Kongres PWI Ke-25 di Bandung; Ini Soal Leadership: Oleh Hendro Basuki
_” Kalau suasana PWI saat ini tidak segera berubah, maka di Kongres ke-25 entah di mana nanti Bang Atal kalah!.”_
Itu saya katakan pada Selasa, 22 November 2022 ketika makan pagi di beranda resto Hotel Grand Mercure bersama beberapa wartawan senior di sela Porwanas di Malang.
Beberapa teman terdiam. Tentu saya paham. Bukan sedang bertindak sebagai seorang futurolog, tetapi keadaan PWI saat Atal S Depari (ASD) menjadi ketua umum sebenarnya terasa hanya satu tahun pertama. Selebihnya, hampir semua indikator negatif.
Saya akan memilah dua persoalan besar, yakni persoalan intern organisasi dan interaksi atau koneksivitas PWI dengan eksternal di satu sisi, dan positioning PWI sebagai organisasi profesi wartawan di sisi yang lain.
Internal
Persoalan internal ini sungguh menyedihkan mulai dari hal-hal kecil misalnya beberapa kali membuat surat salah, keputusan-keputusan yang tidak bermutu, soal remeh temeh yang tidak selesai, rendahnya relasi antarbagian, manajerial uji kompetensi, sampai soal yang berat pelanggaran PD/PRT, dan sebagainya.
Hubungan yang praktis terhenti antara Dewan Kehormatan dengan Ketua Umum dan jajarannya, tentu memperlihatkan betapa memprihatinkan PWI ini.
Interaksi dan koneksivitas dengan pihak luar, terutama Dewan Pers memperlihatkan banyak sekali ketidakmampuan. Dengan bahasa lebih lugas, saya ingin mengatakan, PWI tidak memiliki wibawa, kecakapan, dan keterampilan yang cukup berelasi dengan atau pun di dalam Dewan Pers. Dan, tentu sangat jauh jika dibandingkan dengan era-era sebelumnya.
Dalam kaitan dengan performa organisasi profesi wartawan, PWI tidak memperlihatkan kecakapan dalam menyikapi, dan mengantisipasi perubahan iklim dalam industri media.
Jika pun berteriak tentang bagaimana wartawan berada di era konvergensi media dibutuhkan _bla, bla bla_ itu sekadar pidato karena tak sekali pun memperlihatkan adanya tindakan, atau pun greget ke arah sana. Terkesan, hanya seolah-olah saja.
Sebagai organisasi profesi wartawan tertua dan terbesar, PWI gagal menyediakan _roadmap_ wartawan profesional dalam menghadapi era desrupsi .
Kenapa Itu Terjadi?
Jika kita bertanya, kenapa itu bisa terjadi? Saya menjawab, ini semata-mata soal _leadership_ .
Sebagai pribadi, figur ASD adalah figur hangat dalam berteman. Tetapi, tidak hangat dalam memimpin organisasi profesi wartawan yang dinamis
Seperti kita ketahui bersama, wartawan adalah type manusia merdeka. Saking merdekanya, bahkan jika bisa, tidak mau diatur oleh undang-undang, apalagi pemerintah.
Memimpin manusia merdeka, tentulah tidak mudah. Wartawan dalam organisasi profesi tentu lebih bebas jika dibanding ketika bekerja di perusahaan pers. Maka, mereka yang sukses sebagai wartawan , termasuk pemimpin redaksi sekalipun belum tentu bisa mengelola PWI.
Sebagai organisasi tertua, PWI memiliki budaya organisasi yang teruji, struktur yang teratur, pengalaman yang panjang, dan juga sumber daya manusia berkualitas yang melimpah. Berapa PWI punya wartawan yang sangat berpengalaman sekaligus memiliki reputasi, berapa punya profesor, berapa punya doktor, para pemimpin media yang hebat?
Sangat disayangkan, semua keunggulan kompetitif itu gagal dimanfaatkan, atau lebih tepatnya dikelola oleh ASD
ASD lebih nyaman sebagai seorang komandan dibanding sebagai seorang manajer.
Sebagai komandan, dia terbiasa memerintah. Di dalam peleton prajurit, perintah komandan adalah perintah komando. Apa pun jalankan.
Nah, ketika perintah itu ditujukan kepada wartawan, ya nanti dulu. Sampeyan siapa kok main perintah? . Setidaknya dikatakan dalam hati. Model kepemimpinan seperti ini hampir pasti gagap. Nah, begitu perintah tidak jalan, maka semua akan dikerjakan sendiri. Pada akhirnya, ASD kesulitan sendiri mengingat begitu banyak program yang harus dijalankan. Akhirnya, macet semua alias minimal pencapaian.
Era Margiono
Berbeda dengan alm Margiono di era sebelumnya. Dia hanya memiliki satu program. Pendidikan! Ini menjadi wajib, yang lain-lain jadi sunah. Meski pun sunah, tetap dikerjakan. Maka, Margiono dianggap berhasil karena programnya fokus. Tidak banyak.
Secara kebetulan Margiono memiliki operator organisasi yang cakap, yakni Sasongko Tejo sebagai Ketua Bidang Organisasi, Marah Sakti sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan Hendry Ch Bangun sebagai Sekjen. Istilah penulis, Margiono tidur saja , organisasi tetap jalan tegak.
Sedangkan ASD tidak memiliki operator organisasi yang memadai. Dan, hampir semua jajaran lapis kedua tidak optimal.
Maka tidak mengherankan, PWI di bawah ASD gagal memperlihatkan performa organisasi profesi wartawan yang handal, berwibawa, dan adaptif terhadap lingkungan strategis.
ASD tidak memiliki teman kerja yang secara berani mengoreksi. Kenapa? Mengabdi di PWI tidak memperoleh apa-apa, kecuali niat tulus mengabdi organisasi. Mereka hanya ingin berkontribusi. Tidak mau ribut. Model staf seperti ini membuat ASD terasa nyaman. Tidak dibayang-bayangi pesaing.
Akibatnya, bekerja di jajaran pengurus bukan lagi sebagai partner. Tetapi, hubungan atasan bawahan. Akibat lanjutannya, jajaran level dua, dan seterusnya seperti para ketua bidang memilih mengurangi perhatian pada organisasi. ASD akhirnya merasa harus bekerja sendiri.
Type kepemimpinan ASD gagal di dalam tubuh organisasi manusia merdeka, seperti PWI. Seharusnya, dengan aset sumber daya manusia yang secara kuantitas melimpah dan kualitas bisa diunggulkan, mestinya PWI bisa menampilkan kharismanya.
Lima tahun terakhir ini, seharusnya bisa menjadi bahan pelajaran kita semua, bagaimana sebaiknya mengelola organisasi manusia merdeka.
Penulis menyakini banyak sekali anggota yang berharap bahwa Bang Hendry Chaerudin Bangun (HCB) mampu menahkodai kapal besar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 5 tahun mendatang, sekaligus menyambut perubahan gelombang zaman.
Seorang nahkoda yang hebat adalah mereka yang memenangkan pertarungan melawan ombak yang ganas. Bukan di laut yang ramah. Bravo PWI. Bravo HCB!
(Hendro Basuki, adalah wartawan anggota PWI)