Dhimam Abror Djuraid:Holokaus di Palestina
Pada sepuluh malam terakhir Ramadhan ada tradisi maleman di masjid-masjid di Indonesia. Orang-orang beriktikaf, melek pada sepertiga malam menunggu turunnya Laylat al Qodar yang lebih baik dari seribu bulan. Pada rakaat terakhr shalat tarawih orang-orang membaca doa qunut. Kali ini bukan qunut biasa yang dibaca, tapi qunut nazilah, doa spesial yang khusus dibaca ketika umat Islam menghadapi ancaman musuh atau musibah yang sangat serius.
Kali ini hampir semua masjid membaca doa qunut. Biasanya hanya masjid-masjid NU yang baca qunut. Sebagian masjid non-NU membaca qunut pada terawih sepuluh malam terakhir. Tapi, pada Ramadhan kali ini semua seolah kompak melupakan perbedaan khilafiyah mengenai qunut. Semua masjid mengumandangkan qunut untuk mendoakan Palestina yang pada masa-masa akhir Ramadhan mendapat gempuran dari Israel.
Entah siapa penasihat militer Israel yang mengusulkan penyerangan terhadap Palestina di masa-masa akhir Ramadhan ini. Dari sisi strategi militer mungkin saja serangan ini punya nilai penting, apalagi bersamaan dengan momen hari besar Yahudi. Bagi bangsa Yahudi Israel penyerangan ini punya nilai strategis untuk mengokohkan solidaritas nasional. Tapi, sebagai PR internasional serangan ini adalah sebuah blunder. Nasib bangsa Palestina yang beberapa tahun belakangan ini nyaris terlupakan, tiba-tiba saja muncul menjadi isu internasional kembali. Bangsa Palestina masih ada, dan mereka masih tetap bertarung untuk merebut-hak-haknya.
Solidaritas dunia Islam internasional pun bangkit lagi. Negara-negara Islam mengecam serangan yang menewaskan ratusan orang ini. Negara-negara Islam mengecam penyerangan tentara Israel ke Masjid Alaqsa yang menjadi kiblat pertama umat Islam. Ratusan keluarga Palestina yang sudah tinggal di pemukiman Syaikh Jarrah, Jerusalem Timur, sebelum negara Israel berdiri, dihujani bom dan dipaksa untuk mengosongkan tempat tinggalnya. Wilayah itu akan dibersihkan oleh Yahudi karena akan menjadi ibukota baru pindahan dari Tel Aviv.
Serangan-serangan ini kontan membangkitkan kembali solidaritas dunia Islam internasional.
Di Indonesia qunut nazilah dikumandangkan serentak dimana-mana. Para jamaah di masjid menggalang dana untuk memberikan bantuan kepada rakyat Palestina. Gerakan solidaritas untuk Palestina yang beberapa waktu terakhir ini agak hilang momentum tiba-tiba bangkit dan bergairah lagi.
Dunia internasional juga mengutuk serangan ini. Israel dituduh sebagai negara apartheid yang sama jahat dengan rezim aparteheid Afrika dan rezim rasis Nazi Jerman.
Selama ini bangsa Yahudi mencitrakan diri sebagai bangsa yang terzalimi oleh rezim Nazi Hitler pada Perang Dunia Kedua 1940-an. Pembunuhan melalui operasi Holokaus oleh Hitler disebut-sebut telah membunuh jutaan bangsa Yahudi di Eropa sampai jutaan.
Holokaus disebut sebagai genosida, pembununuhan terencana terhadap bangsa Yahudi di semua wilayah Eropa yang dikuasai oleh rezim Nazi Jerman. Adolf Hitler sebagai penguasa tertinggi memimpin langsung pembunuhan masal itu. Dari sembilan juta Yahudi yang tinggal di Eropa sebelum Holokaus, sekitar dua pertiganya tewas. Secara khusus, lebih dari satu juta anak Yahudi tewas dalam Holokaus, serta kira-kira dua juta wanita Yahudi dan tiga juta pria Yahudi menjadi korban.
Beberapa pakar berpendapat bahwa definisi Holokaus meliputi pula genosida Nazi terhadap jutaan orang dalam kelompok lain selain Yahudi, di antaranya orang-orang komunis tawanan perang dari Uni Soviet, orang-orang Gipsi, orang-orang homoseks dan lesbian, penganut Saksi Yehova, dan penganut agama lain yang dianggap menyimpang. Jika jumlah korban ini dijumlahkan dengan korban dari kalangan Yahudi maka jumlah totalnya bisa mencapai 11 juta dan bahkan bisa sampai 17 juta.
Hitler memerintah operasi pemusnahan ini ada dasar keyakinan keunggulan ras bangsa Aria Jerman. Yahudi dan bangsa-bangsa lain dari kalangan Gipsi dan homoseks adalah bangsa kelas bawah yang harus dimusnahkan. Pemusnahan melalui pembakaran di ruang gas beracun di kamp konsentrasi Auschwitch dikabarkan memusnahkan lebih dari satu juta orang Yahudi.
Bangsa Yahudi terhindar dari pemusnahan masal setelah tentara Sekutu mengalahkan Jerman. Bangsa Yahudi melakukan eksodus besar-besaran seperti yang pernah dilakukan di masa Nabi Musa Alaihis Salam yang membawa umat Yahudi menyeberangi laut dari kejaran tentara Firaun.
Nabi Musa berhasil menyeberangi laut yang membelah setelah dipukul tongkat Nabi Musa. Pasukan Firaun yang mengejar tidak menyadari bahwa air laut yang surut itu pertanda akan datang tsunami besar. Pasukan pun menyeberang, dan ketika sampai di tengah laut yang menyusut itu tiba-tiba gelombang balik tsunami menerjang dan semua pasukan Fir’aun tergulung oleh gelombang tsunami bersama Firaun yang ikut tenggelam.
Kali ini eksodus dilakukan untuk menghindari kejaran Firaun modern pada diri Hitler. Tidak ada Nabi Musa yang memimpin eksodus, tidak ada tongkat mukjizat, tapi ada gerakan Yahudi interasional Zionis yang mengarahkan eksodus ini ke Palestina, yang diyakini sebagai negeri yang dijanjikan. Atas bantuan pemerintah Inggris melalui Deklarasi Balfour pada 1948, jutaan bangsa Yahudi dari seluruh dunia beremigrasi ke Palestina membentuk negara Israel.
Bangsa Palestina yang sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun menduduki wilayah itu tiba-tiba menjadi orang asing di negerinya sendirinya. Kehadiran orang-rang Yahudi dari berbagai penjuru Eropa ini merebut tanah-tanah bangsa Palestina dan memojokkan bangsa Palestina menjadi bangsa kelas dua yang terjajah di negerinya sendiri. Seorang ibu bercerita bahwa dia dan kakek buyutnya sudah tinggal di kampung Syaikh Jarrah jauh sebelum 1948. Wilayah itu merupakan hadiah Raja Hussein dari Jordania kepada bangsa Palestina. Tapi setelah bangsa Arab kalah dalam Perang Enam Hari pada 1967, wilayah itu dianeksasi oleh Israel sebagai pampasan perang. Sekarang Syaikh Jarrah dibersihkan paksa dengan bom karena Israel akan menjadikannya ibukota baru.
Bangsa Yahudi yang lari sebagai pengungsi karena menghindari kekejaman Hitler, sekarang justru bertindak lebih sadis dan biadab dari Hitler. Yahudi memperlakukan bangsa Palestina sebagai tawanan yang terkepung dalam kamp konsentrasi di tanah airnya sendiri. Kamp konsentrasi terbuka itu menampung sedikitnya dua juta orang di Gaza. Inilah kamp konsentrasi terbesar di era modern sekarang.
Tidak semua orang percaya terhadap kebenaran Holokaus. Mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dengan terang-terangan menyebut Holokaus itu palsu dan tidak pernah ada. Tidak ada bukti sejarah yang menyakinkan bahwa jutaan bangsa Yahudi menjadi korban Holokaus. Holokaus hanyalah rekayasa Zionis internasional untuk mencari simpati dan kemudian menjadi justifikasi untuk menjajah Palestina.
Presiden Turki Recep Tayip Erdogan juga termasuk yang menyangsikan kebenaran Holokaus. Bagi mereka Holokaus hanya mitos yang diciptakan untuk menjustifikasi penjajahan terhadap bangsa Palestina. Erdogan malah terang-terangan menyebut Israel-lah yang melakukan Holokaus terhadap bangsa Palestina.
Bagaimana mungkin bangsa yang pernah menghadapi tragedi kemanusiaan seperti Holokaus bisa melakukan kekejaman yang sama terhadap bangsa lain. Bagaimana mungkin orang Yahudi yang pernah merasakan pahitnya penderitaan akibat politik rasis Nazi melakukan hal yang sama terhadap bangsa Palestina. Itulah pertanyaan yang diajukan oleh almarhum Edward W. Said melalui bukunya ‘’The Question of Palestine’’ (1980). Said menggugah kesadaran dan kewarasan para intelektual Barat yang diam terhadap kesadisan Yahudi di Palestina.
Edward Wadie Said lahir di Jerusalem dari bapak dan ibu berkebangsaan Palestina. Ia beragama Kristen, dan kemudian pindah ke Amerika Serikat dan menjadi intelektual paling terkemuka dalam perjuangan untuk memulihkan hak-hak bangsa Palestina. Sepeninggalan Said belum ada intelektual yang menyamai komitmennya dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina.
Orang-orang yang menggugat Holokaus akan dibully dan dikucilkan secara internasional dan dituduh sebagai anti-semit yang diskriminatif terhadap bangsa Yahudi. Tapi, orang-orang yang diam terhadap perlakuan diskriminatif terhadap bangsa Palestina oleh Yahudi Israel dianggap baik-baik saja. Itulah pola pikir Barat terhadap bangsa Timur yang dipenuhi oleh rasa superioritas bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit berwarna di Timur.
Said mengeksplorasi ideologi itu dalam bukunya Orientalisme (2003), yaitu sebuah cara pandang umum Barat terhadap Timur beradasarkan pada keyakinan keunggulan ras kulit putih terhadap ras lain. Dengan keunggulan itu bangsa Eropa merasa mendapatkan justifikasi untuk menjajah bangsa lain yang berkulit beda. Pandangan Orientalisme berpendapat bahwa kolonialisme dan imperialism yang dilakukan bangsa Eropa di Asia dan Afrika adalah sebuah tugas sejarah bangsa Barat untuk meningkatkan peradaban dunia lain yang kurang beradab.
Penjajahan bukan kejahatan tapi kewajiban yang menjadi tugas bangsa kulit putih, White Man’s Burden, tugas bangsa kulit putih untuk mengajarkan peradaban kepada bangsa kuit berwarna. Pemusnahan Hitler terhadap Yahudi didasarkan pada keyakinan keunggulan ras bangsa Aria atas ras Yahudi. Dan sekarang bangsa Yahudi melakukan hal yang sama terhadap bangsa Palestina atas dasar alasan yang sama.
Amerika dan Inggris hanya diam melihat kebrutalan Israel sekarang. Presiden Biden malah menelepon konco lawasnya Benjamin Netyanahu, perdana menteri Israel, dan memberikan support penuh atas penyerangan yang brutal itu.
Biden yang sudah sering pikun memang tidak bisa diandalkan untuk membela Palestina. Dia cs kental dengan Netyanahu sejak masih senator. Waktu menjadi wapres Obama Biden juga berkali-kali ke Israel mendukung semua kebijakan apartheid terhadap Palestina.
Sekarang Biden mengangkat menteri luar negeri Antony Blinken yang Yahudi. Dibanding dengan Donald Trump yang ultra-nasionalis Joe Biden sama saja, tidak ada beda sama sekali. Biden tidak bakal membatalkan pemindahan kedutaan besar Amerika dari Tel Aviv ke Jerusalem. Ini merupakan perlambang dukungan Amerika paling besar terhadap zionisme Israel.
Tidak ada yang bisa diharapkan dari Joe Biden. Begitu pula tidak banyak yang bisa dilakukan oleh PBB yang selama ini ompong. Keberadaan Organisasi Konferensi Islam (OIC) juga sama saja letoy tak berdaya. OIC malah dipelesetkan menjadi “Oh I See..”
Palestina semakin teraleniasi dan dilupakan. Negara-negara Teluk seperti UEA dan Bahrain sudah bermesraan dengan Israel dengan membuka hubungan diplomatik. Sudan yang selama ini punya basis perjuangan Islam yang kuat juga sudah terbujuk untuk menyambung hubungan diplomatik dengan Israel. Bahkan, Arab Saudi pun sudah gatal tangan untuk berhubungan bisnis dan ekonomi dengan Israel.
Godaan gelontoran triliunan petro-dolar dari Israel membuat ngiler negara mana pun, termasuk Indonesia.
Tapi umat Islam Indonesia tidak bakal tergoda apalagi menyerah, karena ada kepercayaan iman eskatologis yang meyakini bahwa Islam akan menang atas agama apapun di dunia ini.
Bangsa Palestina juga yakin bahwa suatu saat Palestina akan merdeka dan bebas. Pembebas Palestina tidak lain dan tidak bukan kecuali bangsa Indonesia. (*)