Keamanan Maritim
dan Perspektif Wasantara dan Tannas
Oleh Yulizal Yunus
(Alumni Lemhannas 1996, Dosen Kewiraan/ KwN – Pancasila UIN Imam Bonjol)
Manarik fenomena UU China yang mendapat protes Manila. Dari sumber Kompas edisi 29 Januari 2021 dan Associated Press, 27 Januari 2021), protes terhadap Beijing itu kerana meluluskan undang-undang pengawalan pantai, yang memberi izin kepada pasukan penjaga pantai menembak kapal asing dan menghancurkan bangunan negara lain di pulau yang di klaim oleh China, yang dari perspektif Manila dapat mengancam ketahanan nasionalnya. Namun tak dapat dimungkiri, persoalan pengamanan laut dan pantai tidak terlepas dari wawasan dan sistem ketahanan nasional (tannas) berbagai Negara.
Fenomena UU China ini tidak terlepas dari kearifan dan kewaspadaan nasional yang bersumber Wawasan Nusantara (Wasantara) dan Ketahan Nasional (Tannas) Indonesia sebagai negara kepulauan, yang lautnya hampir tiga perlima berbanding dua perlima daratan/ pulau.
Sekaitan itu saya mengingat, penting penegasan Ketua DPR RI Puan Maharani mengenai komitmen DPR sebagai lembaga tinggi Negara dalam mendukung penguatan di bidang maritim yang viral di antaranya dari sumber SINDOnews.
Meskipun komitmen itu ditunjukkan saat itu dalam pembahasan RUU Keamanan Laut yang disiapkan pemerintah pertengahan tahun lalu, namun di dalamnya secara arif ada kepentingan lebih signifikan, setidaknya dalam perspektif nasional “penguatan wawasan nusantra (wasantara)”. Justru wasantara yang berlandaskan ideologi Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai sumber konsep ketahanan nasional (tannas) implikasinya dalam UU Keamanan Laut itu, tidak saja penting menyangkut “keamanan” laut saja, tetapi juga penting gatra “pertahanan” laut. Karena tak dapat dimungkiri gatra keamanan laut bagian tugas polri, sedangkan sisi ketahanannya tugas TNI terutama TNI-AL dan sinergi kedua unsur penting Pertahanan Keamanan Negara (Hankamneg) itu yang sudah bekerja keras membanggakan dalam membina hankamneg di kawasan maritim Indonesia.
Hankamneg Indonesia di laut, masih terdapat kerawanan terutama di kawasan perbatasan. Padahal tidak saja Indonesia, bahkan nengara-negara manapun di dunia yang mempunyai kawasan wilayah kelautan, pastilah membutuhkan keamanan dan ketahanan laut yang penguatan perlindungan dengan undang-undangan yang kuat.
Dari perspektif geopolitik dan geostrategi, tidakkah diteorikan bahwa, siapa dan negara manapun yang menguasai laut, menguasai ekonomi dunia. Tentu termasuk di dalamnya seluruh aspek ipoleksosbudhankam istilah lamanya disingkat dengan (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan). Aspek itn juga diamanatkan UU Kelautan No. 32 Tahun 2014.
Justru Kepentingan Nasional (Tingnas) sebagai Kekuatan Nasional (Kuatnas) di bidang maritim dan penguatan sistem pertahanan laut, justru disebut Puan, dapat dilakukan dengan pembangunan industri pengolahan hasil laut, penambangan di laut, sarana laluan perairan (transportasi laut), modernisasi nelayan, pembangunan pariwisata laut dan pantai lainnya. Wawasan luas dan kepedulian mengenai sistem keamanan dan ketahanan laut dan potensinya itu secara internal daerah dan terbatas dapat dilihat dari cara pandang anggota DPR RI dan Kepala Daerah.
Di antaranya Darizal Basir Dt. Nan Sati Anggota DPR RI mengajak Bupati Pesisir Selatan terpilih memperkuat cara pandang membangun daerah secara sustainable dan besinergi dengan memanfaatkan potensi daerah termasuk laut dan pantainya (Agusmardi/ jurnalsumbar.com -16/9/2020).
Anggota DPR RI Lisda Rauwdha dengan sahabatnya yang terhimpun dalam SALIHA mengadakan sosialisasi di Kambang Kecamatan Lengayang, menggerakkan masyarakat pantai mengelola limbah plastik untuk tetap waspada keamanan lingkungan laut di sepanjang pantai Pesisir Selatan 294 km itu (Okis Rockin/ beritanda1.com – 17/2/2020).
Di daerah, misalnya Wali Kota Padang – ibu Kota Provinsi Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah Dt. Marajo senantiasa mensosialisasikan kebijakan daerah untuk membentuk budaya dan sadar hukum untuk tidak membuang sampah termasuk limbah plastik secara sembarangan yang dapat mencemarkan lingkungan laut dan pantai, meski harus berhadapan langsung dengan Emak-emak PKL (boleh baca minangkabaunews – 7/8/2020).
Secara nasional pun Badan Kemanan Laut (Bakmla) senantiasa menggelar operasi cegah tangkal dilengkapi kapal seperti kapal KN Pulau Nipah-321 di Dermaga JICT 2, Tanjung Priok sebagai sebuah kewaspadaan nasional sejalan sistem Tannas bersumber Wasantara. Wawasan dan kewaspadaan terhadap tantangan luar/ dalam, bagi keamanan dan ketahanan laut seperti ini pernah menjadi pengamatan dan bahasan karya akhir saya ketika menjalani proses belajar di Lemhannas tahun 1996.
Saya kira teoretik potensi kelautan sebagai aset ekonomi dalam semua sistem ipoleksosbudhankan tadi, tingkat keterpakaiannya masih kuat terimplementasi dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang mengimpikan penciptaan “kondisi dinasmis bangsa” sebagai inti wujud ketahanan nasional Maritim, yang sudah barang tentu senantiasa menjadi bidikan wawasan pandang TNI dan Polri kita yang perkasa.
Fenomena internasional, dengan kearifan dan kepekaan terlepas alasan politik lainnya mengutip sumber Kompastv 27 Januari 2021, soal Philipina melayangkan nota memprotes terhadap pengesahan undang-undang baru China, pasalnya adalah mengizinkan penjaga pantainya untuk menembaki kapal asing dan menghancurkan bangunan negara lain di pulau yang diklaimnya.
Menlu Teodoro Locsin Jr menyebut UU China itu terlepas dari hak prerogatif penegakan UU di negaranya, namun dengan aturan itu, sama saja dengan ancaman perang secara verbal kepada seluruh negara yang kemungkinan bertentangan dengan UU China itu.
Saya kira fenomena UU China dan mendapat protes Manila itu, menginspirasi waspada dikaitkan kajian lingstra (lingkungan strategi) dalam kerangka menjaga kedaulatan wilayah kawasan dan garis batas garis batas laut/ perairan Indonesia.
Juga memberikan kearifan keharusan memperkuat sistem Ketahanan Nasional dalam menangkal ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan) dalam/ luar Indonesia di laut seperti isu ZEE di Laut Natuna Utara. Tegasnya adalah menginspirasi penguatan naluri kewaspadaan dan kepentingan nasional di kawasan maritim.
Betapa tidak, betapa isu ZEE dan Natuna tadi itu, penting sebagai tantangan dan kearifan, mampu mengubah tantangan itu menjadi peluang bangsa. Tentu saja dengan bijak dapat menyelesaikan kerawanan, berbagai sengketa dan mengantisipasi potensi sengketa yang ada dan bakal muncul.
Adalah seperti isu dijelaskan sumber “jentera.ac.id” mengenai sengketa batas maritim dan zona pembangunan bersama dulu, dalam tantangan fenomena ketegangan di laut China Selatan yang berawal dari klaim sepihak (unilateral claim) China dalam kebijakan Nine-Dashed Line (9DL, sembilan garis putus), reklamasi dan pembangunan pangkalan militer serta infrastruktur fisik di sekitar gugusan Kepulauan Spratly dan Paracel. Termasuk penentuan sepihak kawasan tradisional penangkapan ikan yang terkesan mengganggu kedaulatan Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna itu.
Maka kepekaan dan kewaspadaan hankamneg di maritim seperti ini menjadi bagian esensial prinsipil dalam UU Keamanan Laut. Justru itu dari awalnya adalah penting ungkapan Ketua DPR RI Puan Maharani dalam memberikan Kuliah Umum pada Perwira Siswa Dikreg Seskoal Angkatan ke-58 Tahun Ajaran 2020 lalu, di Jakarta (14/9/ 2020). Katanya DPR RI berkomitmen tinggi dalam membangun kekuatan nasional di bidang maritim.
Merespon fenomena keamanan laut ini, tentu semua komponen bangsa berharap secara sustainatable (berkelanjutan) dijalankan sungguh-sungguh oleh pemerintah sampai ke pemerintahan daerah.***