Dhimam Abror Djuraid
Kompetisi sepakbola boleh libur, tapi berita soal PSSI tak pernah sepi, malah tambah ramai.
Yang lagi viral sekarang adalah silang sengkarut antara pelatih timnas asal Korea Selatan, Shin Tae-yong (STY) dengan Direkrur Teknik Indra Sjafri.
Inilah asyiknya sepakbola Indonesia. Prestasi boleh sepi, tapi konfliknya tetap ramai. Nama pengurus PSSI jauh lebih sering muncul di media ketimbang nama-nama pemain liga. Nama Ketua Umum Mochamad Iriawan jauh lebih ngetop dibanding nama striker timnas (siapa, ya..?)
Tentu ini berbanding terbalik dengan negara-negara di seberang sana. Kita hampir tidak pernah mendengar nama ketua FA, ketua Bundesliga, ketua KNVB, atau ketua FIGC. Tapi kita hafal nama bintang-bintang liga mereka karena setiap detik beritanya bermunculan.
Tidak fair memang memperbandingkan PSSI dengan asosiasi-asosiasi di Eropa itu. Tapi, setidaknya kita bisa mengaca diri bagaimana asosiasi yang profesional itu memposisikan diri sebagai regulator dan fasilitator yang menjamin terciptanya iklim kompetisi yang profesional yang kondusif untuk menciptakan prestasi timmas yang optimal.
Publik bola sempat menaruh harapan tinggi terhadap kepemimpinan Mochamad Iriawan. Apalagi Indonesia sudah mendapat kepercayaan FIFA untuk menjadi tuan rumah tunggal Piala Dunia U-20 tahun depan.
Tapi, belum setahun, rasanya yang muncul malah masalah demi masalah. Masa depan kompetisi masih kabur, beberapa masalah datang beruntun mulai dari mundurnya Ratu Tisha dari posisi sekjen, turunnya Cucu Somantri dari kursi CEO PT LIB, dan terbaru perseteruan STY dengan Indra Sjafri.
Konflik ini bisa membawa implikasi serius untuk sepakbola Indonesia karena menyangkut target di Piala Dunia U-20 tahun depan, dan target-target lain di AFF dan kualifikasi Piala Dunia senior.
Ini bukan persoalan sepele. Seorang pelatih profesional seperti STY pasti punya pertimbangan matang sebelum memutuskan berbicara kepada media. Ia memendam persoalan itu cukup lama sebelum memutuskan untuk mengungkapkannya kepada media.
STY kecewa terhadap beberapa keputusan PSSI, termasuk ketika PSSI memasukkan Indra Sjafri kedalam tim tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan STY. Ketegangan meledak ketika Indra Sjafri dianggap mangkir dalam sebuah sesi.
Indra Sjafri sudah memberikan klarifikasi mengenai insiden itu. Sebagai pelatih profesional Indra paham mengenai profesionalisme dan respek terhadap sesama pelatih, karena itu Indra Sjafri bertanggung jawab terhadap hati nuraninya sendiri. Indra Sjafri yang bisa menjawab apakah dia menghargai profesionalisme STY dan memberinya respek yang memadai.
Pembentukan Satgas Timnas oleh PSSI menambah runyam situasi. Sebagai pelatih profesional STY pantas gerah oleh keputusan ini. Sebagai pelatih profesional STY pasti tidak mau otoritasnya dicampuri oleh pihak lain yang tidak jelas kompetensinya.
Publik bola nasional berharap banyak kepada STY. Setidaknya publik berharap STY bisa mengulang prestasinya ketika membawa Seongnam menjuarai Liga Champion Asia, atau membuat kejutan ketika membawa Korsel menggasak Jerman 2-0 di Piala Dunia Rusia, 2018.
Dengan kredensialnya itu bukan mustahil STY bisa menciptakan kejutan di Piala Dunia tahun depan. Yang dia butuhkan hanyalah kepercayaan dan otoritas penuh untuk membentuk tim.
Kiprah pelatih asing di timnas sebuah negara adalah sesuatu yang lazim, meskipun tidak semuanya membawa prestasi yang hebat. Pelatih asing dibutuhkan kalau pelatih nasional dianggap kurang mumpuni.
Korsel punya pengalaman hebat dengan Guus Hidink yang dengan disiplin tinggi dan otoritas mutlak berhasil merevolusi sepakbola Korea dan membawanya ke tempat terhormat di posisi empat pada Piala Dunia 2002.
Inggris, negara ibu kandung sepakbola, juga mencoba pelatih asing untuk mengubah mental para pemain. Sven Goran Erriksson dan Fabio Capello dicoba dengan hasil yang tidak menggembirakan. Inggris akhirnya kembali ke pelatih produk lokal dan sekarang Gareth Southgate terlihat sudah menemukan jalannya.
Kita sudah punya banyak pengalaman dengan pelatih-pelatih asing. Pada 1970-an kita punya Wiel Coerver yang berhasil meletakkan pondasi sepakbola modern di Indonesia.
Kita pernah punya Opa Alfred Riedl yang memberi prestasi lumayan meskipun tidak pernah juara. Kita pernah mencoba Jacksen Tiago dengan prestasi yang tidak terlalu mengecewakan. Kita juga pernah punya Simon McMenemey dengan prestasi agak medioker.
Kita pernah punya pelatih berkelas seperti Luis Milla, dan sekarang kita punya STY yang punya prestasi cemerlang. Kita butuh STY melakukan gebrakan baru untuk merevolusi mental pemain dan pengurus PSSI sebagaimana STY menyaksikan Guus Hiddink melakukannya terhadap sepakbola Korea Selatan.
Luis Milla pergi membawa kekecewaan karena sikap yang dianggapnya kurang profesional di PSSI. STY juga berpotensi mengalami hal yang sama di tengah jalan.
Taruhannya sangat besar jika STY mudur di tengah jalan. Karena itu PSSI harus membawa STY dan Indra Sjafri duduk bersama menyelesaikan masalah ini. Sebagai pelatih yang sama-sama profesional keduanya harus bisa melepaskan egonya untuk kepentingan yang lebih besar.
Perseteruan STY dan Indra Sjafri ini layaknya drakor (drama korea) yang penuh ketegangan dan kurasan airmata.
Indra Sjafri mengatakan, problemnya dengan STY menyangkut harga diri bangsa. Tentu saja kita apresiasi sikap nasionalisme Indra Sjafri. Tapi, ada baiknya kita sadar diri bahwa kondisi Indonesia sekarang masih rawan dan tidak kondusif untuk melaksanakan program TC karena penanganan pandemi Covid 19 yang tidak konsisten.
Kita tahu bahwa Korea Selatan adalah salah satu negara terbaik di dunia dalam penanganan pandemi ini, dan karena itu wajar pemerintah Korea tidak gampang mengizinkan warganya untuk datang ke negara zona merah seperti Indonesia.
Justru, kalau PSSI salah dalam mengambil keputusan terhadap STY maka harga diri nasional akan menjadi taruhan. Indonesia bisa jadi cemoohan internasional, dan drakor PSSI bisa-bisa berakhir dengan air mata dan penyesalan. (*)
Penulis adalah CEO PS Hizbul Wathan, Liga 2 PSSI