Defiyan Cori; Kebijakan HET Elpiji 3kg Bersubsidi Oleh Pemda Justru Memeras Rakyat
SEMANGATNEWS.COM. Mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2021 tentang (Perubahan atas Permen ESDM 26/2009) tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas ada beberapa hal yang menjadi sorotan publik! Terutama, terkait kenaikan harga Elpiji 3 kg diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) bersubsidi di berbagai daerah (yang mutakhir di wilayah Provinsi DI Yogyakarta).
Sebab, jika kenaikan HET Elpiji 3kg ini tidak mengindahkan ketentuan batas margin (tambahan persentase) serta ketentuan lainnya secara geografis penyediaannya bisa menimbulkan kerusakan moral (moral hazard) dan menjadi preseden buruk bagi perekonomian masyarakat dan daerah, sebut Defiyan Cori pakar Ekonomi Konstitusi. Apalagi, Elpiji 3kg adalah barang bersubsidi yang harus disalurkan ke kelompok masyarakat penerima subsidi sesuai penugasan pemerintah, tegasnya kepada media ini (SEMANGATNEWS.com), Rabu 11/11.24.
Terdapat beberapa ketentuan dasar dan krusial pada Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2009 yang diubah salah satunya, yaitu Pasal 18 berkaitan dengan Pendistribusian LPG Tertentu. Pendistribusian LPG Tertentu yang sebelumnya untuk rumah tangga dan usaha mikro diubah dan diberikan juga kepada nelayan sasaran dan petani sasaran sebagaimana Pasal 18 ayat (2). Kemudian dalam penugasan Penyediaan dan Pendistribusian LPG Tertentu yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga LPG yang dimana sebelumnya hanya dilakukan dalam bentuk seleksi diubah dapat dilakukan melalui penunjukan langsung dan/atau seleksi sebagaimana Pasal 18 ayat (4). Dan pada Pasal 18 ayat (6) juga mengatur Penugasan Penyediaan dan Pendistribusian LPG Tertentu dalam 1 (satu) Wilayah Distribusi LPG Tertentu dapat diberikan paling banyak kepada 2 (dua) Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga LPG.
Artinya, akan terbuka peluang “kongkalikong” antara pengusaha/agen penyalur elpiji 3kg bersubsidi dalam menetapkan ketentuan HET dengan harga penebusan/pembayaran HET dasar sesuai ketentuan pemerintah. Ketentuan HET dasar inilah yang dijalankan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina melalui kewenangan sub holding Pertamina Patra Niaga/PPN (C&T) berdasar penugasan sebagai kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation/PSO). Misalnya, jika harga penebusan/pembayaran HET dasar ke Pertamina adalah Rp11.584 per 3kg elpiji, maka kenaikan harga menjadi Rp18.000 telah mengambil batas keuntungan (profit margin) sejumlah Rp6.416 atau sebesar 55,4%.
Oleh karena itu, kenaikan HET Pemda melebihi HET nasional tersebut jelas bukan sebuah kebijakan yang berlandaskan pada semangat patriotisme yang menjadi prinsip Presiden RI Prabowo Subianto dalam hal bela negara dan bela rakyat kecil atau yang tidak mampu! Kebijakan menaikkan harga elpiji 3kg bersubsidi dengan tanpa batasan maksimal, misalnya lebih dari 60% (seperti kasus ketentuan Pemda DIY) atas HET justru semakin memeras kantong masyarakat atau konsumen tidak mampu. Disamping itu, yang perlu dipertanyakan adalah kemana alokasi selisih harga jual atas HET yang diberlakukan kepada konsumen akhir atau Rumah Tangga tersebut? Bukankah pada posisi tersebut masyarakat penerima subsidilah yang memberikan bagian “subsidinya” dalam bentuk kenaikan HET Pemda kepada pemerintah dan pengusaha/agen penyalur elpiji 3kg?.**