Cerita Soetomo yang Hampir di-DO dari STOVIA karena Budi Utomo

by -
Pahlawan Kebangkitan Nasional Sutomo

SEMANGAT JAKARTA – Berorganisasi bukan merupakan hal yang lumrah bagi kaum pribumi pada masa penjajahan Belanda. Berdirinya organisasi Budi Utomo (Boedi Oetomo) bisa dibilang merupakan terobosan kala itu.

Budi Utomo diinisiasi oleh pelajar di School Tot Opleiding Van Inlands Artsen (STOVIA). Ada sembilan pelajar yang mendirikan Budi Utomo dan kemudian diketuai oleh Soetomo.

Budi Utomo berdiri pada 20 Mei 1908 pukul 09.00 WIB di sebuah ruang kelas di STOVIA. Hingga kini ruang kelas saksi bisu berdirinya Budi Utomo masih kokoh di bekas kampus STOVIA, yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional, Jl Abdulrahman Saleh, Jakarta Pusat.

Para pemuda visioner itu di antaranya Soetomo, Soelaeman, Goenawan Mangoenkoesoemo, Angka Prodjosoedirdjo, M Suwarno, Muhammad Saleh, Soeradji, dan Goembrek. Mereka adalah pemuda-pemuda beruntung yang mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di STOVIA.

Pemerintahan Belanda waktu itu menerapkan politik etis. Sehingga mereka memilih anak pribumi yang pandai dari kalangan priyayi baru untuk disekolahkan dan nantinya menjadi tenaga medis.

“Kenapa sih kok orang Belanda ingin orang Indonesia berpengetahuan? Itu karena orang Belanda tak berhasil membawa orang Eropa ke Indonesia untuk bekerja. Makanya orang Indonesia dididik, akhirnya banyak pengetahuan,” kata sejarawan yang juga dokter, Dr Rushdy Hoesein, saat berbincang dengan detikcom, Jumat (19/5/2017).

Lulusan STOVIA waktu itu pun belum bisa disebut dokter umum karena masih di bawah pengawasan dokter Belanda. Tetapi sedikit-banyak pendidikan yang diberikan, meski terbatas di kaum priyayi, juga mendorong para pelajar STOVIA membentuk organisasi.

Berdirinya Budi Utomo terinspirasi dari dr Wahidin Soedirohoesodo, yang mengkampanyekan pentingnya pendidikan merata. Soetomo dan kawan-kawan akhirnya membentuk organisasi yang misi utamanya adalah memajukan pendidikan itu.

Tetapi mendirikan organisasi bukanlah hal yang diinginkan Belanda dalam politik etis mereka. Pihak sekolah pun khawatir dan sempat akan mengeluarkan Soetomo dari sekolah.

“Sekali peristiwa saya hampir-hampir dikeluarkan dari sekolah dokter itu, oleh karena kedudukan saya sebagai ketua organisasi kami. Sementara guru menuduh saya hendak berusaha melawan pemerintah. Menjawab tuduhan itu, atas usulan Goenawan, teman-teman kami pun minta agar mereka juga dikeluarkan jika saya dikeluarkan,” kata Soetomo seperti dalam Nagazumi (1989) seperti dikutip dari Komandoko (2008).

Kala itu Direktur STOVIA, DR HF Roll, bertanya kepada rekan-rekan sesama guru apakah ada yang pernah bersikap radikal seperti Soetomo saat muda. Agaknya pertanyaan sang direktur itu menguntungkan Soetomo sehingga kegiatan dia dan kawan-kawannya dibiarkan.

“Di antara tuan-tuan jang hadir tidak ada yang ‘semerah’ Soetomo pada waktu usia 18 tahun?” tanya Roll seperti terpajang di sudut dinding gedung STOVIA saat ini.

Rekonstruksi rapat para guru yang membahas drop out atas Soetomo kini diabadikan dalam patung di Museum Kebangkitan Nasional. Roll digambarkan sedang berdiri memaparkan argumentasi.

‘Merah’ yang dimaksud mungkin searti dengan kata ‘radikal’ atau semacamnya. Tapi ‘radikal’ pada waktu itu bukan semata merujuk pada pengumpulan massa untuk menentang pemerintahan. Pola gerakan Budi Utomo justru berpikiran lebih luas dengan misi membuka akses pendidikan untuk masyarakat.

Meski Soetomo mendapat ancaman DO, organisasi Budi Utomo layak diperjuangkan oleh Soetomo dan kawan-kawan. Organisasi tersebut akhirnya berkembang pesat dengan ratusan anggota hanya dalam waktu 2 bulan.

“Organisasi Budi Utomo aktif di dalam gerakan-gerakan penduduk dan akhirannya politik,” kata Rushdy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.