KETIKA PENDIDIKAN TIDAK TERKEKANG OLEH SEKAT

by -

KETIKA PENDIDIKAN TIDAK TERKEKANG OLEH SEKAT
Teddy Fiktorius, M.Pd.
(Guru Bahasa Inggris SMP-SMA Bina Mulia Pontianak, Kalimantan Barat)

Deklarasi Salamanca tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dikumandangkan pada tahun 1994 merupakan bukti autentik atas eskalasi gagasan pendidikan inklusif dalam skala internasional. Deklarasi tersebut merupakan penegasan kembali dari deklarasi PBB tentang HAM 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989, dan Deklarasi dunia tentang Education for All 1993.

Di Negara Kesatuan Republik Indonesia, eksistensi pendidikan inklusif disokong oleh UUD 1945 pasal 31 yang menjabarkan bahwa setiap warga negara Indonesia, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, berhak memeroleh pendidikan. Lebih lanjut, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mempertegas hak setiap warga negara Indonesia yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental intelektual, dan sosial untuk mendapatkan pendidikan khusus.

Konsekuensi logis dari hak ini sejalan dengan klaim UNESCO (2007) yang menyatakan bahwa semua individu memiliki hak yang sama untuk menerima pendidikan yang tidak diskriminatif atas dasar hambatan fisik, etnisitas, agama, bahasa, dan gender. Hal ini dilandasi oleh nilai Bhinneka Tunggal Ika yang terefleksi secara jelas dalam kenyataan bahwa keberagaman di dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan sebagai satu entitas.

Istilah inklusif berkaitan erat dengan banyak bidang kehidupan manusia, seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi yang didasarkan kepada prinsip persamaan, keadilan, dan hak individual. Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan/atau kelainan yang dimiliki oleh masing-masing individu dengan mengesampingkan segala segregasi yang muncul dalam paradigma orang awam.

Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam program sekolah. Gagasan pendidikan inklusif memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan dan pembauran anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di lingkungan sekolah.

Deklinasi hakikat pendidikan inklusif merefleksikan hak peserta didik atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para peserta didik harus diberi kesempatan yang sama untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dipersiapkan dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri peserta didik.

Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Republik Indonesia (2015) mengungkapkan bahwa perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan merancang dan mengimplementasikan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan individu tersebut.

Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi, segregasi, dan kontestasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi sekat yang ditimbulkan oleh perbedaan.

Pendidikan Yang Merangkul Segala Perbedaan Untuk memahami konsep dan makna layanan pendidikan inklusif secara komprehensif, dua ilustrasi disajikan sebagai berikut.  

Ilustrasi 1
SMP XXX memiliki seorang peserta didik yang mengalami kelainan penglihatan bernama Surti. SMP XXX memiliki perhatian khusus terhadap Surti sehingga sekolah membuat program khusus yang sesuai dengan ketunaan Surti, seperti materi pelajaran, fasilitas belajar, dan tenaga pendidik yang dipersiapkan untuk Surti.

Ilustrasi 2
Tejo adalah anak yang mengalami kelainan fungsi pendengarannya. Kendati demikian, kemampuan intelektual Tejo normal. Tejo merupakan peserta didik di sebuah sekolah menengah pertama umum. Di SMP ini, Tejo harus mengikuti program-program yang ada di sekolahnya tanpa ada perbedaan layanan yang diberikan.

Kedua ilustrasi di atas secara eksplisit menampilkan adanya persamaan dan perbedaan yang mendasar. Persamaannya adalah bahwa kedua SMP tersebut menunjukkan adanya peserta didik yang berkebutuhan khusus yang belajar di sekolah umum (SMP) meskipun dengan cara-cara atau pendekatan yang berbeda. Namun jika dilihat dari bentuk pelayanannya, kedua sekolah tersebut menunjukkan perbedaan yang sangat prinsipil.

Ilustrasi pertama menunjukkan konsep inklusi, di mana sistem sekolah yang menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik.

Sebaliknya ilustrasi kedua menunjukkan suatu konsep integrasi, di mana peserta didik berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan sistem yang sudah ada pada tempat belajarnya tanpa ada layanan khusus. Dari uraian tersebut sesungguhnya dikemukakan bahwa konsep inklusif lebih menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

Kurikulum sebagai Tiang Penyangga Pendidikan Inklusif Stubbs (2002) mengklaim bahwa pada dasarnya terdapat tiga model kurikulum yang memayungi pelaksanaan pendidikan inklusif di lingkungan sekolah, yakni:

1.Model kurikulum regular Model kurikulum regular merupakan kurikulum yang mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti peserta didik lainnya di dalam kelas yang sama.

2.Model kurikulum reguler dengan modifikasi Model kurikulum reguler dengan modifikasi adalah kurikulum yang dimodifikasi oleh guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus.

3.Model kurikulum Program Pembelajaran Individual Model kurikulum Program Pembelajaran Individual didefinisikan sebagai kurikulum yang dipersiapkan guru program Program Pembelajaran Individual yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. Konsep pendidikan inklusif ini berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu.

Apapun model kurikulum yang diterapkan di dalam implementasi pendidikan inklusif, kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis karena kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Melalui kurikulum, sumber daya manusia dapat diarahkan dan kemajuan suatu bangsa akan ditentukan.

Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik, kebutuhan pembangunan nasional, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pembelajaran yang Bermakna dalam Pendidikan Inklusif
Pelaksanaan pembelajaran dalam kelas inklusif sama dengan pelaksanaan pembelajaran dalam kelas reguler.

Namun jika diperlukan, anak berkebutuhan khusus membutuhkan perlakuan tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

Untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus diperlukan proses skrining atau assessment yang bertujuan agar pada saat pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka.

Assesment yang dimaksud merupakan proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial melalui pengamatan yang komprehensif.

UNESCO (2007) menjabarkan bahwa pada dasarnya terdapat dua model pembelajaran yang dapat diimplementasikan pada pendidikan inklusif.

1. Pendidikan inklusif yang menerapkan inklusi penuh
Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas regular tanpa menerima perbedaan pelayanan.

2. Pendidikan inklusif yang menerapkan inklusi parsial
Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming. Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas regular. Stubbs (2002) menjelaskan bahwa model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan inklusif bukan sekedar metode atau pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Pendidikan inklusif merupakan sebuah reformasi yang hakiki dalam dunia pendidikan yang menjunjung tinggi kesamaan hak dasar dalam mengenyam pendidikan dan menekankan sikap anti diskriminasi.

Implementasi pendidikan inklusif memerlukan komitmen yang serius dari pihak pemerintah untuk mengawal pendidikan inklusif ini agar pada tataran teknis dapat terlaksana tanpa distorsi yang berarti, khususnya dalam pemenuhan sistem pendidikan inklusif. Akan tetapi, penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Stakeholder pendidikan lain seperti masyarakat hendaknya dilibatkan dalam rangka memajukan pendidikan.

Terlebih dalam semangat otonomi daerah di mana pendidikan merupakan bidang yang didesentralisasikan, maka keterlibatan masyarakat merupakan suatu keharusan. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif perlu mengelola dengan baik hubungan sekolah dengan masyarakat agar dapat tercipta dan terbina hubungan yang baik dalam rangka upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jika sudah demikian, niscaya pendidikan memang tidak terkekang oleh sekat apapun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.