SEMANGAT Jakarta – Sandiwara Butir-Butir Pasir di Laut mulai disiarkan 22 Februari tahun 1972. Disiarkan selama 15 tahun dengan 5.700 episode oleh RRI se-Indonesia. Karya besar yang disutradarai oleh Jhon Simamora itu pada tanggal 4 Agustus 1984 mendapatkan penghargaan dari Lembaga Kependudukan Dunia di Mexiko sebagai sandiwara terbaik tingkat dunia.
Sandiwara ini merupakan kerjasama antara RRI dengan BKKBN yang mengemban misi menginformasikan keluarga berencana nasional. Disamping mendapatkan penghargaan tersebut, Sandiwara Butir-butir pasir di laut ini juga memperoleh penghargaan dari India sebagai sandiwara terpanjang di Asia tahun 1982-an.
Saat itu hanya ada dua sandiwara terpanjang yaitu di BBC dan RRI, tetapi menurut Eddy Basrul Intan sandiwara yang terpanjang adalah RRI. Diterima tulisan, Senin (10/4/2017).
Penulis Sandiwara Radio Eddy Basrul Intan menjelaskan RRI juga menjadi pelopor pertama dalam menyelenggarakan drama radio bersambung. Menurutnya bukan Saur Sepuh: “dulu para pemain Sanggar Prativi nongkrongnya ya di RRI,” bercerita nostalgia sambil menerawang masa lalu.
Eddy Basul Intan mengenang sejumlah nama yang bersamanya dalam menggarap sandiwara itu. Tersebutlah nama seperti Olan Sitompul, Arief Rusman, Youce Walangare yang saat itu mereka dipilih menjadi maskot pengantar ceritera.
Juga sejumlah pemain yang bergelut di studio drama ala kadarnya, misalnya Maria Oentoe, Boy Tirayoh dan sejumlah pemeran lainya yang kadang dimatikan sesaat sesuai alur ceritera. Sambil tertawa yang khas bergoyang badan, Eddy Basrul juga mengenang nama Eddy Laswiran yang membidani Teknik Montage.
“Sekarang sulit menemukan orang yang khusyu dalam menggarap teknik montage sepertia Eddy Laswiran, dengan peralatan yang masih sangat sederhana dapat membuat theater of mind dalam menggambarkan suasana yang alami melalui sound effeck, illustrasi musik dan memadukan antara adegan drama sehingga terdengar natural,” papar Eddy Basrul.
Menurut Eddy Basrul pekerjaan teknik montage bukan hanya sebagai operator rekaman, penyelia musik saja tetapi juga harus bisa menyambung, memotong, merangkai, menyelaras dan memadukan finishing sandiwara sesuai dengan filosofi judul “Butir-butir pasir di laut”.
Mati Suri
Pada episode 5.800-an Butir-butir pasir di laut mati suri. Kisah matinya menurut Eddy Basrul Intan, diawali dengan adanya gagasan redesain. Pada tahun 90-an Eddy Basrul Intan diundang dalam sebuah Lokakarya di Jogyakarta.
BKKBN mengundang satu institusi dari luar negeri yaitu Jhon Hopkin University Amerika, untuk ikut meredesain Butir-butir pasir di laut. Judulnya adalah Lokakarya Pengembangan Sandiwara Butir-butir pasir di laut. Begitulah yang terpampang di spanduknya.
Setelah di ruang meeting, jadwalnya adalah tentang penulisan naskah drama (semacam in house traning). Eddy mempertanyakan pada panitia, dijawab oleh panitia bahwa hal ini merupakan bagian dari pengkajian. “Pengkajiannya di mana? apakah penulis-penulis yang ada tidak kualifid lagi?”
Pada kesempatan itu, Eddy mendapat tantangan selaku penulis drama dari seorang instruktur Jhon Hopkin itu (Eska seorang opera) yang menguji seputar apakah arti sandiwara.
“Saya kebagian satu hal yang sangat susah” Eska memberikan tugas pada Eddy dan kelompoknya yang waktu ada juga Maria Kadarsih agar membuat sandiwara jenis entertainment educations. Tugasnya agar membuat drama durasi 3 menit yang isinya menjelaskan tentang ‘setengah’ dan ‘seperempat’.
Tantangan itu diterima dengan memutar otak imajinasi yang tak terbayangkan orang pada umumnya. Bagaimana menggambarkan kata-kata setengah dan seperempat dalam sebuah drama radio.
Akhirnya diciptakan kisah seorang anak perempuan yang tinggal bersama ibunya yang sedang sakit, bapaknya sudah tidak ada. Si anak disuruh pergi ke rumah bidan agar minta obat. Setelah sampai di rumah bidan, si Anak ditanya “ibumu sakit apa?” Si anak gak tahu. Saat itu si Bidan tidak bisa datang memeriksa Ibu si Anak, karena si Bidan sedang mengurus orang mau melahirkan. Akhirnya si Bidan memberikan obat dua pil warna kuning dan warna putih. Si Bidan: “yang warna kuning ini kamu kasih setengah, yang warna putih kamu kasih seperempat”. Si anak bertanya: “setengah ini apa Bu Bidan?” Bidan menjawab: “pil ini ada garis di tengahnya nih, … Ibu patahkan ya, nah ini namanya setengah. Kalau yang putih ini, seperampat ya?” Si Anak: “seperampat bagaimana Bu Bidan?” Si Bidan: “yang sudah dipatah jadi dua itu, dipatah lagi…itu namanya seperempat nak”
Dan diakuinya…dengan kisah Bidan Cerdas itu akhirnya naskah kisah drama pendek itu dibawa ke Amerika.
Itulah sepenggal peristiwa dalam sebuah in house traning yang menurut mereka adalah dalam rangka redesain sebuah sandiwara. Dengan berakhirnya lokakarya itu, Eddy menyimpulkan bahwa BKKBN ternyata sudah join dengan Hopkin University ingin mengganti Butir-butir pasir di laut menjadi Lilin-lilin di depan.
Eddy waktu itu lapor dengan Pak Arsad Subik. “Pak Arsad, Butir-butir pasir di laut sudah trade mark, bukan hanya milik BKKBN tetapi milik berdua yaitu BKKBN dan RRI, mohon Bapak berkenan untuk menyurati BKKBN agar bersedia tidak mengubah judul ini. Apa yang terjadi akhirnya dipaksakan diri bahwa Butir-butir pasir di laut telah diganti nama menjadi Lilin-lilin di depan…dan saya mundur. Saya tidak mau lagi terlibat dalam produksi itu”.
Waktu itu terjadilah penggantian nama sandiwara Butir-butir pasir di laut dengan episode baru dengan judul Lilin-lilin di depan. Episode itu berlangsung sekitar dua tahun, setelah itu hilang. Dengan matinya Lilin-lilin di depan matilah Butir-butir pasir di laut.
Hidup Lagi
Menurut Eddy Basrul Intan, banyak hal yang dapat diperbuat untuk menghidupkan kembali sandiwara Butir-butir Pasir di Laut, antara lain bisa memasukan interaktif program diberbagai stasiun dengan membuka spase untuk pendengar agar bergabung secara langsung dalam break program tersebut, dengan cara mengunggah semacam kuis yang menarik di ujung acara agar pendengar berinteraktif dengan penyiar di studio. Misalnya, pendengar diajak berkomen tentang ceritera yang baru berjalan.
Selanjutnya yang terpenting menurut Eddy adalah kontinuitas. Misalnya 100 episode diproduksi di Jakarta, 25 episode di daerah A, 25 episode di daerah B dan seterusnya, dengan tujuan agar ada pembinaan untuk teman-teman di daerah untuk ikut berkiprah secara langsung dalam proses produksinya.
Ada kompetisi dan transfer ilmu antara tim produksi di Pusat dan di daerah. “Dulu juga ada pembagian tugas sesama penulis. Ave Burhan, Darius Omary dan saya. Kalau Ave Burhan mengambil 150 episode maka sisanya adalah untuk kami berdua karena ceriteranya ada 365 dalam satu tahun. Ceriteranya tetap sama Butir-butir pasir di laut”.
Jadi ada istilah serial dan seri. Kalau serial ada tokoh bersambung dalam satu episode berikutnya sudah berseri karena sudah berganti ceritera. Jadi model inipun dapat direrapkan dalam sistem produksi sekarang, karena tidak bisa mengandalkan dengan hanya satu penulis. Bisa juga ditempuh cara produksi sebulan-sebulan atau dua bulan-dua bulan.
Kalau sebulan pasti 25 atau 50 seri dalam satu ceritera, kalau di atas itu berat. Kalau ada pemain yang kuat maka pemain ini bisa ikut bermain di daerah. Jadi dapat dikisahkan satu tokoh yang move sebagai benang merah, asal nanti penulisnya dikumpulkan untuk diarahkan dengan cara itu. Resikonya akan memerlukan biaya yang banyak untuk perjalanan dan sebagainya.
Apakah model Butir-butir pasir di laut yang dulu akan diadopsi dengan versi baru yang sekarang? Model lama, untuk menentukan siapa orang yang call program saja harus dipilih siapa orangnya yang tepat untuk itu. Jatuh pilihan waktu itu adalah Olan Situmpul atau Arief Rusman atau Youce Walangare.
Tiga karakter suara itu sangat berbeda dan mempunyai daya tarik, mereka mempunyai ciri khas tersendiri, karakter itu sulit dicari saat ini. Apakah model tersebut akan diadopsi untuk model baru yang sekarang atau dibuat tersendiri dengan model kekinian?
Tentu hal ini perlu dipertimbangkan lantaran suasana yang cukup berbeda. Misalkan, jika mengambil dengan musik tune yang lama, dulukan diambil dari piringan hitam tentu berkaitan dengan hak cipta.
Maka sebaiknya dibuat musik khusus dengan memanggil komposer yang diminta membuat musik tema yang dicipta tersendiri untuk sandiwara model baru dengan nuansa etnik yang merupakan kolaborasi musik-musik tradisional dan musik moderen.
Selanjutnya menurut Eddy, sandiwara Butir-butir pasir di laut model baru perlu didesain secara khusus dengan memadukan art desain kedua model tersebut.
Menyikapi rencana produksi Butir-butir pasir di laut model baru, Eddy Basrul Intan mengingatkan pentingnya stok penulis naskah. Hal ini yang perlu diperhatikan pihak manajemen RRI, karena keberlangsungan sebuah produksi sandiwara bergantung pada penulis naskah.
Selanjutnya perlu adanya studio khusus untuk produksi sandiwara bisa dirancang di RRI Jakarta atau di studio Puslitbangdiklat yang sudah memenuhi syarat untuk memproduksinya. Masalah pendanaan disarankan menggunakan dana dari RRI sendiri walau terkait dengan PMK, namun dapat juga dikerjasamakan dengan pihak lain yang bersedia mendanai produksi sandiwara ini.
Rapat Rancangan Sandiwara Butir-butir Pasir di Laut versi baru tahun 2017, dihadiri oleh Kepala RRI Jakarta (La Sirama), Eddy Basrul Intan (Penulis), Sudarno, Linna Rosini, Agus Sukoyo, dan Bagita. Di Ruang Rapat Direktur Program Produksi LPP RRI di Jakarta. (sumber:RRI)