Dilema Besar Seorang Kepala Daerah :Oleh Syafruddin AL
Menjelang waktu zuhur siang tadi, saya berjalan menuju masjid bersama seorang rekan sekomplek asal Bengkulu. Dalam perjalanan, kami berbincang tentang seorang tokoh dari kampungnya yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPD RI. Menariknya, tokoh tersebut menggantikan posisi yang sebelumnya dipegang oleh orang kampungnya juga, yang tinggal satu komplek dengan kami di Kota Bogor. Mantan Ketua DPD RI itu sekarang memiliki sejumlah properti di beberapa sudut kota hujan ini. Termasuk sebagai donatur utama di masjid kami.
Percakapan kami pun berlanjut, membahas rekan sekomplek yang pernah menjabat sebagai pimpinan lembaga negara tersebut.Saya masih ingat, di masa lampau, mantan pejabat ini dulu tinggal mengontrak di komplek kami. Beliau berjalan kaki setiap hari keluar komplek untuk bekerja di sebuah perusahaan elektronik. Saya, yang kala itu sudah memiliki mobil untuk pulang pergi ke Jakarta, melihat perjuangannya dengan rasa hormat. Dia memulai semuanya dari nol.
Setelah mengumpulkan cukup modal, tetangga kami ini membuka usaha elektronik sendiri. Bisnisnya berkembang pesat dengan cabang-cabang di berbagai kota di Indonesia. Setelah mapan secara finansial, ia terjun ke dunia politik, mencoba keberuntungan di panggung DPD RI. Saya ingat betul, pada masa Pemilu 2014, dia sempat meminta doa kepada saya, “AL, doakan saya ya, supaya bisa masuk Senayan,” ucapnya saat proses pemilihan sedang berlangsung. Tak disangka, ia terpilih sebagai anggota DPD RI dan bahkan sempat menjabat sebagai Ketua DPD RI, menggantikan Pak Irman Gusman.
Pada Pemilu 2019, ia mencoba peruntungan di DPR RI melalui jalur partai politik dan sekali lagi terpilih menjadi anggota dewan di Senayan yang lebih ‘berkuku’, yaitu sebagai anggota DPR RI mewakili daerahnya. Namun, di Pemilu tahun ini, keberuntungan tak berpihak padanya, ia tak berhasil kembali ke parlemen.
Meski begitu, dalam perjalanan kami ke masjid tadi, teman saya ini bercerita bahwa rekan kami ini sangat mungkin mencalonkan diri sebagai Gubernur di kampungnya, di Bengkulu. Ia sudah memiliki pengalaman politik yang matang selama sepuluh tahun di parlemen dan memiliki modal finansial yang cukup kuat untuk bertarung di Pilkada.
“Kenapa dia tidak maju?” tanya saya kepada rekan saya yang juga teman dekatnya. Dengan senyum kecil, teman saya ini memberikan jawaban yang membuat saya berpikir panjang, “Kalau dia maju jadi gubernur, mungkin dia akan menang. Tapi untuk mengembalikan modal politik yang besar itu, pada akhirnya, sulit dihindari agar dia tidak jadi maling!”
Pernyataan itu terus terngiang di kepala saya saat selesai sholat. Benar saja, di era politik berbiaya tinggi seperti sekarang, sulit menemukan makan siang gratis. Partai politik, relawan, bahkan pemilih, semuanya seolah telah terjebak dalam sistem yang menuntut “imbalan”. Para pemilih tidak lagi memilih berdasarkan visi dan misi, tetapi seringkali karena “uang rokok” atau “bantuan” lainnya. Itulah sebabnya biaya pemilu melambung tinggi.
Untuk maju sebagai bupati atau walikota saja, calon bisa menghabiskan antara Rp 20 hingga 50 miliar. Apalagi untuk gubernur, biaya yang dibutuhkan bisa di atas Rp 100 miliar.
Sumber dana politik ini pun jarang yang berasal dari kantong pribadi. Banyak yang bergantung pada sumbangan pengusaha atau pihak lain yang tentu mengharapkan imbalan berupa proyek atau konsesi.
Nah, bagaimana mungkin seorang kepala daerah bisa mengembalikan modal yang besar itu dalam masa jabatan lima tahun? Berapa gaji dan tunjangan kinerja yang mereka terima setiap bulan? Jelas, tidak cukup jika mereka tetap berpegang pada prinsip bersih dan tidak melakukan praktek korupsi, kolusi, atau nepotisme.
Kondisi ini melahirkan dilema besar bagi setiap calon kepala daerah. Politik berbiaya tinggi bukan hanya menghambat regenerasi kepemimpinan yang sehat, tetapi juga merusak demokrasi kita. Pemimpin yang dipilih bukan lagi berdasarkan kapabilitas, integritas, atau rekam jejak, melainkan berdasarkan seberapa besar dana yang mereka miliki untuk menggerakkan mesin politik. Alhasil, banyak pemimpin terpilih yang fokus pada cara mengembalikan modal daripada memikirkan kepentingan rakyat.
Jika rekan kami ini menjadi gubernur dalam sistem politik seperti ini, ia akan dihadapkan pada dilema yang sama. Setelah mengeluarkan ratusan miliar untuk kampanye, bagaimana dia bisa mengembalikan modal tersebut? Apakah dirinya akan terjebak dalam lingkaran korupsi yang sudah menjadi rahasia umum di banyak daerah? Jika tidak ada reformasi dalam sistem pembiayaan politik, jawaban realistisnya adalah: ya, dia harus mencuri untuk mengembalikan modal.
Seharusnya, politik tidak berjalan seperti ini. Kita memerlukan sistem yang memberikan ruang bagi siapa saja yang memiliki visi dan kemampuan untuk memimpin tanpa harus mengorbankan integritas mereka. Sayangnya, realitas politik di Indonesia masih jauh dari ideal. Korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menjadi bagian tak terpisahkan dari permainan politik di banyak daerah. Banyak calon pemimpin merasa tidak punya pilihan selain mengikuti arus jika mereka ingin bertahan.
Solusi dari masalah ini harus datang dari perubahan sistem yang mendasar. Biaya politik harus ditekan dengan aturan yang lebih ketat, transparansi harus ditingkatkan, dan sanksi bagi pelaku korupsi harus lebih keras. Partai politik juga perlu memainkan peran lebih besar dalam mendidik dan mendanai calon pemimpin, agar mereka tidak tergantung pada modal pribadi atau sponsor pihak lain. Jika tidak ada perubahan, godaan untuk mencuri akan selalu ada untuk menutupi biaya kampanye yang tinggi.
Pada akhirnya, jika kita tidak memperbaiki sistem ini, politik daerah akan terus menjadi arena yang mahal dan penuh kecurangan. Masyarakat akan terus disuguhkan dengan pemimpin-pemimpin yang lebih memikirkan cara mengembalikan modal politik daripada melayani kepentingan rakyat.
Dan, bila rekan kami tadi menjadi gubernur dalam situasi seperti ini, mungkin ia terpaksa mengikuti jejak yang sama. Sebuah dilema yang menyedihkan, tetapi itulah kenyataan yang harus kita hadapi. Mudah-mudahan kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 27 November nanti, tidak berujung masuk bui. (*/ _penulis adalah wartawan utama/alumni STISIP Imam Bonjol Padang_ )