Catatan menarik atas kegelisaan seorang Ihlam Bintang terhadap perkembangan dunia digital dalam memasuki era revolusi industri 4.0 yang merontokkan media media berbasis cetak, mengubah segala sendi kehidupan kita. Di era serba cepat ini pula informasi berubah detik per detik, bak meteor. Tulisan ini dia persembahkan untuk publik Indonesia khususnya para penggiat media daring, sempena Hari Pers Nasional 2020 yang kali ini dipusatkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
PENDIRI media on line berita politik Republik Merdeka On Line ( RMOL), Teguh Santosa, mengundang saya. Ia mewanti- wanti jauh hari supaya hadir dalam acara deklarasi pembentukan wadah berhimpun media-media on line, atau media siber. Nama wadahnya : Jaringan Media Siber Indonesia.
Teguh Santosa wartawan muda. Selalu gelisah — syarat mutlak yang memang harus dimiliki oleh seorang wartawan. Yang lebih tertarik mencari dan meneliti sesuatu di balik sebuah peristiwa. Mengulik latar belakang sebuah fakta. Selalu bergelut dengan gagasan dan pemikiran baru. Dan, dia juga pantang menyerah untuk mewujudkan gagasannya. Begitu bacaan saya tentang dia sejak mengenalnya beberapa tahun lalu. Itu sebabnya saya menarik dia memperkuat Dewan Kehormatan PWI Pusat yang saya ketuai — meski dari segi usia dia belum cukup. Tapi karena pertimbangan soal “ kegelisahan” itu, urusan batas umur saya turunkan derajatnya menjadi urusan tehnis. Seperti halnya ketika saya lebih memilih kriteria kompetensi daripada lihat ijazah staf yang saya rekrut di kantor. Sejak dulu.
Teguh dulu wartawan group Rakyat Merdeka milik wartawan Margiono, mantan Ketua Umum PWI Pusat. Teguh sendiri pun pernah menjadi Ketua Bidang Luar Negeri di PWI Pusat masa kepemimpinan Margiono. Di group Rakyat Merdeka, Teguh diserahi memimpin Rakyat Merdeka On Line. Tahun lalu portal itu ditutup. Teguh lalu melahirkan Republik Merdeka On Line. Akronimnya sama: RMOL. Banyak lagi kesamaannya yang lain, hingga 99 %. Tetap portal berita politik, desain logo dan warna sama, rubrikasi, dan tentu saja semangatnya.
JMSI pun bukan barang baru bagi Teguh. Rintisannya terdahulu SMSI — Serikat Media Siber Indonesia. Setelah lumayan dikenal, ia pun memilih mengundurkan diri sebagai ketua umum. Saya tidak tanya sebabnya, tetapi saya tahu persis duduk perkaranya. Dia tampaknya tak cocok dengan iklim di situ.
Kembali ke JMSI. Teguh mengundang saya menghadiri Deklarasi JMSI pada hari Sabtu (8/2) pukul 4 sore di Hotel Aria Barito, Banjarmasin. Waktu hadiri acara itu saya mengajak Rosiana Silalahi, Pemred Kompas TV yang juga anggota DK Pusat serta wartawan dan sastrawan senior Khairul Jasmi, Pemred Harian Singgalang Padang. Ada juga Sasongko Tedjo, Sekretaris DK PWI Pusat. Ada Walikota Banjarmasin Ibnu Sina, dan Prof Hendri Subiakto, SH, MA dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bersama ketiga pejabat itu saya didaulat memberi sambutan.
Begini sambutan saya. Sebagai wartawan, saya belum pernah merasakan kenikmatan berkarya senikmat di era digital ( kemajuan tehnologi informasi) sekarang. Tehnologi telah menyediakan kesempatan luas dengan perumpamaan halaman gratis seluas samudera. Dengan hanya satu gadget kita bisa mengerjakan sendiri pekerjaan yang di zaman dulu harus puluhan orang ambil bagian. Saya mengawali karir sebagai wartawan surat kabar harian. Untuk menuliskan gagasan dan penyebarannya harus melalui banyak birokrasi yang melibatkan puluhan orang dengan puluhan peralatan hingga tulisan sampai ke pembaca. Semua makan waktu.
Menulis kini tidak perlu itu lagi. Nitizek tampaknya melangkah lebih cepat dari wartawan. Beberapa berita besar lahir daei tangan nitizen. Meskipun, mereka kebanyakan masih ngawur. Ternasuk terpeleset menyebar hoax.
Pemikiran dan gagasan yang mau kita bagi kepada khalayak, ditulis detik ini detik itu juga tersaji di media sosial. Saya mengambil contoh laman Facebook, tempat saya menulis belasan artikel dengan beragam topik. Sejak benerapa tahun terakhir. Lewat gadget bebas menulis 24 jam di mana saja dan kapan saja. Sangat efektif. Ada banyak artikel saya tulis di FB yang diangkat oleh media online sebagai bahan beritanya.
Untuk diketahui kasus pembegalan simcard dan rekening bank yang saya alami tempo hari, saya tulis pertama kali di laman pribadi saya di FB. Kisah itu kemudian ditake over oleh media-media mainstream dan sekejap setelah itu merebak menjadi isu Nasional. Kita semua sudah tahu ujung kisah ini. Jadi, sebenarnya, dalam konteks kewartawanan kita harus berterima kasih pada penyedia “halaman seluas samudera itu” seperti FB, Yahoo, Google dan sebangsanya yang memfasilitasi pemikiran- pemikiran, gagasan-gagasan kita menyebar ke seluruh dunia.
Saya melanjutkan sambutan saya. Masalahnya, media mainstream, rumah- rumah kita yang puluhan tahun kita didiami luluhlantak dibuatnya. Bukan soal rumah itu betul. Tetapi terutama aktifitas ekonomi media-media kita turut menguap. Semakin hari, iklan yang menjadi sumber pendapatan utama media dan nafkah kita para wartawan menghadapi suasana sakratul maut. Sudah sepuluh tahun terakhir kita menghadapi keadaan ini, belum juga ketemu solusinya. Kita mulai mengutuk penyedia halaman seluas samudera secara gratis itu sebagai bandit bertangan dingin. Tidak berperi kemanusiaan. Kita baru ngeh, halaman demi halaman kita isi di lamannya, tetapi yang menikmati keuntungannya adalah mereka.
Presiden Janji Buat Regulasi Baru
Presiden RI Jokowi telah menunjukkan keprihatinannya. Dalam pidato saat memeriahkan rangkaian acara Hari Pers Nasional Sabtu (8/2) pagi di Banjar Baru, Banjarmasin, Kalsel, Jokowi menjanjikan regulasi baru di bidang digital. Lewat regulasi baru itu diharapkan pencipta dan penyedia layanan digital bersedia membagi penghasilan secara proporsional kepada insan media pengisi konten di Tanah Air.
Pernyataan Jokowi ini ditanggapi insan pers bagai sebuah oase di tengah padang pasir. Meskipun kita tahu itu tak mudah. Pasti akan terjadi pertempuran hebat dalam perundingan nanti, biarpun regulasi itu memproteksi insan pers. Seorang bertanya, saya menjawab pessimistis. Realistis saja. Lawan kita kapitalis. Mereka akan menunjukkan arogansi kekuasaannya. Mereka akan berdalih riset puluhan tahun yang mereka lakukan untuk menemukan tehnologi menelan ongkos tidak murah. Tidak cuma itu, mereka pasti mengatakan itu adalah hasil pergulatan pemikiran dan gagasan kreatif mereka. Tidak ada kompromi, saya membayangkan mereka akan seperti itu. Gagasan harus dilawan dengan gagasan. Silahkan Anda ciptakan juga gagasan melawan kami. Kalahkan kami.
Kepada deklarator JMSI dan juga kepada pengurus semua wadah berhimpun media – media siber ini di Tanah Air, saya sarankan supaya mereka lebih baik bergelut dengan gagasan. Melawan mereka tidak cukup adu banyak jumlah anggota yang bernasib sama. Ratapan tidak akan didengar, rintihan juga. Ini soal ekonomi dunia. Ini Kapitalisme. Sama kejam dengan Imprerialisme. Tidak punya kamus belas kasihan. Sampai pun darah dan sumsum Anda kering.
Kiat Youtuber
Kita sendiri juga harus sadar. Jangan mengira mudah mendirikan media siber berbanding lurus dengan kemudahan para penemu itu mengeruk keuntungan. Salah kita, baru dua hari bikin portal langsung mau sukses seperti Jack Ma, Mark Zukerberg, dan kalau di sini Nadiem Makariem, Chairul Tanjung, Hary Tanoe.
Impian sederhana saja dulu. Pelajari kiat Youtuber seperti Halilintar Family, Raffi Ahmad. Masih “kecil-kecilan” dengan modal kreativitas, bisa mengantongi 5-10 miltar perbulan. Jokowi juga pasti lebih suka yang ini. Memasukkan pajak bagi negara.
Begitu pun selamat buat JMSI, selamat buat Bung Teguh.
(Penulis adalah Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat)