JEJAK JURNALISTIK (1)

by -

Semangatnews.com – Saya mengawali hidup di dunia Jurnalistik sekitar tahun 1970 di surat kabar Singgalang yg terbit seminggu satu kali. Kantor Singgalang kala itu di sudut pertigaan Jl. M Yamin dg jl…(saya lupa).

Saya bekerja karena kebaikan bang Nazif Basir. Salah seorang pendiri dan Pimpinan Singgalang yg mengajari saya membuat berita. Awalnya, sambil kuliah di kelas jauh FKT IKIP Padang, saya jadi “korektor lepas” di Bukittinggi, karena dibawa Samsuir Arfie (lama sudah tak jumpa, dimana beliau skrg?). Lalu ketemu bang Nazif Basir yg kala itu menulis cerita Palimo Alang Bangkeh yg tiap terbit ditunggu pembaca. Th 1971 FKT IKIP Padang di Bukittinggi ditarik ke induknya di Padang. Sayapun terpaksa ikut pindah. Belum cukup sebulan, mahasiswa IKIP Padang mengadakan pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa. Waktu di Bukittinggi, saat mahasiswa FKT memilih Ketua Senat, saya ikut2an mencalonkan diri. Hasilnya ..? Yaa…kalah! Itu sebab saat pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa saya memilih tidur di Aspa (Asrama Putra). Sebab yg memilih adalah pengurus dewan mahasiswa lama, senat2 mahasiswa dan dihadiri Pembantu Rektor III. Nama saya jelas tak tercantum di semua kelompok itu! Antara tertidur dan tidak, saya dengar ketukan di pintu sambil menyebut nama saya.

Saat pintu dibuka, dua mahasiswa yg saya kenal berkata: “Kawan2 ketua senat dan pak PR III meminta bung hadir di dalam rapat,”! “Untuk apa?” jawab saya, karena saya memang tak diperlukan hadir di rapat penting para mahasiswa tsb. “Hadir sajalah, kita harus belajar ikut rapat2, ayo…” ujar salah seorang dari mereka. Separoh ogah2an saya ikut. Begitu masuk ruangan rapat semua pada bertepuk tangan. Saya tak faham tepuk utk apa itu.

“Ayo silahkan lanjut rapatnya”, ujar PR III yg dikenal semua mahasiswa, termasuk saya. Saya memilih duduk agak dibelakang. Rapat lanjut lagi. Pimpinan rapat beŕkata: “Dengan hadirnya sdr Makmur HP ada tiga calon Ketua Dewan. Kita lanjut pemungutan suara atau dipilih aklamasi?” “Aklamasiiiiii …..” jawab hampir semua yg hadir.

Pimpinan rapat mengetukkan palu di meja sembari berkata: “Pemilihan dilakukan secara aklamasi!” Saya melihat di daftar para calon nama saya ada di nomor 3, ditulis saat saya baru saja duduk. Pimpinan rapat bertanya, “Siapa yg kita pilih jadi Ketua Dewan?” Nama saya disebut banyak mahasiswa, tapi dua nama yg lain juga banyak yg menyebut. Akhirnya pimpinan rapat memutuskan pemilihan lewat “tunjuk tangan”. Dimulai dari no 1, beberapa menunjuk, pimpinan mencatatnya di papan tulis. Begitu juga no 2. Dari 23 yg memilih, no 1 dapat 7, no 2 dapat 8, jumlahnya 15. Sisa (utk saya, tapi belum disebut) 8 suara. Ternyata jumlah pemilih yg tidak genap bisa menimbulkan masalah.

“Baik, tersisa 8 suara. Kalau ada satu saja yg tak ikut memilih, yg menang calon no 2, dengan 8 suara,” ujarnya.

“Kalau semua memilih, maka kita lanjut ke pemilihan ke II, dengan 2 calon. No 2 dan no 3. Baik, kini siapa dari delapan orang yg memilih calon no 3, sdr Makmur HP asal dari Pelanbaru, dan baru pindah ke Padang dari FKT Bukittinggi?” Saya sepenuhnya sadar, “orang Riau” saat itu (tahun 1970 an) amat sangat tak disukai oleh mayoritas mahasiswa IKIP Padang. Penyebabnya adakah kecemburuan sosial. Pakaian “Anak Riau” tak terjangkau oleh mayoritas anak IKIP Padang. Sebut saja “tetoron, tetrex, casmilon” dll. Hanya beberapa orang yg tahu, terutama yg seasrama dg saya, bahwa pakaian saya beda. Celana saya kepar usang. Baju kain mori putih, yg kebanyakan dipakai mahasiswa. Lebih dari itu, kelepak baju dan pantat celana bertambal. Kalimat pimpinan rapat: “Makmur HP asal Pekanbaru” sudah mengarahkan peserta rapat agar tidak memilih. Kalimat pimpinan rapat agar yg 8 orang menunjuk tangan baru saja berakhir, ketika hampir semua yg hadir mengacungkan telunjuknya ke atas. “Lhoo…lhoooo… Saudara ini, saudara itu dan saudara yg sana tadi kan sudah nemilih. Ada yg no 1 ada yg no 2. Kok menunjuk lagi?” “Tak ada aturan yg menyebutkan tak boleh memilih dua atau tiga kali,” jawab seorang Ketua Senat. “Tuuulllll ….” ujar yg lain menyingkat kata betul jadi tul. Alhirnya pemilihan yg tatacaranya tidak tertulis itu diulang. Pemilihan dilakukan secara “aklamasi murni”.

“Siapa di antara tiga calon ini saudara pilih menjadi Ketua Dema IKIP Padang?” Gema ujung suaranya belum hilang, ketika suara 23 pemilih bergema menyebut nama saya: “Makmur HP..!!” “Setujuuuu….” ujar pimpinan rapat. “Setujuuuuuu” jawab yg hadir.

Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali, dengan jawaban yg sama tiga kali pula. Pimpinan rapat mengetukkan palu sebanyak tiga kali, tanda hasil pemilihan sah! Rapat jadi kacau balau. Karena semua yg hadir berdiri dan pada menghampiri saya untuk bersalam mengucapkan selamat. Sungguh tak pernah terbayangkan, anak Riau dari kampung kecil dan tak dikenal pula, Buluhcina, terpilih menjadi Ketua Dewan Mahasiswa salah satu dari dua perguruan tinggi besar di Sumatera Tengah. Satunya lagi UNAND. Saya tak tahu, apakah setelah tahun 1973, saat jabatan Ketua Dema IKIP Padang yg saya jabat selesai (47 tahun yg lalu), sampai sekarang (Th 2020) ada mahasiswa “anak Riau” lain yg terpilih jadi Ketua Dema di IKIP atau UNAND, dua perguruan tinggi besar di Sumatera Barat.

Sekitar sebulan menjabat Ketua Dewan Mahasiswa, seorang mahasiswa UNAND bermama Gafri Harun tewas tertembak dalam suatu demonstrasi. Polisi segera mengeluarkan pengumuman, melarang keras mahasiswa demo! Saya kumpulkan pengurus dewan dan senat2 mahasiswa. Tapi yg hadir mencapai 150 lebih. Apa boleh buat, saya meneruskan rapat. Saya sampaikan, nasib yg sama bisa menimpa mahasiswa IKIP.

Sekarang, kendati ada larangan polisi, Dema IKIP akan demo ke pusat kota, menunjukkan solidaritas kepada mahasiswa UNAND. Begitu saya selesai bicara seratusan lebih mahasiswa yg hadir di Aula FKT saat itu bertepuk riuh. Malah ada yg meneriakkan yel-yel “Hidup Demaa…!” “Hidup Demaaa…!” Dema UNAND yg semula takkan demo karena larangan polisi, diikuti larangan Rektor, begitu mendapat kabar Dema IKIP akan demo, merekapun bersepakat turun demo! Demo Dema IKIP yg rencananya sekitar 75 orang, terdiri dari Dema 33 orang, selebihnya Senat Mahasiswa.

Saat saya mengumpulkan massa di lapangan bola di depan Rektorat untuk berdemo, yg hadir lebih dari 200 orang! Mahasiswinya tetlihat lebih banyak. Mahasiswa IKIP mayoritas memang perempuan.

“Saya kumpulkan saudara-saudara untuk demo. Yang sebelumnya tak tahu dan ingin tetap kuliah silahkan masuk ruang kuliah,” ujar saya. Terdengar tepuk tangan dan tertawa. Namun tak seorangpun yg beranjak! “Apa yg ditertawakan?” tanya saya. “Karena ikut demo” jawab salah seorang. “Hidup Dewan …!” teriak seseorang. “Hidup Dewan..!” teriak yg lain. (Bersambung)

JEJAK JURNALISTIK (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.