SEMANGAT JAKARTA- Di era pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, salah satu fokus pembangunan, adalah membangun Indonesia dari pinggiran. Mendukung itu, Kementerian Dalam Negeri mengambil kebijakan mengirimkan dan menyebar para lulusan IPDN ke wilayah perbatasan dan daerah terluar di Indonesia.
Baru saja kebijakan mengirimkan para pamong lulusan IPDN ke perbatasan dilakukan sudah muncul gugatan. Ada yang mempertanyakan kebijakan itu dengan dalih peraturan. Bahkan menyebut pola pengiriman itu sarat dengan KKN. Si pengkritik berdalih, penempatan para praja ke wilayah perbatasan tak adil. Karena kebanyakan yang dikirim itu adalah para praja dengan IPK terbaik. Atau dalam kata lain lulusan terbaik yang seharusnya ditempatkan di pusat atau di kementerian.
Menanggapi kritikan itu, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Arief M Eddie menegaskan, spirit dasar seorang yang jadi abdi negara itu, siap ditugaskan dimana pun juga. Jika negara sudah memanggil, semua abdi negara harus siap memenuhinya.
“Abdi negara itu, spirit dasarnya siap ditempatkan dan ditugaskan dimana pun juga,” kata Arief.
Harus disadari pula, bahwa wilayah perbatasan atau wilayah terluar, adalah daerah yang selama ini paling tak diperhatikan. Paling tak tersentuh denyut pembangunan. Karena itu, di era Jokowi, wilayah perbatasan diprioritaskan. Perbatasan harus jadi beranda depan negara yang nyaman dan maju. Pembangunan pun kini banyak dikonsentrasikan di perbatasan atau wilayah terluar.
“Harusnya bangga, dipercaya negara untuk mengabdi di bagian negeri ini yang paling membutuhkan. Dan kebijakan disebarnya lulusan IPDN ke perbatasan adalah bagian dari pelaksanaan Nawacita Presiden Jokowi, ” katanya.
Bukankah pula, lanjut Arief, beranda depan negara adalah kawah candradimuka pengabdian sebenarnya. Di sana, para abdi negara dituntut membuktikan kualitasnya. Perbatasan dan wilayah terluar adalah tempat ideal mempraktekkan ilmu yang didapat dari kampus. Di samping, di wilayah terluar pula, para pamong akan diuji mentalitasnya sebagai abdi negara.
“Apakah dia abdi negara yang tahan banting atau tidak. Kawah candradimuka itu bukan ditempat yang sudah mapan. Tempat yang nyaman. Atau enak. Tapi di tempat susah, ia bisa membuktikan diri, apakah ia memang pamong yang terbaik atau tidak,” katanya.
Tak elok, kata Arief, bila seorang abdi negara, apalagi yang baru saja diangkat, baru lulus, mempertanyakan, bahkan memprotes dimana dia ditempatkan. Abdi negara, harus siap dimana pun dia ditempatkan. Wilayah terluar, adalah juga wilayah sah NKRI. Justru wilayah terluar yang paling membutuhkan lulusan IPDN. Seperti prajurit TNI dan juga polisi, tak pernah protes walau ditugaskan di wilayah sulit, bahkan yang paling bahaya sekalipun. Karena itulah spirit pengabdian mereka. Harusnya, para pamong IPDN juga punya spirit yang sama.
“Kalau mengutip kata-kata mendiang Presiden Amerika, John F Kennedy, jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu,” kata Arief.
Arief pun kemudian bercerita. Di era Jenderal M Jusuf jadi Panglima ABRI, para prajurit yang bertugas di medan tempur, adalah prajurit-prajurit terbaik dengan kemampuan paling mumpuni. Mereka yang terbaik yang dikirim ke fron terdepan. Dan, tak ada yang protes atau menggugat. Bahkan mereka yang kemudian menjadi para jenderal, adalah para prajurit yang kenyang bertugas di wilayah sulit.
“Jadi janganlah belum apa-apa sudah menuntut hak. Harusnya kan, tunaikan dulu kewajiban yang diberikan oleh negara. Negara sudah memberi tugas, maka laksanakan itu dengan penuh dedikasi dan loyalitas,” kata dia.
Jangan kemudian belum apa-apa sudah menuntut hak. Meminta yang nyaman. Jangan sampai hanya karena itu, publik menilai, para pamong disekolahkan dan dibiayai negara, tujuan utamanya hanya ingin bertugas di tempat yang enak. Tapi, saat ditugaskan ke daerah sulit, langsung jeri. Mental abdi negara tak seperti itu.
Peraturan memang sudah mengatur. Tapi, peraturan hanyalah sebuah instrumen. Dan, penempatan abdi negara di mana pun, adalah hak prerogatif pemerintah. Pun, penempatan ke wilayah perbatasan atau terluar, secara substansi tak melangkahi aturan itu. Karena sekali lagi, spirit dasar abdi negara itu, siap ditempatkan dimana pun juga.
“Apalagi sekarang Pemerintahan Jokowi, sedang fokus membangun Indonesia dari pinggiran. Harusnya para praja IPDN bangga dipercaya jadi aktor pembangunan di pinggiran Indonesia. Apalagi, kampus IPDN itu telah ditetapkan sebagai kampus penggerak revolusi mental. Ini momentum pembuktian, apakah para praja itu bisa jadi kader yang menggerakkan revolusi mental. Dan yang paling membutuhkan adalah wilayah perbatasan, wilayah terluar,” tutur Arief panjang lebar.
Andai pun jika benar ada oknum yang bermain dalam penempatan para praja pamong IPDN, itu pun tak bisa ditolerir. Jika ada bukti kuat, Arief meminta segera laporkan itu ke Kementerian Dalam Negeri. Pasti, akan ditindak lanjuti. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, tak pernah mentolerir oknum pegawainya yang bermain mata. Bila terbukti, akan ditindak tegas. Bahkan bisa dipecat.
“Laporkan saja bila memang ada oknum yang bermain, apalagi meminta imbalan rupiah. Pasti Mendagri akan menindak tegas. Beliau tak pernah mentolerir perbuatan-perbuatan seperti itu. Bisa dipecat. Laporkan saja,” kata Arief.(Humas/OTK)