SEMANGATNEWS.COM – Nasrul Abit. Siapa yang tak kenal nama besar itu di Sumatera Barat (Sumbar) ini.
Ia pernah menjabat sebagai wakil bupati Pesisir Selatan, bupati Pesisir Selatan dua periode, dan kini wakil gubernur Sumbar yang tengah cuti kampanye.
Namun ternyata, saat masih kecil, namanya bukanlah Nasrul Abit. Orang tua memberinya nama Asrul saat lahir.
Nama itu berganti ketika Nasrul Abit melanjutkan sekolah pada tahun 1969 di SD Negeri 3 Tanjung Medan.
Baca juga: Selain Hobi Memancing, Nasrul Abit Punya Kebiasaan Menulis
Kisahnya berawal ketika suatu malam di tahun 1969, Nasrul Abit dipanggil oleh Rachmali (alm), yang merupakan Kepala SD Negeri 3 Tanjung Medan.
Ia bertanya kepada Nasrul Abit, apakah ingin melanjutkan sekolahnya. Tentu saja Nasrul Abit menganggukkan kepalanya.
Ketika saat mendaftar, dan dia dipanggil oleh Rachmali. Nasrul Abit saat itu ditemani oleh teman mengajinya bernama Zainal.
Setelah bertemu, selanjutnya Rachmali bertanya siapa nama lengkapnya. Belum sempat Nasrul Abit menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba sudah dijawab terlebih dulu oleh Zainal, bahwa nama lengkapnya adalah Nasrul.
“Sejak saat itulah nama Asrul berganti menjadi Nasrul. Karena ayah bernama Abit, maka nama yang dipakai sampai saat ini adalah Nasrul Abit,” kata Nasrul Abit beberapa waktu lalu.
Baca juga: Kisah Masa Kecil Nasrul Abit: Kehidupan Sulit, Terpaksa Merantau ke Jambi
Kembali ke sekolah
Setelah Nasrul Abit kembali ke bangku sekolah dan masuk kelas VI di SD Tanjung Medan, Air Haji, kemauan belajarnya sangat tinggi.
Ia juga rajin mengikuti pelajaran tambahan di sekolah dengan bimbingan beberapa guru, di antaranya, Rachmali, Yasir, Juriah, serta Rafi’ah.
Meski sempat menganggur selama satu tahun, namun karena tekad dan keinginan yang sangat kuat, akhirnya tahun 1969 Nasrul Abit berhasil meraih ijazah Sekolah Dasar (SD) dengan predikat cukup memuaskan.
Ia lulusan sebagai nomor dua terbaik, dari seluruh murid SD yang ada di Air Haji.
Setamat SD pada akhirnya tahun 1969, kehidupan keluarga Nasrul memang belum begitu membaik, sehingga sebelum melanjutkan pendidikannya, ia hanya bercita-cita untuk berdagang saja, yaitu berdagang kelapa sebagaimana yang dilakukan oleh suami kakaknya, Asni, yang bernama Arman.
Baca juga: Gempa M 6,0 Guncang Mentawai, Nasrul Abit Mengimbau Rakyat Tetap Waspada
Namun berkat saran dari Uda Arman dan Uncu Ali Umar yang tinggal di Tanjung Karang, agar Nasrul Abit melanjutkan sekolahnya.
Akhirnya Nasrul pun masuk sekolah di Sekolah Teknik (ST) jurusan bangunan gedung, yang adanya di Balai Selasa, Ibukota Kecamatan Ranah Pesisir.
Sekolah Teknik merupakan sekolah selevel sekolah menengah pertama (SMP) untuk jurusan teknik, sebelum masuk sekolah STM (Sekolah Teknik Menengah).
Jarak tempuh antara Air Haji dan Balai Selasa cukup jauh, sekitar 18 kilometer.
Tidak hanya jauh, kondisi jalan yang dilewati pun cukup parah sehingga bisa memakan waktu tidak kurang dari lima jam jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Baca juga: Sepenggal Kisah Nasrul Abit: Anak Nelayan dari Kampung Pelosok yang Sukses Pimpin Negeri
Pagi-pagi sekali sekitar pukul 07.00 WIB, Nasrul dan kawan-kawan sudah berangkat dari Air Haji, ke Balai Selasa.
Waktu siang sekitar pukul 12.00 WIB, ketika matahari berada tepat di atas ubun-ubun, baru sampai di Balai Selasa dengan baju yang sudah basah dengan keringat.
Waktu itu, belum tersedia sarana transportasi yang memadai seperti sekarang, belum ada kendaraan bermotor seperti sekarang.
“Kalaupun ada hanya PO. Djasa Moerni Bayang dan Gunung Kerinci yang kadang-kadang datang dari Kerinci menuju Padang,” cerita Nasrul Abit.
Dengan jarak sejauh itu, membuat Nasrul harus kost di Balai Selasa agar tinggal lebih dekat ke sekolah. Satu minggu sekali ia baru bisa berkumpul dengan keluarganya.
Baca juga: Nasrul Abit Siap Kucurkan 87 Miliar untuk Rajawali Pendidikan di Sumbar
Otomatis, orang tuanya kehilangan tenaganya untuk membantu bekerja di ladang dan di sawah. Namun demikian, bukan berarti ia lepas dari tanggung jawab.
Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Nasrul menggantinya setiap akhir pekan, saat sekolah libur, ia pulang ke rumah dan bekerja penuh secara lembur membantu kedua orang tuanya.
Mulai Mandiri
Mulailah Nasrul Abit menjalani kehidupan baru yang mandiri. Semuanya serba sendiri, belajar berdedikari.
Sebagaimana nasib anak kost yang lainnya, Nasrul harus mengerjakan sendiri tugas-tugas seperti masak, mencuci, mengambil keputusan sendiri, serta merangkai pergaulan sendiri dengan komunitas yang baru.
Pada waktu sekolah ST pernah tinggal di rumah Gadang yang saat ini sudah menjadi lokasi Perguruan Tinggi STAI, di rumah M Saleh teratak Paneh, salah seorang pengajar di ST Balai Selasa, dan pada tahun terakhir 1972 tinggal bersama Bapak Abdul Muis, BA di Lesung Air Balai Selasa.
“Beliau adalah salah seorang guru Bahasa Indonesia di sekolah yang sama,” kata dia.
Baca juga: Nasrul Abit Bakal Sikat Mafia Pupuk, Pastikan Tidak Keluar Daerah
Mula-mula memang ada perasaan gamang, karena bagaimanapun masih terbayang, keluarga, ternak, jaring ikan, perahu, dan tepian Batang Air Haji.
Namun, karena sudah dibekali dengan ilmu kemasyarakatan ‘dimano bumi ditinggali, di situ aia disawuak’.
Lama-kelamaan akhirnya Nasrul menjadi terbiasa. Kehidupan di Balai Selasa hampir sama saja dengan di Labuhan Tanjak, sementara Ayah dan Amaknya ditinggalkan.
Ternyata di Balai Selasa juga ada ayah dan amak angkat, Drs Djaelani dan sahabat-sahabat didapatkan, dan semuanya sama-sama membanggakan.
Merenda hari-hari mengesankan di tempat kost, Nasrul dan kawan-kawan selalu melakukan olahraga bermain sepak bola dan mengaji.
Secara psikologis, sebagai anak muda, Nasrul sedang mencari jati diri.
Ibarat rabung muda yang sedang tumbuh menjulang hendak menembus langit. Kalau-kalau suatu saat menjadi betung yang keras dan tangguh.
Sebagai anak kampung sepak bola memang menjadi olahraga yang sangat digemari Nasrul, sekaligus sebagai media pergaulan.
Posisinya sebagai kiper atau penjaga gawang membuat Nasrul mudah dikenal, apalagi postur tubuhnya yang tinggi dan tampangnya yang di atas rata-rata, membuat banyak orang mengenal dirinya.
“Orang-orang menjuluki saya dengan sebutan Mak Uniang,” ujarnya.
Kesebelasan Nasrul Abit sering mengikuti pertandingan antar nagari, kecamatan, dan sering keluar menjadi juara.
Di samping mengasah kemampuan, pertandingan juga membina persahabatan.
Aktivitas olah raga yang ia geluti, berdampak memperluas cakrawala berpikir, pergaulan dan pengetahuannya.
Dunia olahraga memang tidak bisa dipisahkan dari Nasrul. Apalagi bila ia mengingat pesan gurunya bahwa olah raga adalah aktivitas manusia yang sangat penting karena mengandung nilai-nilai universal.
Olahraga juga berarti, olah rasa, olah pikir, dan olah hati. Orang bijak bilang, olah raga juga mampu meningkatkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Kembali kepada julukan Nasrul, Mak Uniang, yang berarti kulit agak putih, dan apabila terkena sinar matahari kulitnya memerah kekuning-kuningan, sehingga menjadi daya tarik tersendiri.
Nasrul merasa bersyukur atas karunia ini, Tuhan melebihkan performance dirinya.
Nasrul merasa apapun warna dan bentuk seseorang, esensi yang paling hakiki itu adalah soal kepribadian dan karakter.
Bagi Nasrul, bentuk dan rupa relatif sifatnya, akan tetapi dalam tata pergaulan justru yang terpenting keikhlasan dan kerendahan hati.
Itulah sebabnya, Ayahnya selalu mengajarkan untuk berlaku sopan dan rendah hati, buka rendah diri. Soal rendah diri, orang tua Nasrul pernah mewanti-wanti dirinya.
“Kemiskinan jangan sampai membuat dirinya rendah diri, karena kemiskinan hanya pakaian saja, suatu saat pakaian itu bisa saja bersalin atau berganti.”
“Dengan rendah hati, Tuhan menjadi sayang, karena jika kita rendah hati, lawan dapat berubah menjadi teman. Tetapi jika rendah diri, sejarah akan melupakannya,” ujar Nasrul Abit menirukan pesan ayahnya kepadanya.
Baca juga: Sandiaga Uno Ajak Masyarakat Sumbar Pilih dan Coblos No 2 Nasrul Abit-Indra Catri
Melalui pelajaran-pelajaran tersebut dapat menjadikan Nasrul semakin mengagumi sang ayah.
Kendati orang tuanya tidak mengecap pendidikan formal, tetapi pengalaman mengajarkan arti kehidupan kepadanya.
Dengan jeli menterjemahkan untuk kehidupan anak-anaknya. Nasrul merasa beruntung memiliki Ayah yang sekaligus guru bagi perjalanan dirinya di hari esok.
Orang tua bagi Nasrul adalah pelita yang menyinari segenap langkah yang ia tempuh.
Tahun 1972, Nasrul lulus dan menggondol ijazah ST. Seperti anak-anak lain ia juga berkeinginan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Tujuan selanjutnya, ke Padang. Seperti yang Rachmali katakan padanya, kalau ingin sukses haruslah sekolah, dengan mengingat itu tekadnya menjadi semakin kuat.
Harus melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, walau keadaan ekonomi keluarga tidak mendukung.
Kemiskinan tidak boleh mengalahkan semangat untuk sekolah. Bahkan agama Islam juga mengajarkan, betapa pentingnya ilmu.
Islam sangat mementingkan soal pendidikan. Bahkan ketika kita masih dalam ayunan hingga berakhir di liang lahat. (*)