Ilham Bintang; Omnibus Law dalam Pemerintahan Omnipotent
Fauzi dari stasiun TV Malaysia Astro Awani mengontak saya, Jumat (9/10) pagi. Ia akan mewawancarai saya soal kisruh aksi unjuk rasa buruh dan mahasiswa menentang Omnibus Law. Fauzi mendapat kontak saya dari wartawan senior, Asro Kamal Rokan.
TV Astro Awani โdisebut sebut sebagai Kompas TV-nya Malaysia โ tayang live pagi itu pukul 10.00 waktu Malaysia (Jakarta pukul 09.00 pagi) dengan topik: Kontroversi Omnibus Law.
Menjelang acara, ada kendala teknis. Astro Awani TV mengunakan aplikasi Skype, sedangkan saya sudah lama meninggalkan aplikasi Itu, ganti dengan Zoom atau Video Call. Jalan tengahnya, saya diwawancarai via saluran telepon biasa– jadi yang berfungsi audionya saja.
Tapi, dalam rekaman wawancara yang dikirim sohib lama saya di Kuala Lumpur, Buyung Zardas, di layar tampil foto saya dengan atribusi: Presiden Iswami!
Padahal, presidennya di Indonesia adalah Asro Kamal Rokan. Iswami akronim Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia. Saya hanya salah satu pengurusnya. Oh, ya. Buyung tadi adalah aktor Teater Ketjil, pimpinan Arifin C Noer almarhum, yang sudah puluhan tahun mukim di Malaysia.
๐๐ฎ๐ง๐ ๐ฅ๐ of ๐ซ๐๐ ๐ฎ๐ฅ๐๐ญ๐ข๐จ๐ง๐ฌ
Omnibus Law digagas Presiden Jokowi. Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI periode kedua, 20 Oktober 2019, Jokowi menjanjikan Omnibus Law akan diwujudkan dalam tahun 2020.
Gagasan Omnibus Law sebenarnya bagus.
Hanya timing-nya tidak tepat. Tidak lama setelah disahkan parlemen langsung disambut unjuk rasa kalangan buruh pada 6-8 Oktober. Malah pada puncaknya, 8 Oktober, unjuk rasa diperkuat mahasiswa berbagai perguruan tinggi. Juga kalangan pelajar. Hari itulah terjadi kericuhan.
Omnibus Law merangkum lebih 7O UU berbagai sektor. Idenya merevisi dan merampungkan banyak UU supaya tidak saling tumpang tindih satu sama lain sambil menyederhanakan birokrasi.
Tujuannya, untuk merangsang investor asing masuk ke Indonesia. Tiap tahun ada 3,5 juta angkatan kerja kita yang tidak diserap oleh lapangan kerja yang tersedia. Ini mau digenjot oleh pemerintah dan DPR.
Sejak awal memang mendapat tentangan luas dari masyarakat, NU, Muhammadiyah, dan banyak ormas lainnya, karena diduga hanya menguntungkan investor atau pengusaha. Bukan sesuai yang diharapkan untuk meningkatkan perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat, khususnya buruh.
Ada prosedur yang tidak dipenuhi dalam proses pembuatan UU itu, antara lain diproses amat singkat, di masa pandemi pula, tentu sejumlah pandangan diabaikan, tidak banyak pihak yang dimintai pendapat sebagaimana lazimnya proses UU sebelum diketok.
Agenda sidang putusan saja, semula 6-8 Oktober, tetapi mendadak dimajukan menjadi tanggal 5 Oktober. Malam itu juga diketok. Selesai sidang, tgl 6 DPR-RI sudah reses. Artinya: pintu dialog sudah ditutup.
Terungkap belakangan, UU itu sebenarnya belum selesai ketika diketok pengesahannya oleh DPR. Ada ekonom menyebutkan DPR hanya mengetok kertas kosong. Buktinya, naskah UU hingga Sabtu (10/10) belum diterima, bahkan anggota DPR sendiri, apalagi masyarakat (kumparan, Sabtu 10/10).
Dalam berita itu, pihak Badan Legislasi DPR-RI menyatakan naskah UU masih direvisi, banyak yang salah ketik.
Tidak jelas naskah mana yang jadi pegangan Presiden Jokowi ketika berpidato Jumat (9/10) malam. Saat itu membantah sejumlah berita, yang disebutnya hoaks beredar di masyarakat terkait Omnibus Law.
Timing– salah satu pemicu demo meledak di seluruh Indonesia– dianggap tidak tepat. Itu tadi: di masa pandemi yang belum terkendali. Pemerintah berulang-ulang dan berbulan-bulan mengatakan fokus untuk mengatasi corona.
Rakyat diminta ikuti protokol kesehatan, disuruh lebih banyak di rumah, jaga jarak dan selalu pakai masker.
Tapi celakanya, DPR-RI sendiri mengabaikan itu. Dan, putusannya mengetuk palu sangat terburu-buru, seperti yang diungkap di atas. Itulah yang menimbulkan kecurigaan — entah apa yang disembunyikan oleh DPR dan pemerintah.
Rakyat yang frustrasi karena delapan bulan didera pandemi, melampiaskan kemarahannya, Kamis, 8 Oktober. Banyak fasilitas publik terbakar dan hancur, sekian korban luka, dan ratusan demonstran ditahan. Demonstran yang ditahan kebanyakan massa pelajar yang menurut polisi, bermaksud bikin rusuh. Banyak pihak menyesalkan pemerintah dan DPR yang memaksakan pengesahan Omnibus Law itu.
Di tengah kisruh demonstrasi, Gubernur di banyak daerah mencoba menemui mereka. Mencoba meredakan dengan menjanjikan akan meneruskan tuntutan massa kepada pemerintah pusat. Dilengkapi surat resmi dengan isi sama yang dijanjikan kepada massa. Tapi apa lacur, saat rapat dengan Presiden, Jumat (9/10) malam, tidak satu pun gubernur yang menyampaikan kepada Presiden.
Gubernur Anies mengakui itu. Alasanya karena dia dan gubernur lainnya tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan amanah buruh tersebut. Entah ditaruh di mana nanti wajah para gubernur itu di mata massa pendemo di daerahnya.
Gagasan Omnibus Law sebenarnya tidak baru. Pernah diwacanakan oleh Menteri Penerangan RI, Ali Murtopo, di masa menjabat 1978-1983 dalam pemerintahan Presiden Soeharto. Tapi sampai Ali Murtopo lengser, ide itu tak pernah terwujud.
Saya ingat saking geramnya, Ali Murtopo sampai menjuluki Indonesia sebagai โhutan peraturanโ atau “The Jungle Of Regulations”. Banyak aturan, menyebabkan birokrasi tambun sehingga tak lincah bergerak, tapi terutama menjadi ladang basah pungli dan korupsi. Pun sampai Orde Baru runtuh, gagasan memangkas aturan tak terealisasi.
Padahal, pemerintahan Orde Baru masa itu adalah pemerintahan Omnipotent (sangat berkuasa). Seluruh kekuasaan negara di satu tangan, tangan Presiden Soeharto. Kalau mau, ibaratnya, seminggu pun UU itu bisa diproses dalam posisi parlemen yang lemah. Tinggal stempel.
Dan, rakyat tinggal manut. Tidak ada informasi apakah karena khawatir terjadi gejolak sosial sehingga wacana itu dihentikan.
Omnibus Law bertujuan menggairahkan iklim berusaha. Antara lain dengan memangkas birokrasi dan pungli seperti korupsi, penghambat utama Indonesia menjadi negara maju.
Bukan rahasia, mendirikan msajid saja di Indonesia harus melewati birokrasi panjang, bisa dua tahun diurus tapi urusannya kembali ke lagi titik nol. Banyak yang mengalami itu. Padahal, jelas-jelas itu urusan sosial atau nirlaba.
Pemerintahan Jokowi bisa disebut Omnipotent. Menguasai seluruh sumber daya negara dengan dukungan 85 % suara di parlemen dari tujuh partai koalisi. Namun, sayang pemerintah abai — untuk tak mengatakan gagal –mengkomunikasikan itu kepada rakyat. Padahal, untuk urusan tersebut sudah dibantu influencer dan buzzer, yang dibiayai uang negara.
Pemerintah bahkan gagal mengoperasikan aparat intelejennya mendeteksi kelompok Anarko (itu yang disebut Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya sebagai perusuh). Padahal, juru bicara polisi mengklaim sudah mencium gelagat rencana anarko jauh hari sebelumnya.
Sebagian pendapat di atas saya sampaikan kepada pewawancara Astro Awani TV.
Pemerintahan Jokowi yang omnipotent, semestinya juga memiliki kebesaran hati seluas samudera untuk mendengar aspirasi rakyat dengan ikhlas dan sabar.
Seperti masa menjadi Wali kota Solo, Jokowi memerlukan 95 kali pertemuan sebelum berhasil menertibkan pedagang kaki lima di kotanya.
(Penulis adalah Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat), Jakarta, 10/10/20