Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Research Associate, Beppenas, Alumni FE-UGM dan Bayreuth Universitat, Germany
SEMANGATNEWS.COM – Indonesia memang telah menjadi negara net importir migas (atau produksi migas berkurang) untuk memenuhi konsumsi di dalam negeri yang lebih besar.
Sejak tahun 1970-an tidak ada lagi kegiatan eksplorasi yang menemukan blok migas baru di Indonesia. Praktis letergantungan produksi migas mengandalkan blok-blok dan atau sumur migas peninggalan kolonialis Belanda. Konsekuensi dari kondisi tersebut tentulah mengakibatkan Indonesia menjadi negara net importir minyak pada tahun 2004.
Impor minyak mentah (crude oil) dan impor produk olahan kilang atau bahan bakar minyak (BBM) dalam jumlah besar sangat diperlukan untuk memenuhi permintaan domestik yang terus meningkat agar Indonesia terus mengelola pertumbuhan ekonomi nasional.
Makanya, untuk memenuhi konsumsi itu salah satu caranya, adalah pemerintah ingin menggenjot produksi minyak mentah pada tahun 2024 sejumlah 703.000 barel per hari (bph). Tentu saja, jumlah produksi tersebut tetap belum mampu memenuhi kebutuhan minyak mentah Indonesia yang mencapai sekitar 1,4 juta bph.
Untuk itulah, kemudian pemerintah Indonesia memberikan izin kepada para importir menutup selisih kebutuhan konsumsi sejumlah 700.000 bph dari produksi negara lain atau produsen di luar negeri (asing). Kementerian dan lembaga yang terkait dengan kebijakan impor migas inilah yang berwenang memberikan izin kepada para pengusaha atau importir.
Namun, anehnya mengapa justru kebutuhan importasi semakin besar jumlah dan nilainya, bagaimana halnya dengan perkembangan teknologi pengolahan kilang dan pembangunan kilang baru yang telah dijalankan? Sebab, jika impor migas dan BBM terus dilakukan ditengah depresiasi Rupiah atas US dollar yang mencapai Rp16.450, maka nilai impor jelas semakin membengkak dan bisa menembus angka lebih dari Rp658 triliun (sedangkan subsidi yang dikeluhkan Presiden hanya Rp502 triliun).
Benarkah jumlah dan volume impor migas yang telah diterbitkan oleh otoritas terkait hanya sejumlah 700.000 bph atau lebih besar dari kebutuhan wajar konsumsi di dalam negeri?
Bahkan, Presiden Joko Widodo berulangkali mengungkapkan kekesalannya terhadap tingginya impor migas yang sampai saat ini tidak teratasi. Kekesalan itu pernah diungkapkan saat membuka acara Musrenbangnas di Istana Negara, pada Hari Senin 16 Desember 2019 masa awal periode kedua pemerintahannya.
Lalu, pertanyaan publik tentu saja adalah sudahkah kekesalan Presiden Republik Indonesia atas impor migas yang membengkak ini ditindaklanjuti dan ada penyelesaiannya? Ada apa sebenarnya dengan kebijakan perizinan impor migas (minyak mentah/crude oil) yang telah dilakukan oleh otoritas terkait, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) cq. Menteri ESDM?
Sebab, justru menurut data KESDM-lah yang tertuang dalam ‘Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022’, menunjukkan bahwa impor produk kilang seperti BBM mengalami kenaikan sebesar 12,6% dalam periode 2019-2022. Pada tahun 2022 impor BBM sejumlah 27,86 juta kilo liter (kl) dibandingkan tahun 2019 yang tercatat hanya sejumlah 24,73 juta kl.
Artinya, terdapat kenaikan impor produk BBM sejumlah 3,13 juta kl yang menguras devisa negara, hanya pada tahun 2020 impor menurun menjadi 19,93 juta kl. Sedangkan, mengacu data BPS sampai bulan Maret 2024 impor migas dan BBM telah mencapai 4,66 juta kl dan meningkat dibanding bulan Februari 2024 yang sejumlah 4,29 juta kl. Jika angka ini konstan diperkirakan impor migas dan BBM pada bulan Juni 2024 bisa mencapai kurang lebih 15 juta kl.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor migas Indonesia sejak tahun 2019-2023 juga mengalami kenaikan signifikan. Pada tahun 2019, nilainya mencapai US$21.885,3 juta atau setara dengan Rp312,96 triliun (kurs US$1= Rp14.300) dan pada tahun 2022 telah mencapai US$40.416,4 juta yang nilainya setara Rp636,558 triliun (kurs US$1=Rp15.750). Artinya terdapat kenaikan jumlah US dollar yang dibutuhkan setiap adanya peningkatan jumlah impor migas yang akan menggerus devisa negara dan lebih banyak Rupiah yang harus disediakan.
Indonesia juga melakukan kegiatan ekspor migas yang pada tahun 2019 tercatat senilai US$11.789,3 juta atau setara dengan Rp168,59 triliun, sedangkan pada tahun 2022 senilai US$15.998,2 juta atau setara dengan Rp251,17 triliun.
Apabila menggunakan data kebutuhan konsumsi migas yang disampaikan oleh KESDM terhadap adanya kekurangan (gap) produksi di dalam negeri, maka izin impor yang harus diberikan adalah sejumlah 700.000 bph. Jumlah impor migas ini jika disetarakan (ekuivalensi) dengan berat jenis kilogram (kg) adalah 95.200 ton (1 barel = 136 kg) atau sebesar 9,52 juta kl. Apabila harga keekonomian migas dunia sejumlah US$50-70/barel diperlukan dana Rp95,3-104,96 triliun saja (kurs US$1=Rp14.300-15.750).
Lalu, mengacu pada data BPS mengapa jumlah impor migas dan produk olahan kilang (BBM) bisa mencapai Rp312 96 triliun pada tahun 2019 dan Rp636,56 triliun pada tahun 2022?
Artinya, ada kebijakan impor migas melebihi kuota 700.000 bph yang ditetapkan oleh KESDM atau sejumlah kurang lebih Rp217,66 triliun hingga Rp531,6 triliun pada saat memberikan izin kepada para importir tahun 2019-2022, yaitu sebesar 15,21 juta kl hingga 18,34 juta kl.
Siapakah yang harus bertanggungjawab atas kelebihan importasi migas diluar batas kewajaran serta membuat defisit transaksi berjalan semakin melebar dan APBN sekarat? Apabila permasalahan ini terus dibiarkan, maka mata uang Rupiah akan terus mengalami depresiasi semakin besar nomimalnya. Bagaimana menurut Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati?