Keberadaan Seni Rupa Sumbar dan Perlunya Museum Refresentatif
Oleh : Muharyadi
Semangatnews, Padang – Berkarya seni rupa, bukan hanya sebatas menuangkan ide/imajinasi kepermukaan menjadi karya, tanpa menyentuh substansi konsep dan makna karya secara utuh. Konsep berisi persoalan kakikat seni rupa, serta aspek-aspek lain di dalamnya. Makna simbol merupakan representasi pencipta, misalnya apa yang ditawarkan kepada penikmat atau publik hingga pemahaman karya benar-benar komunikatif antara karya seni dan penikmat.
Karya yang mampu merayakan mata penikmat bahkan mampu menghipnotis mata banyak orang, tentu tidak terlepas dari persoalan adanya keunikan tema, bentuk dan makna yang dimunculkan.
Setiap karya yang diciptakan tidak serta merta hanya berorientasi pada nilai estetis semata, tetapi juga akan mengangkat, membawa, mengolah dan mencerminkan seperangkat nilai-nilai kebudayaan dan pandangannya sendiri terhadap nilai-nilai yang telah ada, maupun sikapnya terhadap pergeseran nilai-nilai karena munculnya nilai-nilai baru yang mulai hidup dan berkembang, baik di masyarakat umum maupun masyarakat komunitas seni, ujar Muharyadi.
Nilai-nilai merupakan prinsip-prinsip yang dianggap baik dan menjadi pedoman pilihan bagi manusia dalam hidup bermasyarakat. Nilai-nilai berada dalam suatu sistem nilai budaya yang terdiri dari konsepsi-konsepsi alam pikiran masyarakat mengenai kehidupan. Melalui karya seni dapat diketengahkan sejumlah nilai-nilai kehidupan manusia sebagai makhluk sosial berbudaya, dimana pelaku seni berada di dalamnya. Pelaku seni dapat melihat, mengamati, mempelajari, mengalami, memahami, menghayati, berfkir, bersikap, berperilaku terhadap alam dan lingkungan sosio-kultural mereka sendiri maupun di luar dirinya.
Keberadaan dan kemunculan karya seni tidak terlepas dari sejauh mana pelaku seni mampu membentuk diri dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang terhadap dunia mereka sendiri dan yang ada di luar diri sebagai pengetahuan budaya, serta bagaimana pelaku seni bersikap dan berperilaku sesuai dunia mereka sebagai perilaku budaya untuk melahirkan karya-karya yang tidak saja bernilai estetis, tetapi juga mampu mengusung berbagai nilai-nilai kehidupan secara utuh yang menyiratkan konsep dan makna di dalamnya.
Sumardjo (2000) mengungkapkan, bahwa nilai-nilai dalam karya seni secara garis besar dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, nilai penampilan (appearance) atau nilai wujud atau bentuk yang melekat pada karya seni yang dapat dicermati secara visual. Nilai ini lebih menekankan pada nilai estetis. Kedua, nilai isi (content) berupa nilai-nilai ilmu pengetahaun (kognisi), nilai rasa, intuisi, ide atau gagasan, nilai pesan berupa nilai-nilai hidup manusia seperti nilai-nilai moral dan etika, nilai sosial dan budaya, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai tradisi maupun modernitas, kecantikan, keindahan dan sebagainya.
Nilai ini lebih menekankan pada nilai pesan yang dikomunikasikan kepada publik dan sekaligus merupakan refleksi, kontemplasi dan sikap prilaku seninya terhadap nilai yang tengah berkembang di masyarakat. Ketiga nilai pengungkapan (presentation) yang dapat menunjukkan nilai talenta dan kemampuan pelaku seni dalam berolah seni yang digelutinya. Nilai ini menekankan pada kemahiran, kemampuan dan penguasaan teknis.
Bila kita membaca peta seni rupa tanah air, tokoh penting seni rupa Indonesia seperti Wakidi (1889-1979) kelahiran asal Semarang Plaju Sumatera Selatan yang lama menetap di Sumatera Barat memiliki imbasan besar terhadap dunia seni rupa terutama seni lukis di daerah ini ditandai didirikannya Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) di Bukittinggi (1837), INS Kayutanam, jurusan senirupa IKIP Padang, hingga ke lembaga sekolah menengah seni rupa SSRI/SMSR — kini SMKN 4 Padang — jurusan seni rupa dan desain ISI Padangpanjang yang memberikan ruang dan menjadikan daerah ini sebagai pintu masuk salah satu etalase peta seni rupa penting di tanah air, di luar Jawa dan Bali.
Untuk seni kriya sebagaimana pandangan Ibenzani Usman (1994), bahwa dalam dua abad terakhir di Sumatera Barat telah banyak melahirkan kriyawan dan perajin yang mengandalkan warisan pendahulu. Ini menjadi tonggak sejarah yang tak dapat dipisahkan dari kondisi realitas saat ini. Setelah itu diikuti lagi penelitian Jasper (Belanda) dan M. Pirngadi (Indonesia) selama 3 tahun berturut-turut seperti yang dirilis dalam lima buku satu paket berjudul Irlandshce Kunstneverheid Indie yakni tahun 1919. 1921, 1924, 1927 dan 1930 diperkuat penelitian But Muchtar dan kawan-kawan tahun 1980 yang sangat mengagumi benda-benda seni kerajinan Sumatera Barat.
Tetapi saat ini, kerangka berfikir dan sudut pandang kita terhadap kesenian tetap saja berbeda dan bersilang jauh dari hasil perjalanan kebudayaan sebagai entitas yang teramat kongkrit sekaligus demikian abstrak dalam peradaban manusia. Mahatma Gandhi pun pernah bertutur, bahwa kebudayaan suatu bangsa terletak di hati dan jiwa orang-orangnya.
Untuk itulah, kenapa seniman terutama senirupawan maupun pekerja seni rupa Sumbar sejak lama mendambakan kehadiran museum seni rupa refresentatif sebagai wahana media komunikasi, media sejarah peradaban suatu bangsa, media tempat mencuci mata bagi masyarakat yang telah penat menatap kehidupan duniawai se hari-hari serta untuk memperkaya nilai-nilai pembangunan di daerah ini terutama bidang kebudayaan mengingat karya seni rupa maupun seni kriya yang dimiliki untuk museum sejak lama bahkan hingga kini hasil penjelajahan wilayah kreativitas seniman maupun pekerja seni cukup untuk itu. (***)