Kenangan Bersama Hardimen Koto: Oleh Syafruddin AL
Kamis dan Jumat (14-15 November 2024), hati saya masih berat menerima kenyataan. Anak bungsu saya, Muhammad Erza Suryadinata, yang baru berusia 21 tahun, telah merantau jauh ke Amerika Serikat sana, tepatnya di Kota Los Angeles, California. Ia pergi untuk bekerja sekaligus menuntut ilmu, mewujudkan cita-citanya menjadi seorang chef. Dua tahun terakhir, kami memang jarang bersama. Ia kuliah di Poltekpar NHI Bandung dan hanya pulang sebulan sekali, kadang dua bulan sekali. Namun, perpisahan kali ini terasa lebih berat karena jarak yang begitu jauh.
Belum hilang rasa rindu dan kehilangan itu, Sabtu pagi (16 November 2024), kesedihan lain menghampiri. Sebuah pesan WA mengabarkan kepergian seorang sahabat baik, wartawan olahraga senior yang saya hormati, Hardimen Koto. Ia meninggal dunia di Banjarmasin saat menjalankan tugas mulia: meluncurkan sebuah buku bersama Tim Barito Putra. Berita itu begitu mengejutkan, seperti petir di langit cerah.
Pertama kali saya bertemu dengan Hardimen Koto di tahun 1984, di lapangan sepak bola Tabing, saat meliput pertandingan antar-klub. Kala itu, saya sebagai wartawan olahraga Harian Singgalang diinformasikan oleh Bang M. Joesfik Helmi bahwa ada wartawan olahraga yang baru, namanya Bachrum Ronny Arifin. Namun, perkenalan pertama kami cukup lucu. Saya menyangka ia adalah Bachrum Ronny, wartawan baru Singgalang. Dengan tegas ia menjawab, “Ambo Hardimen Koto dari Harian Semangat.” Sosoknya sederhana, tetapi auranya memancarkan semangat besar.
Beberapa tahun kemudian, takdir membawa Hardimen bergabung dengan Harian Singgalang. “Ujang, ambo jadi Redaktur Olahraga di koran ini. Bantu-bantu yo,” katanya. Meja kerjanya bersebelahan dengan meja saya, Redaktur Lintas Desa.
Dalam keseharian, saya belajar banyak darinya. Ia tak sekadar mengedit berita dengan pena, tetapi sering mengetik ulang berita penting, memperdalamnya dengan referensi dari koran-koran nasional seperti Kompas atau Antara. “Manulih berita itu harus mendalam dan berisi, Jang,” katanya, sembari meledek kepanikan saya mengedit berita koresponden daerah.
Kenangan lain yang begitu membekas adalah perjalanan kami keliling Sumbar, naik Vespa miliknya, untuk meliput aliran silat Minangkabau. Dari Padang hingga Bukittinggi, kami berbagi cerita, tawa, dan bahkan bertengkar kecil soal siapa yang berhak memakai saru-satunya kacamata hitam milik saya di tengah teriknya perjalanan. Persahabatan kami penuh warna, dari canda hingga diskusi serius.
Hardimen adalah sosok setia kawan yang tulus. Saat saya hendak pulang kampung untuk menerima pinangan keluarga istri pada 1988, ia meminjamkan Yamaha RX-nya agar saya tampil lebih percaya diri. Saat saya pertama kali pergi ke Eropa tahun 2000, ia meminjamkan jaket anti dingin dan syal untuk menghadapi suhu 0 derajat. “Pakai ini, Jang. Ambo tak ingin Ujang sakit,” katanya, dengan nada penuh perhatian.
Di Jakarta, meski kami memiliki kesibukan masing-masing, kami sering bertemu. Hardimen selalu penuh ide, termasuk rencana menerbitkan buku bersama. Namun, waktu dan kesibukan tak memberi kami kesempatan menyelesaikan impian itu. Meski begitu, semangatnya tak pernah padam. Ia adalah sahabat yang selalu mendukung tanpa pamrih.
Kabar kepergiannya sungguh menyayat hati saya. Saat tiba di rumah duka, saya hanya bisa menatap kosong, mengenang segala kebaikan dan kenangan bersamanya. Saat jenazahnya tiba dari Banjarmasin, waktu dishalatkan, air mata saya ikut meleh. Meski tak sempat mengantarkannya sampai ke peristirahatan terakhir karena sudah berebut senja, saya sempat ikut mengusung tandunya ke ambulans, sebagai penghormatan terakhir untuk seorang sahabat yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup saya.
Selamat jalan, Da Men. Terima kasih atas segala kebaikanmu, pelajaran hidupmu, dan persahabatanmu yang begitu berharga.
_Allahummaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu anhu._ Semoga kita dipertemukan kembali di surga-Nya. Aamiin. (*)