SEMANGATNEWS.COM – Lahirnya SSRI Negeri Padang (SMSR/SMKN4) Padang di Sumatera Barat 25 September 1965 bermula dari sanggar bernama Kinantan yang beranggotakan diantaranya; A. Gani Lubis, Hasnul Kabri, Amir Syarif, AbuYazid, Makmur Rasyad, Hasniah, Faisal Adnani, Syakban dan Hasan Basri DT. Tumbijo, kesemuanya putra Sumatera Barat yang merupakan alumni ASRI Yogyakarta. Nama “Kinantan” kemudian menjadi simbol/lambang SSRI Negeri Padang bahkan hingga kini.
Menyimak sejarah panjang kehadiran SSRI Negeri Padang tidak terlepas pada latar belakang kehadiran seni lukis sebagai bagian seni rupa di Sumatera Barat terutama era kemerdekaan RI yang terus berkibar di tanah air saat itu. Dalam catatan kita, sebelum era kemerdekaan keberadaan seni lukis Sumatera Barat yang saat itu bernama Sumatera Tengah ditandai kehadiran pelukis Wakidi dengan ratusan pengikutnya. Kemudian juga muncul kumpulan seniman bernama SEMI (Seniman Muda Indonesia) di Bukittinggi tahun 1950 an, sebagaimana dipaparkan pendidik senior dan sekum alumni SSRI/SMSR/SMKN 4 Padang se Indonesia, Muharyadi, di kampus SMKN 4 Cangkeh, Padang baru-baru ini.
Disebutkan, pertimbangan lain dari pemerintah RI, selain SSRI Negeri Yogyakarta yang lebih awal berdiri (1963), maka diluar Jawa seperti SSRI Negeri Padang tidak lain merupakan rancangan perluasan pendidikan berbasis kebudayaan berlokasi di Padang mewakili pulau Sumatera. Menurut Kusnadi ; meskipun belum cukup usia Sumatera Barat, selain Sumatera Utara, Salatiga, Malang ternyata memiliki bibit-bibit potensial cukup kuat dalam seni rupanya. Sementara Surabaya di tahun 1960 acuh tak acuh soal perlunya mendirikan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI).
Karena itu tidaklah mengherankan jika Sumatera Barat saat itu paling siap untuk mendirikan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI). Setelah SSRI Negeri Padang berdiri (1965) dua tahun kemudian muncul SSRI Negeri Denpasar (1967) yang berarti dalam 4 (empat) tahun Pemerintah Republik Indonesia telah mendirikan 3 (tiga) SSRI Negeri di Indonesia. Berdirinya ketiga sekolah ini sejalan niat Pemerintah RI untuk memajukan kebudayaan Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 32 UUD 1945. Karena karakteristiknya ke tiga SSRI di Indonesia (Yogyakarta, Padang dan Denpasar) dianggap mewakili Indonesia dimana Yogyakarta mewakili pulau Jawa, Padang mewakili Sumatera dan Denpasar mewakili Indonesia bagian timur saat itu.
Dalam proses pembelajaran di era tahun 1965 an ke atas, SSRI Negeri Padang tidaklah berjalan mulus sebagaimana lazimnya sekolah yang baru didirikan saat itu dengan berbagai problematikanya. Di tengah-tengah tingginya animo masyarakat menyekolahkan putra-putrinya ke SSRI Negeri Padang, ternyata keterbatasan fasilitas berupa lokal belajar menjadi persoalan tersendiri, jelas Muharyadi memaparkan sejarah berdirinya SSRI (SMSR/SMKN4) Padang.
Sebagai solusi sementara maka untuk kantor administrasi sekolah mendapat tempat sementara di kantor Inspeksi Kebudayaan Propinsi Sumatera Barat, Jalan Hiligoo Nomor 56 Padang. Untuk ruang belajar SSRI mendapat pinjaman satu ruang belajar dari SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Negeri 1 Padang yang memberi izin kepada SSRI belajar siang hingga sore hari. Hal ini menjadi komitmen pihak penyelenggara dan panitia berdirinya SSRI dengan Burhanuddin selaku kepala SPG Negeri 1 Padang saat itu.
Lebih kurang 2 tahun lamanya di SPG 1 Padang dengan segala daya dan upaya pihak panitia perintis pembangunan SSRI Negeri Padang, maka guna mengatasi kesulitan dalam pengadaan lokal belajar berkat bantuan Panglima Daerah Militer (Pangdam) III/17 Agustus saat itu tergerak hatinya untuk meminjamkan bekas gedung Heng Beng milik cina yang terletak di Jalan Kelenteng Nomor 319 Padang lengkap dengan mobiler usang peninggalan Heng Beng. Gedung baru ditempati SSRI Padang ini bertingkat 2 (dua), tingkat atas (lantai 2) ditempati SSRI dan lantai 1 (satu) ditempati Sekolah Teknologi Menengah Atas (SMTA) yang berada di bawah naungan Departemen Perindustrian.
Tetapi ternyata mobiler-mobiler yang ada rupanya tidak semua dapat digunakan karena banyak yang telah rusak. Dari kondisi demikian, panitia pembangunan SSRI Negeri Padang bekerjasama dengan orang tua murid melalui Persatuan Orang tua Murid (POM) tahun 1967 mulai berangsur-angsur membangun dengan membuat sejumlah kursi dan meja belajar untuk kantor dan tata usaha, diantaranya 60 kursi dan meja belajar termasuk beberapa unit kursi dan meja Tata Usaha serta sketsel pembatas ruang ditambah 6 sepeda guna transportasi guru-guru dan kesemuanya merupakan inventaris sekolah, termasuk pengadaan listrik dan telepon kebutuhan utama sekolah.
Bantuan PELITA dan Perkembangan serta Aktivitas SSRI Negeri Padang
Dari catatan yang ada, tahun anggaran 1970/1971, atas perhatian Sampurno SH selaku Direktur Pendidikan Kesenian Departemen P dan K RI, Jakarta saat itu, SSRI Negeri Padang mendapat bantuan PELITA (Pembangunan Lima Tahun) dengan keluarnya DIP (Daftar Isian Proyek) tahun anggaran 1970/1971. Adanya bantuan PELITA, pemerintah Propinsi Sumatera Barat lebih khusus lagi Pemda Padang dan SSRI bisa bernafas lega, karena telah memiliki fasilitas sesuai kebutuhan sekolah diantaranya mobiler untuk belajar baik pelajaran umum maupun praktek ditambah lagi meja belajar siswa, standar mematung, standar melukis serta beberapa kebutuhan yang dianggap perlu oleh SSRI Negeri Padang. Dengan bantuan PELITA untuk SSRI Negeri Padang, perhatian masyarakat semakin tinggi terhadap sekolah yang cuma ada satu di Sumatera dengan jumlah siswa saat bantuan PELITA bergulir mencapai 251 orang dan jumlah ini cenderung meningkat setiap tahunnya.
Tahun 1971/1972 SSRI Negeri Padang memperoleh lagi tambahan PELITA berupa rehabilitasi gedung yang selama ini ditempati siswa, guru dan karyawan. Hal ini untuk mengatasi kekurangan ruangan yang selama ini dirasakan. Namun dengan adanya rehabilitasi ini selain bisa mengatasi kekurangan ruang belajar, ruang perkantoran, ruang majelis guru, ruang kepala kepala sekolah, ruang dokumentasi, ruang gudang tempat bahan dan alat belajar, ruang praktek siswa, ruang kafetaria juga didukung sejumlah ruangan tempat memajang karya yang selama ini serba terbatas.
Tahun pelajaran 1973/1974 SSRI Negeri Padang membuka 5 (lima) jurusan ; (1) Seni Lukis, (2). Seni Patung, (3). Seni Kerajinan, (4) Publistik dan (5). Dekorasi dengan lama belajar 3 tahun. Dengan keluarnya SK Menteri P dan K RI No : 006/0/1974 tanggal 5 Januari 1974, maka SSRI lebih menekankan pendidikan dan pengajaran yang ditujukan untuk keahlian bidang seni rupa tingkat menengah, diantaranya lulusannya direkrut menjadi guru kesenian, PNS di SLTP/SLTA, sebagian melanjutkan pendidikan tinggi seni rupa seperti ke IKIP Padang, ITB Bandung dan ASRI (sekarang ISI) Yogyakarta. Seiring SK Menteri P dan K mata pelajaran SSRI Negeri Padang terbagi dalam 3 (tiga) kelompok, yakni ;
- Kelompok mata pelajaran umum berisikan 11 (sebelas) mata pelajaran terdiri ; (1). Pendidikan Agama, (2) Pendidikan Kewarganegaraan, (3). Bahasa Indonesia, (4). Bahasa Inggris, (5). Sejarah Indonesia, (6). Olah Raga/Rekreasi, (7). Sejarah Umum, (8). Antropologi, (9). Matematika, (10). Ilmu Pengetahuan Alam dan (11). Apresiasi Seni.
- Kelompok mata pelajaran persiapan keguruan berisikan 8 (delapan) mata pelajaran terdiri ; (1). Didaktik / Metodik (2). Ilmu Jiwa (3). Praktek Mengajar (4). Sejarah Kebudayaan (5). Sejarah Seni Rupa (6) Pengetahuan Bahan (7). Pengetahuan Bahasa dan (8). Tinjauan Seni 3. Kelompok pelajaran kejuruan jumlah mata pelajaran sebanyak 17 (tujuh belas) terdiri ; (1). Melukis (2). Mematung (3) Reklame (4). Dekorasi (5). Ilustrasi, (6). Seni Ukir, (7). Grafika (8). Batik (9). Keramik (10). Tenun/Anyam (11) Ornamentik (12). Design (13). Sketsa (14). Menggambar Bentuk (15). Perspektif/proyeksi (16). Seni Kriya dan (17). Membentuk.
Selain pelajaran diatas, juga diajarkan apresiasi seni, terutama cabang-cabang seni diluar bidangnya. Adanya mata pelajaran ekstrakurikuler seperti : Fotografi dan penerangan listrik, juga dilengkapi keterampilan yang terarah kepada pembinaan seni rupa tradisional. Kemudian secara bertahap jumlah siswa SSRI Negeri Padang setiap tahunnya cenderung meningkat. IM/ZL. (Bersambung)
Penulis Laporan : Imelda Ekawati dan Zaref Lina