Kini, Makin Banyak Masyarakat Mempelajari Batik dan Tekstil Ekoprin Sebagai Kekayaan Budaya Bernilai Ekonomi Tinggi
Semangatnews.com Padangpanjang. Diluar seni batik cetak dan batik tulis yang merupakan salah satu warisan dunia versi UNESCO dan cuma ada di Indonesia, kini Ekoprin mulai merambah dunia tekstil di tanah air dan bukan hanya itu masyarakat pun kini mulai ketagihan mempelajari dan mendalami proses pembuatan tekstil ekoprin yang termyata cukup mudah dilakukan sepanjang ada kemauan untuk mempelajarinya.
Dari beberapa catatan yang dihimpun Semangatnews.com di sejumlah tempat seniman/pengrajin batik dan ekoprin yang kini mulai berkembang pesat di Canting Buana Padang panjang setidaknya setiap hari terlebih di hari-hari libur minat dan animo masyarakat mempelajari batik dan ekoprin cukup tinggi.
Menurut Widdi Yanti (40 th), pemilik “Canting Buana” kreatif batik yang juga dosen seni kriya ISI (Institut Seni Indonesia) Padangpanjang saat ditemui Semangantanews.com di jalan Bangdes II RT X ,69 Silaiang Bawah, Padangpanjang, Sumatera Barat, menyebutkan, animo masyarakat untuk mempelajari seni batik dan ekoprin saat ini cukup tinggi.
Apalagi, ujar Widdi Yanti seniman batik nasional yang juga aksesor batik Nasional dan penggagas diwujudkanya ekoprin di Sumbar, menyebutkan, bila diamati secara sepintas ekoprin layaknya seperti batik biasa bernilai seni tinggi.
Padahal ekoprin berbeda jauh dengan batik, baik proses pengerjaannya mau pun bahan-bahan yang digunakan.
Setiap hari bahkan di hari-hari libur Canting Buana dikunjungi puluhan masyarakat dari kalangan pelajar, mahasiswa, ibu-ibu rumah tangga, kalangan Dharma Wanita, pejabat publik dan lainnya datang ke sanggarnya untuk melihat, mengamati bahkan mempelajari pembuatan batik dan ekoprin sebagai kekayaan budaya bernilai ekonomi tinggi.
Dijelaskan, untuk proses pengerjaan ekoprin yang memaanfaatkan bagian dari tumbuh-tumbuhan alami non kimiawi tidak terlalu sulit. Artinya cukup dengan daun daun berupa daun jati daun si kaduduak yang banyak dijumpai di hutan-hutan atau di sekitar tempat tinggal kita yang dapat dijadikan motif bernilai seni dan estetika tinggi. Sementara pola bahan alami dan ramah lingkungan dengan media kulit, kertas, keramik dan kayu.
Teknik membuat motif kain dari tumbuh-tumbuhan diantaranya seperti bunga, daun dan akar yang diletakkan di atas kain untuk warna dasar yang menggunakan pewarna alam seperti ait rebusan jengkol, kulit nangka atau kulit manggis, ujar Widdi Yanti lagi.
Irine Indahfi (26 th) yang sengaja datang dari Bengkulu bersama suaminya Herwandi Iwan, untuk memperlajari batik dan Ekoprin di Canting Buana, mengaku cukup puas dengan hasil yang dicapainya meski pun tidak memakan waktu lama. Irine bahkan belajar proses pembuatan desain, proses canting hingga pencelupan yang hasilnya luar biasa, ujar Irine reesnyum.
Sementara pemilik sanggar batik Minang berlokasi di Baso Agam, Maryeni (51 th), menyebutkan, ia tertarik memperkenalkan kekayaan ragam hias Minangkabau dengan bentuk dan stylenya yang indah dengan mengadopsi keragaman bentuk bersumber dari alam terutama tumbuhan di alam semesta ini kemudian kaya dengan filosfis dan makna yang ada di dalamnya kepada publik yang direfresentasikan dalam bentuk batik tulis bernilai estetis.
Bahkan Sekda provinsi Sumatera Barat, Drs. Alwis, satu diantara banyak pejabat publik yang ada di Sumatera Barat sangat mengagumi motif-motif batik yang berangkat dari ragam hias Minangkabau, sekda pun juga berkesempatan beberapa waktu lalu mengoleksi batik tulis karya Maryeni ini.
Sebagai salah seorang insan seni, saya berkewajiban menyebar luaskan informasi tentang ragam hias Minangkabau yang kini minim apresiasi di kalangan masyarakat, apalagi kalangan anak muda di era milenial ini dalam bentuk karya batik tulis yang mengadopsi ragam hias Minangkabau sebagai bagian dari lokal genius yang ada di daerah kita, tutur Maryeni. (SS/FR/YSM).