalan satu jalur . Kini jembatan sudah selesai akan tetapi Tugu Linggar Jati sebagai salah satu monumen benda bersejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia 1945-1949 tidak ada lagi kelihatan.
Hal ini disampaikan mantan Ketua Dewan Harian ’45 Provinsi Sumatera Barat, Drs. H. Zulwadi Dt. Bagindo Kali, ketika melewati dengan kendaraan memperhatikan kondisi seputaran pembangunan jembatan Tabing tidak melihat lagi adanya Tugu Linggarjati tersebut, lewat pesan whastapp kepada semangatnews.com, Sabtu (30/1/2021).
Zulwadi juga katakan, ini akibat kontraktor tidak mengerti sejarah dan Walikota Padang Mahyeldi sebagai ketua Forum Bela Negara juga sudah kecolongan karena tidak mengerti sejarah
” Kontraktor yang melakukan pengerjaan pembangunan jembatan mungkin tidak paham sejarah dan Ketua Forum Bela Negara Sumbar Mahyeldi Ansharullah yang juga Walikota Padang juga telah kecolongan karena tidak mengerti sejarah. Kini jembatan sudah selesai dibangun, Tugu Linggar Jati hilang ba a caronyo tu ?,” seru tanya Zulwadi.
Zulwadi juga mengingatkan, agar perlu semua orang kembali memperhatikan semua ini sebagai sebuah bukti peristiwa sejarah bagi kalangan generasi berikutnya.
“Para tokoh, sejarahwan perlu kumpul-kumpul kembali membahas semua sejarah di Sumatera Barat, khusunya Kota Padang agar kelak generasi mendatang tidak kehilangan fakta sejarah bangsa di Sumatera Barat ranah minang ini,” ajaknya.
Ketika semangatnews.com menanyakan lewat telepon selurer kepada Rusdaly Damsir,SE.MM Kabid Arsip Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Padang, mengatakan akan melakukan pencekan arsip dan kelapangan.
” Insya Allah besok kami, akan melakukan pencekan arsip dan kelapangan. Nanti akan kami sampaikan kondisinya,” ujarnya singkat.
Sejarah Linggarjati
Menurut wikipedia, sejarah Perundingan Linggarjati (juga dieja sebagai Perundingan Linggajati) atau Perundingan Cirebon adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.
Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan ‘status quo’ di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Pada awalnya, Indonesia dan Belanda diajak untuk berunding di Hoge Veluwe yang akan dilakanakan pada tanggal 14-15 April 1946, tetapi perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatra dan Madura, tetapi Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.
Dalam perjanjian tersebut terdapat beberapa tokoh yang datang sekaligus mewakili masing-masing pihak. Para tokoh yang terdapat dalam perjanjian bersejarah tersebut, yaitu: Pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir sebagai ketua. Ditemani oleh AK Gani, Susanto Tirtoprojo, dan Mohammad Roem. Sementara Pihak Belanda diwakili oleh Wim Schermerhorn sebagai ketua dan ditemani oleh Max Von Poll, HJ van Mook serta F de Baer. Dan dari Pihak Inggris selaku penanggung jawab atau mediator diwakili oleh Lord Killearn.
Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.
Setelah pemilihan umum Belanda pada tahun 1946, koalisi pemerintahan yang baru terbentuk memutuskan untuk mendirikan “Komisi Jenderal” untuk memulai negosiasi dengan Indonesia. Pemimpin dari komisi ini adalah Wim Schermerhorn. Tujuan didirkannya komisi ini adalah untuk mengatur konstitusi Hindia Belanda pada pasca-Perang Dunia II tanpa memerdekakan koloninya.
Dalam perundingan ini, Wim Schermerhorn beserta komisinya dan Hubertus van Mook mewakili Belanda, sementara Soetan Sjahrir mewakili Indonesia, dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Hasil perundingan tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi: Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Mengenai RIS sendiri, Soekarno menerima kompromi tersebut untuk menghindari perlawanan terhadap Belanda yang sulit dan pemahamannya mengenai sistem republik, maka ia dapat memimpin RIS yang mayoritasnya penduduk Indonesia. Sementara Komisi Jenderal juga menerima kompromi tersebut karena kemungkinan perang dapat dihindari dan hubungan Belanda dengan Indonesia dapat berlanjut.
Perundingan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perundingan itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.
Perjanjian ini memberikan dampak buruk bagi Indonesia. Indonesia harus kehilangan wilayah kekuasaannya, berdasarkan perjanjian ini wilayah Indonesia hanya Jawa, Sumatera, dan Madura. Bagi beberapa pihak kehilangan wilayah ini adalah sebuah kesalahan besar. Langkah ini terpaksa diambil dengan pertimbangan delegasi Indonesia adalah kekuatan militer Belanda yang hebat dan militer Indonesia yang apa adanya, apabila perundingan ini tidak membuahkan hasil akan mengakibatkan perang kembali yang akan berdampak buruk bagi Indonesia. Selain itu Indonesia harus ikut dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda.
Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.
Sementara itu Tugu Batas Linggarjati dibangun di Padang 1985 untuk memperingati Perjanjian Linggarjati antara RI dengan kolonial Belanda pada 1947. di Sumbar ada dua dibangunan Tugu Linggar Jati pertama di Front Timur melintang dari selatan ke utara sampai ke Sungai Barameh, Lubuk Begalung dan Kampung Kalawi. Dan kedua Front utara, Nanggalo dari jalan raya sampai ke Tabing tapi stasiun Tabing tidak masuk.