(Catatan Atas Sengketa PIMD dengan Phoenix di Singapore International Arbitrase Centre/SIAC)
SEMANGATNEWS COM. – Keputusan perselisihan niaga/dagang antara anak usaha dari PT. Pertamina Patra Negara (PPN/sub holding BUMN Pertamina) terkait jual-beli solar yang menimbulkan masalah utang-piutang telah diputuskan oleh Singapore Internasional Arbitrase Centre (SIAC). Sebelumnya, Perusahaan minyak dan gas bumi asal Filipina Phoenix Petroleum Corporation (PPC) yang dinakhodai oleh President Directornya, Henry Albert Fadullon pada bulan September 2020 lalu melakukan kerjasama strategis (strategic partnership) dengan PT. Pertamina International Marketing and Distribution, Pte. Ltd. (PIMD). Sebenarnya sejauhmanakah kredibilitas dan keprofesionalan PPC tersebut diberbagai bisnis dalam industri perminyakan?
PPC sebagai perusahaan independen berdiri pada tanggal 8 Mei 2002 atau 21 tahun lalu dan sebagai perusahaan yang pertama kali terdaftar di pasar bursa Filipina. Selama beroperasi, menurut laporan keuangan resmi Departemen Energi tentang 10 peringkat teratas perusahaan migas di Filipina tahun 2018, PPC berada pada peringkat ke-4 dalam penguasaan pasar konsumen (market share, yaitu sebesar 6,91 persen. Diatasnya, adalah Petron Corporation (26.36%), urutan ke-2 Pilipinas Shell (18.53%) dan yang ke-3 yaitu
Chevron Philippines (7.93%).
Rekam jejak PPC lainnya yang dilansir dari harian bisnis Philippine Daily Inquirer memberitakan bahwa pengadilan setempat juga telah membekukan utang PPC sejumlah Peso157 juta atau senilai Rp42,7 miliar (kurs 1 Peso= Rp272). Bahkan, terdapat pula kasus-kasus tunggakan utang perbankan dan masalah perpajakan yang masuk ke lembaga penegak hukum di Filipina. Layakkah perusahaan yang bermasalah secara hukum dan keuangan diajak bekerjasama strategis, logika awam saja tidak bisa menerimanya apalagi bagi para profesional yang berpendidikan. Tidaklah mengejutkan, kalau dikemudian hari PPC melakukan wan prestasi atas transaksi dagangnya dengan alasan ketidakmampuan keuangan.
Atas dasar rekam jejak (track record) kegiatan bisnis di industri migas Phoenix yang selalu bermasalah dengan pihak ketiga khususnya lembaga hukum dan perbankam inilah, maka kerjasama PIMD patut dipertanyakan alasannya. Jelaslah, BUMN Pertamina tidak menggunakan analisa resiko yang mendalam dan prinsip-prinsip kehati-hatian jika sampai tidak mengetahui sejak awal sepak terjang dan rekam jejak yang buruk.(worst practice) dari Phoenix Petroleum Corporation (PPC). Selanjutnya, yang perlu dipertanyakan adalah apakah putusan SIAC menetapkan jadwal pembayaran (timeline) piutang dagang PPC secara jelas termasuk sangsi atas ketidakpatuhan menaati putusan tersebut?
Disamping itu, BUMN Pertamina sebagai perusahaan migas kelas dunia (the world class oil company) jelas tidak mengambil pelajaran dari kasus jual beli solar sebelumnya yang terjadi antara Samin Tan dengan Pertamina Patra Niaga (PPN) serta merugikan keuangan Pertamina dan negara. Patut diduga ada unsur kesengajaan antara para pihak yang membutuhkan investigasi lebih lanjut dari aparat hukum terlepas berhasilnya PIMD sebagai anak usaha PPN memenangkan persidangan di badan arbitrase internasional Singapura bulan Nopember 2023 lalu. Sebuah kerjasama dengan mitra strategis apalagi dengan negara asing pastilah membutuhkan kajian yang matang, komprehensif dan menggunakan prinsip pemeriksaan seksama (due diligence).
Oleh karena itu, pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah memeriksa kerugian yang dialami negara atas kasus kerjasama PIMD dan PPC ini wajib membawa permasalahan ke ranah hukum dengan meminta Kejaksaan Agung memanggil pihak yang bertanggungjawab. Sebab, sangat kuat potensi pihak PPC tidak akan mampu membayar kewajibannya terhadap PIMD dan BUMN Pertamina atas putusan Badan Arbitrase Internasional Singapura tersebut. Artinya, terdapat ruang ketiadaan makna putusan badan arbitrase internasional/SIAC apabila pihak Phoenix/PPC kembali tidak menaati putusan yang telah ditetapkan atas kasus utang dagangnya. Dan, dengan demikian potensi kerugian negara akan bertambah sangat besar, lebih dari Rp1,3 triliun sebagaimana temuan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHP) BPK.
**Defiyan Cori adalah
Ekonom Konstitusi/Research Associate Bappenas, Alumni FE-UGM dan Bayreuth Universitat, Germany