SEMANGAT JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, mengatakan pemerintah sangat mendorong eksplorasi yang dilakukan secara terus menerus. Hal ini sudah diamandemenkan dalam PP No 79. Ia juga telah diminta untuk memberikan penghargaan untuk produk dalam negeri.
“Pemerintah sangat mendukung penggunaan produk dalam negeri yang makin lama makin banyak, ada tambah kerja dan nilai tambah. Tapi satu kualitas nggak boleh beda,” ujarnya di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Jonan juga menjelaskan bahwa produk dalam negeri harus bisa lebih murah meskipun dengan kualitas yang sama. “Saya tanya Pak SKK Migas, ada toleransi harga ya. Kalau saya jadi K3S saya tolak, pasti nggak mau. Saya sangat mendorong, kayak model psc yang non cost reovery atau gross split kan sambil dibikin formula, kalau TKDN berapa persen dapat split lebih banyak,” terangnya.
Dalam hal ini, Jonan menginginkan produk dalam negeri bisa lebih kompetitif untuk dapat bersaing dengan negara lain. Hal ini tentunya harus ditunjang dengan peningkatan produksi dalam negeri.
“Tapi tetap, produk dalam negeri harus kompetitif, kalau nggak kita secara bangsa nggak bisa bersaing dan maju. Ini yg saya mohon dengan sangat bahwa peningkatan kualitas produk dalam neegri harus bagus,” jelasnya.
Mengenai target lifting gas, Jonan mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa mengerti andaikan biaya produksinya naik tetapi hasilnya malah menurun.
“Saya sudah ngomong dengan orang-orang di SKK Migas ini, sama sekali ngga paham kalau ini terjadi. Jadi ini saya minta efisiensi, apapun modelnya, mau gross split, mau cost recovery, efisiensi dari waktu ke waktu harus sungguh-sungguh,” paparnya.
“Jadi menurut saya menghasilkan produk yg bagus atau output, sesuai dengan harga pantas itu kewajiban. Kalau teman-teman SKK bikin target itu produksi gas bumi sehari itu nulisnya 1,5 juta boepd, saya bilang ngga mau pokoknya pasang 1,25. Karena biaya produksi nggak bisa ditekan,” imbuhnya.
Jonan juga mengingatkan, satu yang sangat berbahaya adalah formulasi, karena terdapat banyak perbedaan formulasi costing di negara maju dengan di Indonesia.
“Fixed cost aja kok pakai advanced country, kan kalau dibandingkan pasti beda. Di sana mungkin 70 persen dari tenaga kerja itu variabel, kita ngga bisa, akhirnya banyak fixed cost nggak bisa dikurangi. Makanya saya bilang kalau ngga bisa dikurangi produksinya jangan turun,” imbuhnya ( sumber jitunews)