Penanganan Covid-19 Fallacy ?
Oleh :Defriman Djafri
Cerita Covid-19 di negeri ini tidak ada habisnya. Dari sekian kisah diceritakan, tampaknya memunculkan sisi terbaik dan terburuk dari sisi kemanusian. Lahirnya pahlawan sejati, mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan nyawa orang lain dari serangan corona virus ini.
Dibalik itu, juga banyak cerita pahlawan yang setengah jadi, atau pahlawan kesiangan yang tanpa disadari memberikan disinformasi dan gagal paham memahami bagaimana upaya pengendalian pandemi seharusnya dilakukan.
Yang terjadi, dengan menghabiskan waktu 5 menit berselancar di Google, semua orang tampaknya sudah percaya diri menganggap dirinya ahli epidemiologi, ahli virologi, ahli komunikasi, pakar kesehatan masyarakat, dan ekonom. Ironinya, ada juga yang merasa semuanya pakar dibidangnya. Seolah-olah tanpa evidence yang jelas, pernyataan yang dibuat benar adanya.
Padahal, ini merupakan sebuah kesalahan, kesesatan atau kekeliruan (Fallacia atau Fallacy) dalam memahami konteks sesungguhnya dalam menggunakan parameter, indikator, dan strategi dalam upaya pengendalian Covid-19.
Promosi, Edukasi & Literasi Covid-19
Kasus Covid-19 yang tidak terkendali tidak terlepas dari permasalahan terbesar saat ini adalah kesadaran, kepatuhan, dan kedisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan.
Masalah disinformasi dan sosialiasasi mengenai risiko dan upaya pencegahan dianggap belum maksimal dirasakan masyarakat. Memberikan promosi, edukasi dan literasi kesehatan masyarakat dianggap hanya sebatas billboard, brosur, media yang ditayangkan dan dibagikan.
Ini menjadi kesalahan terbesar selama ini, edukasi dan promosi kesehatan banyak dianggap sebagai produk, padahal sebuah proses yang harus direncanakan, terukur dan dievaluasi keefektifitasannya dalam upaya intervensi kesehatan masyarakat.
Penanganan Covid-19 selama ini, promosi dan edukasi upaya perubahan perilaku kesehatan dianggap pemerintah tidak efektif saat ini. Tentu kita bertanya, promosi dan edukasi seperti apa yang dilakukan dan diupayakan selama ini dikatakan tidak efektif.?.
Ketidakpercayaan pemerintah terhadap masyarakat yang tidak mau diatur, ini menjadi preseden buruk dalam pengendalian Covid-19.
Seolah-olah, Peraturan Daerah (PERDA) menjadi senjata ampuh masyarakat untuk patuh dengan ancaman sanksi yang akan diterima didepan mata kedepan.
Penanganan Covid-19 dirasakan tidak maksimal, dikarenakan upaya yang dilakukan hanya intervensi parsial bukan secara komprehensif dari hulu ke hilir.
Tidak ubahnya, upaya yang dilakukan seperti coba-coba yang tidak dievaluasi dan dikaji dengan baik dalam mengambil sebuah keputusan yang cermat.
Padahal, menghadapi pandemi yang panjang diprediksi, ini yang harus dibentuk ditengah masyarakat, dimana kondisi masyarakat saat ini yang cenderung tidak percaya dan abai terhadap protokol kesehatan dan bahaya Covid-19.
Target Kelompok : Informasi, Pengetahuan, Keyakinan & Pembuktian Covid-19
Kepedulian yang terbentuk dari pengetahuan yang cukup dan memadai, dan tentunya dari informasi yang diperoleh jelas dan akurat sumbernya. Tentunya, kelompok yang paling aman saat ini orang yang mempunyai pengetahuan yang tinggi dan kepedulian yang tinggi terhadap Covid-19.
Awalnya kita menyadari, yang akan menjadi target untuk diberikan promosi dan edukasi yang masif adalah orang-orang berpengetahuan rendah dan yang tidak peduli, ini yang disebut kelompok yang berbahaya.
Ketika kasus Covid-19 ini berkembang, tidak sedikit yang kasus positif berasal dari orang-orang yang pada kelompok yang rawan. Yakni, orang-orang yang mempuyai pengetahuan rendah tetapi dia sangat peduli atau orang-orang yang pengetahuannya tinggi tetapi dia tidak peduli terhadap Covid-19.
Saat ini, pengetahuan dan kepedulian ternyata juga tidak cukup bagi sekelompok orang untuk mempercayai Covid-19 ini. Keyakinan atas bahaya Covid-19 perlu pembuktian sekelompok orang.
Keyakinan yang paling sulit adalah ketika kita tidak menyadari objek virus ini nyata adanya, apalagi kasus dilaporkan lebih dari 80% kasus orang tanpa gejala. Disini tantangannya, orang tidak akan percaya ketika seseorang atau kerabatnya merasakan kenyataannya bahayanya virus corona ini.
Sebagaimana analogi selama ini, seseorang tidak akan berhenti merokok, jika sudah batuk darah dan sesak nafas, apalagi sudah dirawat atau telah terdiagnosis kanker paru.
Analogi ini juga jadi contoh bagaimana keyakinan terbentuk memang harus dirasakan adanya. Berdasarkan data Covid-19 dilaporkan, meskipun angka kesembuhan terus menunjukan peningkatan, tentunya kita tidak bisa mengabaikan laju kematian yang juga terus meningkat beberapa pekan terakhir ini.
Inilah fenomena saat ini, kalau seseorang belum sakit mereka tetap akan abai dalam mencegah terjadinya sakit atau mendapatkan penyakit. Mencegah tentu lebih baik dari pada kita terinfeksi/sakit dan yang akan berujung kematian kedepan.
Epidemiological Fallacy
Testing yang massif dalam upaya deteksi secara awal terhadap Covid-19, sesungguhnya berdampak terhadap memutus mata rantai penularan. Faktanya apa yang terjadi.?, salah satu konsekuensi melakukan testing dengan massif adalah penemuan kasus yang meningkat.
Penemuan kasus yang meningkat ini yang harus dipahami., bagaimana memaknai peningkatan kasus sebuah konsekuensi testing atau penularan yang sebenarnya tidak terkendali?. Ini yang seharusnya dilihat secara komprehensif.
Disinilah akan diuji, kemampuan testing kita akan berpacu dengan kecepatan penyebaran virus. Jadi, kita tidak bisa mengandalkan hebatnya kemampuan testing saja. Dalam pengendalian, kita membahas bagaimana laju infeksi benar-benar bisa ditekan dan beriringan dengan testing yang masif dilakukan.
Penyebaran virus terjadi ketika host (orang) tidak terkontrol dengan baik. Salah satu jalur penularan Covid-19 adalah dari orang ke orang, pengendalian penularan seperti ini memang menitik beratkan mobilitas, aktivitas dan perilaku orang yang perlu dikendalikan.
Salah satu kekeliruan parameter epidemiologi selama ini, seolah-olah angka positive rate dibawah 5% dianggap keadaan yang sudah baik. Padahal, angka positive rate ini juga harus dihitung dengan benar.
Denominatornya bukan jumlah sampel yang dikirim atau diperiksa tetapi jumlah individu sampel yang diperiksa. Disini bias/error terjadi, karena ada individu sampel yang diperiksa berulang. Inipun juga harus dilakukan dengan komprehensif surveilans dalam pengujian kasus suspek serta dievaluasi selama 2 minggu.
Bukan tiap hari dilaporkan gugus tugas selama ini. Jika dipastikan kondisi yang baik, angka positive rate yang kurang dari 5% juga harus diikuti dengan penurunan kasus rawatan & ICU secara terus menerus selama 2 minggu. Jadi, hasil ini akan terdilusi, tidak ada maknanya angka positive rate yang rendah sedangkan jumlah kasus rawatan dan ICU Covid-19 meningkat.
Apalagi, rumah sakit dilaporkan penuh dan tidak sanggup menampung pasien dengan gejala sedang dan berat. Dalam pengendalian, analisis dan surveilans yang mumpuni, lonjakan kasus sedang dan berat ini bisa diantisipasi sebelumnya.
Epidemic intelligence dalam penguatan komprehensif surveilence harus diimbangi ketika testing massif dilakukan.
Penyediaan tempat isolasi menjadi konsekuensi yang harus disediakan pemerintah. Jika tidak, mustahil mata rantai penularan itu terputus.
Ibarat main petak-umpet (main Cik-Mancik), ketika kita berhasil menangkap, yang ditangkap menularkan lagi karena tempat isolasi yang tidak ada dan isolasi yang tidak benar dilakukan.
Ini menjadi pekerjaan yang sia-sia pada akhirnya dikarenakan strategi dan pengendalian tidak komprehensif dilakukan. Ketika virus corona ini tetap ada, dan kita terus beraktivitas.
Kesetimbangan epidemiologi antara Agent (Virus), Host (Orang) dan Enviroment (Lingkungan) ini yang menjadi pendekatan utama dalam upaya pengendalian Covid-19.
Menata Ulang Kembali Strategi Pengendalian Covid-19
Tidak ada kata terlambat, strategi pengendalian perlu ditata ulang.
*_Pertama_*, penguatan peran dinas kesehatan sebagai _leader_, baik provinsi, kabupaten dan kota dalam upaya pengendalian untuk memutus mata rantai penularan dan laju penularan dan kematian Covid-19.
Berikanlah kepercayaan kepada dinas kesehatan dalam mengatur strategi secara komprehensif, semua komponen strategi pengendalian secara sistematis bisa diupayakan bersinergi dengan kapastias laboratorium dan komponen lainnya. Masalah terbesar saat ini adalah ketika kepala daerah tidak yakin dinas kesehatan mampu mengambil peran ini.
*_Kedua_*, strategi harus sistematis dalam upaya deteksi (detect, test & treat), pelacakan kontak (contact tracing), isolasi, promosi, edukasi dan literasi risiko Covid-19 dan protokol kesehatan serta kesiapan sistem kesehatan.
Ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Benar-benar diukur dan dievaluasi dengan baik dan cermat. Jalankan mesin birokrasi yang sesuai dengan bidangnya, jangan tempatkan orang-orang yang tidak mempunyai kompetensi untuk mengatur strategi dalam pengendalian, disinformasi akan terjadi dan ini akan memperburuk kondisi dilapangan.
*_Ketiga_*, partisipasi masyarakat perlu dibangun berkelanjutan. Ini sangat penting sebagai bekal kedepan, modal sosial atau jejaring sosial yang ada selama ini seolah-olah tertelan akibat Covid-19. Kita ada kader kesehatan, majelis taklim, kelompok tani dan kelompok tanggap bencana, dan beberapa kabupaten/kota yang sudah teroganisir dalam satuan desa siaga atau kampung KB dan lainnya.
Mesin sosial ini yang harus digerakan kembali. Kita menyadari, pandemi ini tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah. Dibutuhkan solidaritas bersama, melakukan aksi nyata saling bahu-membahu bersinergi dapam upaya pegendalian Covid-19.
*_Keempat_*, penilaian dan skenario yang terukur. Event atau kegiatan-kegiatan besar yang sangat berisiko akan tetap diambil dan dilakukan oleh pemerintah kedepan. Pilkada contohnya, meskipun sudah aturan yang mengatur. Penilaian risiko dan skenario terburuk harus bisa diperkirakan kedepan. Kesiapan dan respon perlu direncanakan dengan baik.
Bagaimanapun, memastikan kesiapan masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan melaksanakan pesta demokrasi ini perlu dinilai secara komprehensif dan skenario strategi pengedalian juga perlu disiapkan dalam menekan laju penularan.(*)
Defriman Djafri
Dekan, Fakultas Kesehatan Masyarakat , Universitas Andalas
Ketua, Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Provinsi Sumatera Barat