SEMANGAT JAKARTA – Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan pemerintah memperpanjang izin penggunaan alat tangkap cantrang hingga akhir Desember 2017, dari sebelumnya mulai bulan Juni 2017. Keputusan tersebut diambil setelah pembahasan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat di Istana, menyikapi berbagai sorotan terhadap kebijakan pelarangan cantrang, yang disebut telah memasuki ranah politik.
Sejak diberlakukannya moratorium kapal asing, ketegasan pemerintah melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan yang bersinergi dengan institusi terkait, serta sejumlah kebijakan yang mengarah pada perbaikan isi laut Indonesia , diakui atau tidak potensi perikanan laut negeri ini seolah sudah kembali memberikan kehidupan bagi nelayan.
Pelarangan cantrang yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980, Keputusan Dirjen Perikanan Nomor IK.340 Tahun 1997, Keputusan Menteri KP Nomor 06 Tahun 2010, Peraturan Menteri KP Nomor 08 Tahun 2011, hingga Peraturan Menteri KP Nomor 02 Tahun 2015, jika disimak tujuannya, tentunya bersifat positif, melindungi potensi isi laut , meningkatkan hasil tangkap nelayan dan bahkan masih dibantu solusi pengalihan cantrang oleh pemerintah.
Pemerintah juga tak semata-mata melarang cantrang tanpa memberi alat tangkap pengganti ke nelayan, adalah fakta. Pada tahun 2017 ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan membagikan alat tangkap pengganti kepada 14.367 nelayan di beberapa provinsi, meliputi, Jawa Tengah 6.972 kapal, Jawa Barat 1.706 kapal, Jawa Timur 193 kapal, Kalimantan Utara 288 kapal, Lampung 2.308 kapal, Kalimantan Barat 2.187 kapal, Jambi 1.238 kapal, dan Sumatera Utara 392 kapal.
Melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap tahun ini menyiapkan anggaran sebesar Rp 764 miliar untuk bantuan sarana penangkapan ikan dengan alokasi 467 miliar rupiah untuk bantuan 1.068 kapal, 79 miliar rupiah untuk 2.990 paket Alat Penangkapan Ikan , selebihnya untuk bengkel mesin, di 20 lokasi dan 400 sertifikat nahkoda dan kapal.
Namun demikian, apabila kebijakan kebijakan pelarangan penggunaan cantrang disorot celah celah yang belum sempurna, dan menjadikan fihak tertentu yang selama ini aman aman saja dengan apa yang diperbuat walaupun sesungguhnya merugikan fihak lain, menjadi merasa terusik dan menganggap kebijakan yang bersifat menyeluruh bagi bangsa ini merugikan, tentunya perlu kajian bersama.
Jika memang kebijakan bantuan belum merata, tentunya perlu ditinjau ulang mengapa tidak merata, siapa, berapa dan bagaimana agar solusi melalui bantuan itu menjadi merata dan tidak ada yang dirugikan.
Konflik peraturan cantrang memerlukan pemahaman bagi seluruh nelayan. Pendampingan program perlu terus dikawal , mengingat berbagai faktor yang melingkupi nelayan. Nelayan perlu diajak berpikir kedepan yang lebih baik, dengan meninggalkan pola pikir lama yang akan menjadikan konflik antara yang sudah beralih dari alat tangkap cantrang dengan alat tangkap lainnya yang ramah lingkungan dan terjaganya potensi isi laut dengan nelayan yang belum mau atau belum dapat beralih dari cantrang .
Demikian halnya konflik antar pejabat dengan politisi, seharusnya semua fihak memandang dari berbagai sisi, bukan kepentingan sekedar menaikkan pamor berdalih nelayan. Kepentingan bangsa yang lebih besar harus menjadi pola pemikiran utama . Ketidak selarasan pemikiran atas fakta yang ada, fakta yang terjadi, fakta fakta dan fakta semua yang dijadikan dasar pemikiran masing masing harus menjadi pemikiran selaras, bukan komoditas. Satu kata anak bangsa, sejahterakan nelayan Indonesia.