Evaluasi Pelaksanaan (Janji) Pembangunan Presiden Joko Widodo

by -

*Evaluasi Pelaksanaan (Janji) Pembangunan Presiden Joko Widodo*

Oleh: Defiyan Cori/Ekonom Konstitusi

Apresiasi patut diberikan publik atas kinerja kelancaran pelayanan mudik lebaran tahun 2024 yang relatif baik dikelola oleh pemerintah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kelancaran arus mudik dan balik tahun 2024 ini salah satunya tidak terlepas dari kontribusi kinerja pembangunan infrastruktur yang dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) dibawah kepemimpinan Bapak Basuki Hadimuljono. Yang monumental, tentu saja adalah kehadiran infrastruktur Jalan Tol di Indonesia telah memberikan manfaat penting bagi terkelolamya kelancaran peningkatan perekonomian bagi masyarakat sekaligus membuka akses dan menghubungkan antar wilayah yang tersebar di 5 Pulau di Indonesia yakni Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali.

Betapa tidak, menurut data Badan Usaha Pengelola Jalan Tol (BPJT) pada awal pembangunan Jalan Tol tahun 1978 panjang jalan yang dioperasikan (jalan tol Jagorawi) hanya 59 km. Sementara itu, hingga pertengahan Januari 2024 total panjang Jalan Tol di Indonesia telah mencapai 2.816 Km yang terbagi ruasnya di Pulau Jawa 1.782,47 Km, Pulau Sumatera 865,43 Km, Pulau Kalimantan 97,27 Km, Pulau Sulawesi 61,64 Km, dan Pulau Bali 10,07 Km. Keseluruhan Jalan Tol yang telah beroperasi tersebut berada dalam pengelolaan 59 unit Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) di 73 ruas, yangmana didalamnya terdapat 132 Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP). Diawal tahun 2022, BPJT menyatakan telah mengerjakan sepanjang lebih dari 2.499,06 km dan pada tahun 2023 yang telah beroperasi sepanjang 217,77 Km. Artinya, selama periode 2023 sampai bulan April 2024 terdapat penambahan Jalan Tol sepanjang 257,94 km.

Luar biasa memang kinerja Menteri PUPR Basuki Hadimuljono terlepas siapa yang beroleh manfaat ekonomi (laba), tetapi akses jalan bagi kelancaran pemudik telah terpenuhi. Namun demikian, pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah hanya soal sektor infrastruktur jalan, jembatan atau.irigasi dan bendungan besar bagi sektor pertanian saja, melainkan juga pemenuhan janji kampanye Presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat pasca reformasi dan amandemen UUD 1945. Tentu, dengan berbagai konsekuensi yang menyertainya terkait pilihan cara berdemokrasi dan sistem politik yang telah diubah.

Pertanyaan publik tidak lain adalah, apa saja janji kampanye yang telah ditunaikan dan mana yang tidak dilaksanakan, termasuk tidak ada dalam janji kampanye akan tetapi justru dikerjakan? Hal ini dapat dicermati minimal pada janji kampanye untuk membesarkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina dan tidak adanya janji kampanye untuk pemindahan Ibukota Negara Republik Indonesia.

*Membesarkan BUMN Pertamina*
Kinerja pembangunan infrastruktur yang massif adalah salah satu saja kebutuhan dasar dari agenda dan program pembangunan sektoral lainnya. Masih terdapat janji kampanye Presiden Joko Widodo yang tidak atau belum dikerjakan, diantaranya yang substansial adalah soal tidak melakukan transaksi dengan partai politik pendukung dan membentuk kabinet yang ramping. Janji kampanye terkait hal susunan atau portofolio personalia yang tidak mengamodasi kader partai politik jelas sejak periode 2014-2019 dan 2019-2024, istilahnya jauh panggang dari api ditunaikan apalagi jumlah anggota kabinet yang ramping! Justru sebaliknya, politik transaksional dan kabinet yang “gemuk” lah yang dijalankan oleh Presiden Joko Widodo hingga akan berakhirnya masa jabatan kepemimpinan kurang dari 6 bulan mendatang. Ini adalah salah satu keanehan janji politik calon Presiden setelah menjabat yang tidak pernah bisa ditunaikan atau dipenuhi.

Lalu, bagaimana halnya dengan perkembangan janji kampanye lainnya disektor pertambangan minyak dan gas bumi (Migas) secara eksplisit menyatakan akan membesarkan BUMN Pertamina sebagai perusahaan ternama dalam industri pertambangan Migas)? Salah satu indikator untuk menilai adanya upaya untuk membesarkan BUMN Pertamina adalah dengan mengamati perkembangan jumlah produksi minyak dan gas bumi (lifting) siap jual beserta industri pengolahannya. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian Energj dan Sumber Daya Mineral (KESDM), ternyata lifting minyak selama dua triwulan 2014 (periode Desember 2013 hingga Mei 2014) sebelum Presiden Joko Widodo menjabat rata-rata hanya sebesar 792.000 barel per hari atau mencapai 91% dibanding sasaran (target) APBN 2014 yang sebesar 870.000 barel per hari.

Setelah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, lifting minyak nasional menurut KESDM justru dari tahun ke tahun semakin menurun. Bahkan, sasaran (target) produksi minyak siap jual dalam negeri atau lifting minyak tahun 2024 ini hanya bisa mencapai 635.000 barel per hari (bph). Padahal, pada tahun 2023 lifting minyak di dalam negeri pada tahun 2023 hanya mencapai 605.000 bph atau meleset dari sasaran (target) yang ingin dicapai sebesar 660.000 bph. Masih realistiskah sasaran lifting migas yang ditetapkan pemerintah tahun 2024 ini berdasar data realisasinya yang meleset jauh!? Tak cuma di sektor minyak, lifting gas juga mengalami penurunan dan terdapat indikasi kelandaian dengan catatan data realisasi tahun 2023 hanya mencapai 964 ribu BOEPD, lebih rendah dari asumsi awal sejumlah 1,1 juta BOEPD.

Sayangnya, data dan fakta tersebut justru menunjukan janji ini nyaris istilahnya hanya menjadi isapan jempol belaka. Nasib janji untuk membesarkan BUMN Pertamina, sepertinya juga sama sekali tidak akan tercapai atau bisa dipenuhi oleh Presiden Joko Widodo. Meskipun, berbagai penghargaan (awards) diraih oleh Pertamina, salah satunya dari majalah Fortune Global yang menobatkannya sebagai perusahaan urutan 141 di dunia tahun 2023. Selain itu, BUMN Pertamina juga menduduki peringkat pertama dalam daftar Fortune Indonesia 100 perusahaan terbesar di Indonesia yang berdasar kinerja keuangan dengan pendapatan sejumlah Rp1.323 triliun pada tahun 2022. Posisi ini sangat jauh bila dibandingkan dengan kinerja peringkat kedua terbesar versi Fortune Indonesia 100 yang ditempati oleh BUMN PLN dengan pendapatan hanya sejumlah Rp441 triliun.

Terlepas dari pemeringkatan versi fortune 100 yang hanya menilai faktor pendapatan saja, tidaklah bisa diabsahkan bahwa Pertamina sebagai perusahaan dengan kekayaan terbesar. Pendapatan hanya salah satu faktor saja diantara penilaian kinerja keuangan lainnya, seperti harta kekayaan (asset) yang berpengaruh pada raihan laba bersih. Sebagaimana halnya pendapatan, maka laba bersih cenderung perolehannya fluktuatif terhadap pendapatan dan biaya-biaya dalam operasi sebuah perusahaan. Apalagi, jika mengacu pada data harta kekayaan (asset) BUMN yang bergerak disektor energi justru PLN lebih besar dengan jumlah Rp1.613 triliun dibanding Pertamina yang berjumlah Rp1.113 triliun.

Pada tahun 2022, pendapatan dan laba bersih Pertamina memang lebih besar yaitu masing-masing sejumlah Rp1.332 triliun dan Rp56,7 triliun. Tetapi, biaya-biaya perusahaan yang dikeluarkan oleh PLN jauh lebih kecil, yaitu Rp440,6 triliun dengan pendapatan dan laba hanya Rp455 triliun dan Rp14,4 triliun. Sedangkan pada tahun 2023 (masih menunggu laporan keuangan teraudit) Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengklaim terjadi peningkatan optimalisasi biaya (cost optimatization yang meningkatkan laba bersih perusahaan sejumlah US$1,25 miliar atau setara Rp19,38 triliun (kurs US$1=Rp15.500). Asumsinya, setiap pengeluaran Pertamina secara optimal akan memberikan kontribusi atas raihan laba tahunan.

Dengan menggunakan asumsi itu, maka laba bersih Pertamina tahun 2023 dibanding tahun 2022 akan meningkat paralel sejumlah nilai tersebut menjadi Rp76,08 triliun. Benarkah angka ini yang berarti pencapaian laba bersih tertinggi Pertamina sepanjang sejarah!? Apakah ini yang dimaksud dengan membesarkan BUMN Pertamina yang masih melakukan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk menutupi kekurangan produksi atas konsumsi di dalam negeri? Disebabkan oleh lifting Migas memang bukan berada dalam kewenangan Pertamina, melainkan tanggungjawab dari Kepala Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) yang dijabat oleh Dwi Soejipto.

*Kemiskinan Ekstrem, SDM dan IKN*
Dari berbagai janji kampanye Presiden Joko Widodo, terdapat kebijakan yang tiba-tiba saja muncul atau tidak pernah dijanjikan sebelumnya, yaitu pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. Yang lebih aneh, tidak saja kebijakan pemindahan IKN-nya melainkan juga mengganti sebutannya menjadi Ibu Kota Nusantara, sementara nama negara masih Republik Indonesia. Walaupun pemindahan IKN ini dipayungi secara hukum melalui Undang-Undang (UU) tetap terdapat pelanggaran terhadap konstitusi UUD 1945 terkait nama Republik Indonesia dan Nusantara.

Telah hampir 10 tahun rencana pemindahan IKN dengan berbagai kebijakan pembangunan infrastruktur yang telah diinisiasi dan tidak termasuk dalam janji kampanye Presiden tetapi kenapa menjadi mendesak (urgent) dikerjakan? Padahal, saat Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU-MPR) pasca diambil sumpah jabatannya sebagai Presiden periode 2019-2024 fokus perhatian pemerintah akan diarahkan untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Fokus perhatian atau prioritas SDM ini tentu saja ditujukan untuk mengatasi ketimpangan disektor pendidikan, mengatasi kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Terlebih lagi, sasaran (target) pemerintah pada tahun 2024, yaitu menghapus kemiskinan ekstrem menjadi 0 persen, mungkinkah tercapai!?

Pendidikan, kemiskinan dan pengangguran memang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan SDM Indonesia dalam membangun Indonesia lebih baik. Tanpa kualitas SDM yang baik, maka ketimpangan struktural dan kultural akan sulit untuk diatasi, baik itu di wilayah perdesaan maupun perkotaan. Seharusnya komitmen Presiden Joko Widodo melalui kebijakan penganggaran lebih diprioritaskan ke sektor ini dibanding meneruskan pembangunan IKN yang menelan biaya berkisar antara Rp466 triliun sampai Rp486 triliun. Alokasi anggaran IKN ini akan lebih fungsional dan optimal jika dialihkan untuk memperkuat Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang ditugaskan memimpin sektor (leading sector) SDM dan penghapusan kemiskinan ekstrem.

Alokasi anggaran Kemenko PMK selama ini hanya berkisar antara Rp220 miliar-Rp230 miliar lebih. Pada tahun 2022 dan 2023 Kemenko PMK berulang kali mengajukan usulan penambahan atas pagu indikatif, masing-masing Rp47 miliar dan Rp50 miliar dengan total pengajuan Rp275,97 dan Rp282,287 miliar. Usulan tambahan ini menunjukkan bahwa untuk kegiatan yang bersifat koordinatif saja kementerian ini masih belum mendapat dukungan anggaran yang memadai. Apalagi, kemudian ditambah oleh penugasan penghapusan kemiskinan ekstrem yang sudah harus tidak ada sama sekali pada tahun 2024. Kemiskinan ekstrem menurut pengertian Bank Dunia yang membedakan kemampuan daya beli penduduk untuk kebutuhan sehari-hari tidak lebih dari Rp10.739 (US$1,9) per orang/hari atau Rp322.170 per orang/bulan. Lalu, berapakah jumlah penduduk miskin dan miskin ekstrem di Indonesia?

Data jumlah penduduk miskin pada tahun 2014 disaat Presiden Joko Widodo menjabat diperiode 2014-2019 berjumlah 27,73 juta orang (10.96%). Sementara, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 mencatat angka kemiskinan nasional masih sebesar 9,36 persen, yang mana 3,3 juta orang tergolong kemiskinan ekstrem. Padahal, sasaran (target) angka kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 6,5 – 7,5 persen. angka Kemiskinan ekstrem Maret 2023 mencapai 1,12% turun signifikan 0,92 persen poin dari kondisi Maret 2022 yang sebesar 2,04%. Sebelumnya, pada tahun 2021 tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia sebesar 4 persen atau setara 10,86 juta jiwa. Maka itu, kebijakan dan alokasi anggaran ekstrem (minimal 1 persen dari total APBN) juga dibutuhkan bagi Kemenko PMK untuk mencapai sasaran 0 persen kemiskinan ektrem ditahun 2024.

Oleh karena itu, alangkah eloknya Presiden Joko Wdodo juga mengambil langkah ekstrem menghentikan proyek pembangunan IKN dan mengalihkan anggarannya untuk penghapusan kemiskinan ektrem. Hal ini akan lebih meninggalkan warisan (legacy) baik bagi Presiden Joko Widodo dibanding melakukan pengamanan atas ketidakkonsistenan dalam memenuhi janji kampanye politik saat terpilih tahun 2014 lalu. Sikap kenegarawanan Presiden Joko Widodo dituntut atas permasalahan mendasar kebutuhan ekonomi masyarakat yang mengalami kemiskinan ekstrem berpuluh-puluh tahun. Sebagaimana halnya tuntutan kenegarawanan para hakim MK yang disampaikan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri dalam tulisannya di Harian Kompas 8 April 2024 atas sengketa Pilpres.

Lebih jauh dari itu, tentu saja publik berharap sikap kenegarawanan Presiden Joko Widodo juga ditunggu tidak hanya terkait penghentian kebijakan pembangunan IKN, tetapi juga dalam menghapus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai amanat reformasi. Presiden RI sebelumnya, yaitu Almarhum Soeharto telah menunjukkan bukti sikap kenegarawanannya terkait protes publik atas penunjukkan Siti Hardiyanti Rukmana (anak Presiden dikenal dengan sapaan Mbak Tutut) sebagai Menteri Sosial pada jajaran kabinet Pembangunan VII. Selayaknyalah, Presiden Joko Widodo dengan sikap arif dan bijaksananya meminta puteranya Gibran Rakabuming Raka untuk mundur sebagai calon Wakil Presiden (cawapres) yang berpasangan dengan calon Presiden (capres) Prabowo Subianto.

Apabila sikap ini yang diambil Presiden Joko Widodo tentu saja akan mengurangi beban psikologis para hakim MK atas tuntutan mantan Presiden Ibu Megawati terkait putusan hukum yang akan diambil oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Gibran Rakabuming Raka (akrab disapa Mas Gibran) sebagai anak kandung Presiden Joko Widodo memang punya hak menjadi cawapres yang dijamin oleh konstitusi, UUD 1945 sebagaimana berhaknya Mbak Tutut dahulu. Hanya saja, terkait posisi dan waktunya yang tidak etis dan tidak tepat maka hak warga negaranya menjadi tidak segaris atau linier disebabkan statusnya sebagai anak Presiden. Status Mas Gibran ini justru akan menjadi preseden buruk dan menjadi contoh melanggengkan KKN di daerah-daerah dalam mengajukan calon Bupati/Walikota dan Gubernur. Jelas proses demokrasi NKRI semakin tidak sehat, dan untuk itulah kita tuntut sikap kenegarawan Presiden Joko Widodo, tidak hanya menuntut para hakim MK saja!

Last but not least, tulisan ini hanya sedikit saja menguraikan banyak janji kampanye politik Presiden Joko Widodo yang belum terpenuhi atau tertunaikan. Dengan mengambil sikap kenegarawanan yang telah dicontohkan Presiden alm. Bapak Soeharto, maka rakyat Indonesia pasti akan bersikap mikul dhuwur mendem jero. Sebab, Presiden Joko Widodo telah menunjukkan kinerjanya dalam sektor hajat hidup orang banyak lainnya, yaitu pembangunan infrastruktur jalan yang telah memberikan kelancaran dan kenyamanan berkendara, khususnya saat mudik lebaran. Sembari menyampaikan, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1445 H kami memohon maaf lahir batin sebagai warga negara biasa jika tulisan ini jauh dari perkenan Bapak Presiden Joko Widodo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.