Budaya Sumbar Memastikan Jati Diri

by -

Catatan Kebudayaan di Sumbar Penghujung Tahun 2020 (2)

BUDAYA SUMBAR MEMASTIKAN JATI DIRI

Oleh :Yulizal Yunus

Sangat menarik fenomena pemajuan kebudayaan Sumbar sampai terakhir tahun 2020 ini, adalah memastikan balik ke jati diri. Dalam event peluncuran Monument Prof. Dr. Achmad Mochtar 6 m persegi oleh pemahat Asnam Rasyid, dkk di Nagari Jambu Piliang, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman dan peluncuran buku varian biorgaifi Prof Dr. Ahmad Mukhtar oleh Hasril Chaniago, dkk memperlihatkan ingin mempertahankan jati diri Sumatera Barat dan Minangkabau.

Balik ke jati diri dalam pemajuan kebudayaan ini di Sumabar ada dua sudut yang dimainkan. Pertama, Penulis biografi Ahmad Mochtar dan pemahat monumennya lebih menunjukan tertarik pada tokoh pahlawan nasional Ahmad Mochtar.

Ketertarikan ini terkesan penguatan kesadaran bahwa Sumatera Barat yang jati dirinya sebagai pemikul tanggung jawab sejarah besar bangsa merintis, menggerakkan, memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan sekaligus mempertahankan roh NKRI dari ancaman agresi Belanda oleh PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang beribukota di Sumatera Barat 1948. Tugas besar itu harus terus diperjuangkan.

Kedua dari pihak ahli waris tertarik kepada penguatan jati diri sebagai orang Minang. Seiring dengan pemunculan Ahmad Mochtar diprosesusulkan sebagai pahlawan, ahli waris ingin memperlihatkan bahwa Ahmad Mochtar dan keluarga ahli waris adalah keluarga Minang. Nafas balik ke jati diri Minang ini. diperlihatkan ahli waris Prof Siti Khairani bahwa ia lebih senang dipanggil Etek dari pada Professor. Karena ia orang Minang mempunyai hak asal usul suku piliang di Ganggo Hilir, Bonjol Pasaman. Ia pernah berhiba hati ketika ada tulisan yang menyebut Ahmad Mochtar itu orang Mandaliling, padahal jelas Minang asli titisan dari Kesultanan Pagaruyung.

Sejarah Ahmad Mukhtar selama ini sempat terlupakan, tenggelam dan terkubur dalam debu sejarah perjuangan bangsa. Dinas kebudayaan Sumatera Barat dipimpin Kadis Gemala Ranti maju ke depan memfasilitasi penulisan sejarah membongkat dokumen lama disusul pemahatan munomen Ahmad Muchtar. Menurut Didi Kabid Sejarah, Adat dan Nilai-Nilai Tradisi, membongkar dokumen sejarah tokoh Ahmad Mochtar dimaksud, adalah ingin memperlihatkan bagaiman perjuangan Ahmad Mukhtar itu yang rela menjadi martir membela nyawa anak bangsa, sekaligus ingin memperbaiki berbagai publikasi yang disiarkan berbagai media pers cetak dan medsos yang dinilai banyak menyimpang dari sejarah yang sesungguhnya.

Ahli waris Ahmad Mochtar, Prof Dr. Siti Khairani pun dalam penjelasannya langsung ketika peluncuran buku dan monumen Prof. Dr. Ahmad Mukhtar di Aula Kantor Gubernur Sumbar itu, merasa heran dari mana mereka para penulis di berbagai media pers cetak dan elektronik serta medsos lainnya medapat sumber sejarah dalam menulis sejarah Ahmad Mukhtar yang menyebabkan demikian banyak dan juah menyimpang dari sejarah besar. Prof Siti yang senang dipanggil Etek (panggilan ibu kecil di Minang) itu, fenomena deviasi dan atau penyimpangan sejarah tokoh ini perlu diluruskan, karenanya ia berterima kasih kepada penulis Hasril Chaniago, dkk menulis varian biografi Ahmad Mochtar ini.

Ahmad Mukhtar lahir di Ganggo Hilir, Bonjol, Pasaman Sumatera Barat, 10 November 1890 dan wafat 3 Juli 1945. Ibunya Roekayah dan ayahnya Omar. Ia menikah dengan Siti Hasnah (1916-1945) suku Piliang Ganggo Hilir. Ia beranak dua: Baharsjah Mochtar dan Dr. Imransjah Ade Mochtar. Ia seorang dokter alumnus Universitas Amsterdam, Netherland (Belanda). Ketika ia memimpin sebagai Direktur Lembaga Eijikman, terjadi penangkapan para peneliti biologi lembaga itu di Jakarta oleh militer Jepang, atas tuduhan yang tak pernah berbukti pencemaran vaksin tetanus.

Untuk menyelamatkan para peneliti pada lembaga yang ia pimpin dan tertuduh itu, Ahmad Mukhtar berani membela dan rela menyerahkan dirinya, lalu ia dizalimi dan dieksekusi mati secara sepihak oleh militer Jepang, demi membela penelitinya itu. Ia gugur syahid sebagai pahlawan kemanusiaan Indonesia. Makanya beralasan Gubernur Irwan Prayitno spontan memerintahkan kepada OPD-nya Dinas Sosial Sumbar segera memproses pengusulan tokoh ini menjadi pahlawan nasional.

Seiring dengan proses penulisan varian sejarah Prof Ahmad Mukhtar ini dan diajukan menjadi pahlawan, yang lebih penting bagi ahli waris Prof Siti ingin memperlihatkan sebagai keluarga Minang. Kata Didi, ia sedikit berhiba hati, pasalnya Ahmad Mochtar pernah disebut orang Mandailing. Ia bertanya, siapa tuh yang menulis dan menyebut Ahmad Mukhtar orang Mandailing. Tidak, Ahmad Mochtar itu asli orang Minang.

Artinya kata Didi, ahli waris Prof. Siti lebih senang dipanggil Etek dibanding dipanggil Professor.

Meski pendidikannya di barat, ia tetap bangga menjadi orang Minang sebagai jati dirinya. Karenanya ia meski sudah mapan dan mengajar sebagai guru besar di berbagai universitas di Amerika, Jepang terakhir di Malaysia, sekarang ia rela balik kampung ke Ganggo Hilir.

Di kapung ia membangun rumah gadang, sekaligus ia menjaga rumah kaum keluarga ibu Etek Siti suku Piliang, yang disebut rumah Ahmad Muchtar itu. Ia menjaga kerabatnya dengan ranji panjang dari kerabat matrilinealnya keturunan ibu suku Piliang itu yang belum pernah dibuka sejak perang Paderi.

Ahmad Muhtar asli Minang, ayahnya ialah Omar, pun kerabat “kuduang karatan” dari ranji limbago Pagaruyung pula, suku Melayu. Dari pihak ayahnya terdapat pula keturunan orang-orang terpandang seperti mamak ayah Ahmad Mochtar yakni Datuk Sinaro I-IV di Bonjol, memungkinkan ia dahulu masa Belanda itu berpeluang memasuki ILS khusus untuk orang Eropa dan sekolah kedokteran STOVIA di Batavia lulus 21 Juni 1916 setelah itu ke Universitas Amsterdam Netherland.

Menyimak jati diri Ahmad Mochtar sebagai “kuduang karatan” dalam ranji limbago Pagaruyung, membuat tertarik Ketua Umum Bundo Kanduang Pusat Sumatera Barat yakni Yang Dipertuan Puti Reno Kesultanan Pagaruyung Darulqarar di Pagaruyung Prof. Dr. Raudha Thaib. Justru terakhir ini, Bundo ini sangat akhtif dan sangat aktif seperti diakui dan diulang-ulang kalimat ini oleh Gubernur Irwan Prayitno. Bundo aktif terutama penulisan adat, dan dengan tim menulis ranji limbago Pagaruyung.

Juga ia aktif mengembangkan secara umum keminangkabauan pada 544 nagari sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) dari Minangkabau. Tentang adat budaya, ia banyak pula aktif menjadi nara sumber adat dalam berbagai event diskusi pemberdayaan dan bimtek serta konsultasi pemangku adat dan masyarakat adat serta penguatan kelembagaan dan peranan pembangku adat lainnya.

Dengan jasa aktif mengembangkan adat dan pemajuan budaya Sumatera Barat itu beralasan Pemerintahan (Pemdaprov dan DPRD) Provinsi Sumatera Barat, sebut Gubernur Sumbar Irwan Prayitno memberi penghargaan dengan mendirikan dan meresmikan pemakaian gedung khusus “Rumah Gadang Bundo Kanduang” di Komplek Masjid Raya Sumatera Barat di Padang. Kata Bundo, dengan pasilitasi pemerintahan provinsi ini, boleh Bundo Kandung lebih aktif dan dapat memusatkan kegiatannya di Rumah Gadang Bundo ini.

Bundo pun ingin mempresentasikan di Rumah Gadang ini kejayaan adat Minangkabau, tidak saja pameran pakaian adat, perlengakpan dan symbol adat, juga presentasi prosesi adat serta bukti kesenian dan pertunjukan rakyat yang sarat dengan nilai adat. Dengan berbagai aktifitas dan pemusatan kegiatan adat oleh Bundo ini, merupakan bagian upaya memcu pemajuan kebudayaan sejalan UU No.5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan merayakan adat Minangkabau, digerakan era Gubernur Irwan Prayitno yang mengemban visi misi pertama ABS-SBK itu didukung Kadisbud Gemala Ranti.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.