Dhimam Abror Djuraid: Good Looking
Cantik itu relatif, jelek itu pasti. Begitu kata orang. Pepatah Inggris mengatakan cantik itu bergantung pada mata masing-masing orang, beauty is in the eye of the beholder.
Kalau ada survei ketampanan untuk menilai wajah Tukul Arwana, maka hanya orang buta warna yang menganggap Tukul ganteng. Toh, itu tak menghalangi Tukul untuk mengkalim dirinya sebagai pria paling ganteng se-Asia Pasifik. Entah ukurannya apa.
Tukul mendekonstruksi konsep ketampanan. Seseorang muncul di sampul majalah mode tentu karena dia tampan, cantik, good looking. Cover girl atau cover boy. Tukul tidak peduli. Dia mengklaim diri sebagai koper boy.
Srimulat sudah terlebih dahulu melakukan dekonstruksi penampilan yang ekstrem. Kalau tidak bisa super ganteng sekalian jadi super jelek, dua-duanya jalur menuju kemasyhuran di dunia showbiz.
Wajah tampan dan penampilan menarik punya peluang untuk berhasil lebih besar dibanding yang bepenampilan di bawah standar. Itu adalah stereotyping yang umum berlaku dimana-mana.
Di Barat ada phrenology yang menghubungkan bentuk wajah dengan tabiat tertentu. Di Jawa ada ilmu katuranggan, di Tiongkok ada fengshui wajah-wajah pembawa hoki.
Ada stereotyping dan ada juga anti stereotyping. Tukul melakukan anti stereotyping dengan mendekonstruksi konsep good looking dari cover boy menjadi koper boy.
Ada seseorang yang tidak terlalu tampan tapi menarik ketika muncul di kamera, camera face. Tukul mengklaim diri sebagai camera face, wajahnya mirip kamera, kotak-kotak, tidak jelas mana jidat, mana hidung, mana dagu.
Ketika Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan bahwa radikalisme bisa masuk melalui anak-anak yang good looking, pintar bahasa Arab, hafid Alqur’an ia melakukan stereotyping dan labeling
yang membingungkan.
Dia sendiri mungkin bingung setelah pernyataannya menjadi viral dan mendapatkan reaksi negatif yang luas. Ada kesan pernyataan itu ill-thought, tidak dipikirkan dengan saksama, apa hubungan good looking dengan radikalisme agama dan kekerasan.
Dalam sejarah dunia, tokoh-tokoh yang terlibat dalam radikalisme, kekerasan, dan pembunuhan masal tidak ada yang good looking.
Hitler, Napoleon, kamerad-kamerad Kremlin mulai dari Stalin sampai Brezhnev semua digambarkan berwajah dingin dan sangar.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, yang sebenarnya berwajah imut, selalu tampil datar tanpa ekspresi dengan potongan rambut cepak ala terminator si mesin pembunuh.
Carlos The Jackal berwajah menakutkan. Ia teroris asal Venezuela paling ditakuti dan paling diburu di Barat. Sekarang Carlos menjalani hukuman seumur hidup. Bagi orang Barat Carlos adalah teroris yang paling berbahaya. Bagi kalangan Marxis di Amerika Selatan Carlos adalah pahlawan. Carlos juga pejuang pembebasan Palestina yang gigih.
Antara pahlawan dan teroris hanya beti, beda tipis, sebelas dua belas, bergantung dari sisi mana melihatnya.
Di sinetron penjahat digambarkan pakai jaket hitam berkacamata hitam dan berkumis. Penjahat yang tersenyum ada Billy the Kids membunuh dengan tertawa, killing for fun. Lalu The Joker melawan Batman dengan ketawanya yang mematikan.
Menghubungkan good looking dengan radikalisme dan terorisme adalah stereotyping yang miskin referensi. Sama saja dengan menghubungkan Covid 19 dengan nasi kucing, kalung ajaib, dan doa-doa.
Radikalisme agama menjadi isu yang memecah belah. Perdebatannya miskin wacana dan narasi yang dibangun lebih sering saling bereaksi dan adu caci maki.
Sudah 75 tahun merdeka tapi persoalan Islam dan negara tak kunjung selesai. Pancasila yang seharusnya menjadi pondasi negara, sampai sekarang masih tetap jadi perdebatan yang tidak ketahuan ujung pangkalnya.
Untuk menyelesaikan masalah Islam dan negara yang rumit diturunkan seorang pensiunan jenderal yang terlihat seperti memakai kacamata kuda.
Tidak ada dialog yang konstruktif. Di era Orde Baru masih lebih keren. Untuk mengatasi kelompok islamis diperlukan menteri sekelas Prof. Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Alamsyah Ratu Perwiranegara Tarmizi Taher, maka perdebatan menjadi cerdas dan berbobot melahirkan diskursi yang bermutu.
Lahirlah cendekiawan-cendekiawan muslim yang berkelas, Noercholis Madjid, Abdurrahman Wahid, dan kawan-kawan.
Lahirlah jargon “Islam Yes, Partai Islam No” dari Cak Nur yang memantik perdebatan intelektual yang bernas. Muncullah intelektual-intelektual hebat generasi Harun Nasution dan generasi yang lebih muda dalam perdebatan mengenai agama dan sekularisme.
Sekarang ini yang muncul bukan perdebatan wacana tapi kegaduhan yang menghabiskan enerji.
Rezim Jokowi, seperti disebut Ben Bland dalam buku “Man of Contradictions” (2020), terperangkap antara konservatifme dan inklusifisme Islam. Antara demokrasi dan oligarki. Banyak sekali kontradiksi yang membingungkan. Menteri-menteri banyak bikin gaduh daripada bikin kemajuan.
Mengapa Jokowi mempertahankan menteri-menteri ini? Ben Bland memberi jawaban dengan mengutip Presiden Amerika Serikat, Lyndon B. Johnson, “Lebih baik mereka berada di dalam tenda dan kencing keluar, daripada di luar tapi mengencingi tenda”. (*)