Sesudut jalan Halat diambil dari goegle
Catatan Zulnadi: Medan Dunia Hitam Ku Dulu
Tanpa rencana, inilah perjalanan yang melelahkan tapi penuh kenangan dan nostalgia.
Medan…,sejak tahun 1979 lalu saya tinggalkan, kini sepertinya dipaksa saya menapaki kembali bukit barisan ini dengan jalan darat bawa mobil sendiri. Saya meninggalkan kampung halaman merantau tahun 1970 begitu tamat SD. SMP saya di Rantau, Kuala Simpang, Aceh Timur, sedangkan STM di Pangkalan Berandan, Sumatera Barat.
Saya dan keluarga plus sopir berangkat, Sabtu tanggal 4 Desember 2021 persis bersamaan dengan akad nikah dan pesta anak Khairul Jasmi ,Seruni di Hotel Truntum, Padang.
Inilah keberangkatan yang tidak direncanakan jauh jauh hari. Pasalnya anak saya nomor 3 Rahmiza Hanum yang tamat D 3 Akutansi Unand melamar di Kemenhan. Untuk tes kedua dengan sejumlah materi itu harus datang ke Markas Lantamal 1 Belawan, yang ujiannya mulai tanggal 6- 10 Desember 2021.
Kalau saja ujian satu atau dua hari, sudah ada niat naik pesawat saja, tapi karena beberapa hari dengan lokus Belawan dan Medan, maka kami putuskan jalan darat.
Sambil bernostalgia.Itulah yang memantik tulisan saya merewind peristiwa 43 tahun lalu yang pernah saya alami di kota Medan ini.
Kami bertolak dari rumah ( Padang) pukul 10 pagi lewat 15 menit. Dalam mobil kami hanya ada 4 orang. Saya, istri dan anak dan seorang sopir.
Adapun jalur yang kami tempuh adalah lewat Pasaman Barat, by pass di Malampah menuju Lubuk Sikaping, terus Panti, Panyabungan, Madina, Kota Nopan, Padang Sidempuan. Tiba di Sidempuan ini, kami lewat Gunung Tua, Siporok dan Perapat, Danau Toba.(Versi kondisi jalan di Sumbar dan Sumut, Insha Allah saya tulis terpisah).
Kota Medan, tepatnya di jalan Halat, Gang Makmur, sepertinya mengingatkan saya bahwa disitulah saya memulai pengangguran begitu tamat STM bagian Mesin di Pangkalan Berandan. Sedangkan SMP saya di Rantau, Kuala Simpang, Aceh Timur.
Dengan 4 ijazah yang saya punya sekarang berasal dari 3 Provinsi. SD dan S1 di Sumatera Barat, SMP di DI Nangroe Aceh dan STM di Sumut.
Hidup di tahun 70-an di Medan memang keras. Meskipun saya tinggal bersama Saudara yang ketika itu bekerja di Surat Kabar namanya Mercusuar, namun saya boleh dikatakan numpang tidur saja. Saudara saya itu bernama Bapak Zakaria Yamin yang kemudian pindah ke Padang sebagai Redaktur di Semangat.
Selama di Medan ( 77-79), nyaris semua pekerjaan saya lakoni. Dari tukang becak , tukang parkir dan buruh bangunan adalah hal biasa. Terkadang diselingi dengan pekerjaan malam alias mencokel rumah tinggal dan kios rokok.
Operasi kami antara jalan Halat, Amaliun dan sampai dekat kuburan.
Belum lagi bila ada pertandingan bola di stadion Teladan. Agenda tahunan Marah Halim Cup di stadion Teladan adalah lahan empuk kami untuk menyasar warga bermata sipit. Kami biasanya berdua atau bertiga membuat area parkir sepeda motor.
Orang Tionghoa itu kami paksa parkir dan sekalian merampas apa yang ada di tangannya. Cincin, jam tangan, dompet adalah sasaran kami. Soal dia mau terus parkir atau tidak setelah dirampas mana kami pedulikan. Sebab, begitu mendapat sejumlah barang kamipun menghilang.
Itulah masa kelam saya 43 tahun lalu yang hingga sekarang masih berbekas dan sering saya ceritakan sama anak anak.
Pengalaman yang teramat pahit adalah, ketika kawan mengajak operasi malam. Malam itu hari hujan, saya sebetulnya malas, tapi di rayu terus. Maka berjalan kami dengan sasaran rumah yang sedang dibangun yang rumah lamanya masih berdiri banyak dimakan rayap dan berlubang.
Dari luar kami melihat ada setumpuk kain yang belum di jahit. Maka kami bertiga berupaya mencari jalan untuk masuk atau menggaet kain tersebut. Kebetulan saya pegang obeng dan mencongkel dekat pintu. Apa yang terjadi, obeng saya terpelanting.
Rupanya tercongkel arus listrik. Badan saya gemetar. Tanpa saya beri tahu teman yang sama operasi saya langsung pulang.
Dalam perjalan di tengah hujan yang terbayang adalah kalau saya mati saat itu. Betapa keluarga saya menanggung malu. Mati karena mencuri. Saat itu juga saya Istighfar. Allah masih melindungi saya.
Episod lainnya adalah ketika pagi pagi, setelah semalaman begadang, kami berdiri di pinggir jalan Halat. Ada ada saja melintas anak kecil dengan sepeda barunya, seketika itu muncul niat dengan pura pura minjam sepeda untuk beli rokok. Tak tahunya sepeda itu kami lego di dekat stadion Teladan, yang disitu memang tempatnya banyak penadah.
Jika sekarang saya tahu siapa orangnya, mau saya ganti sepedanya dan minta maaf. Dalam hal saya merampas sepeda anak di Jalan Halat ini rupanya berbalas kepada anak saya yang juga sempat dirampas sepedanya oleh remaja nakal di tempat saya tinggal. Untung saja cepat ketahuan sama pamannya, sehingga sepedanya tak jadi di lego.**