Oleh Miko Kamal
Pilkada semakin dekat. Goreng menggoreng politik semakin masif pula. Apapun digoreng oleh pemain politik dan para suporternya. Tujuannya jelas; menjatuhkan reputasi lawan politik yang digorengnya. Yang terakhir kena goreng adalah Walikota Padang Mahyeldi. Saya lebih suka menyebutnya Buya M.
Video Buya M yang sedang dipacaruikkan sekeluarga pedagang kaki lima di pantai Padang viral di media sosial. Ada yang sekadar mengupload video itu dengan caption datar saja. Ada pula yang mengupload dengan caption tembak langsung; merendahkan harkat dan martabat Buya M. Menurut sipengupload yang kedua ini, habis buah Buya M dengan kejadian itu. Wibawa Buya M sebagai Walikota dan datuk di kampungnya tidak ada lagi.
Buya M santuy saja. Seperti biasa. Yang galigaman itu mungkin pendukung dan orang-orang dekat Buya. Ketika ditanya wartawan setelah sidang paripurna peringatan hari jadi Kota Padang ke 351, Buya M menjawabnya dengan tenang. Katanya, kejadian itu adalah hal biasa. Konsekuensi dari posisi beliau sebagai pejabat publik. Bahkan beliau sudah memaafkan yang bersangkutan sebelum minta maaf.
Sikap Buya M membuat para penggoreng kelabakan. Kuali penggorengan meletup-letup. Minyak panas mengejar-ngejar kedua tangan mereka. Tak terkendali. Pasti perih rasanya.
Saya membaca beberapa laman media sosial penggoreng. Kesimpulan saya; balik awah. Sebagian besar pengomen mendukung dan bersimpati kepada Buya M. Rata-rata komennya masuk akal. Si tukang caruik dianggap salah. Salahnya ada 2. Pertama, yang bersangkutan berjualan di tempat terlarang (di atas trotoar) yang merampas hak orang lain. Kedua, sekeluarga pedagang ini tidak sopan kepada pemimpin yang beberapa tahun belakangan membawakan banyak perubahan untuk warga.
Paling tidak 3 pelajaran penting dapat dipungut dari fakta gorengan gagal ini. Pertama, kewajiban seorang pejabat publik adalah mempersembahkan kerja dan hasil terbaik kepada warganya ketika digenggamannya diletakkan setumpuk amanah. Kedua, goreng menggoreng politik tidak terlalu memengaruhi kepercayaan publik kepada pemimpin yang dipercaya. Ketiga, sebagian masyarakat sudah mulai sadar tentang yang benar dan yang salah. Masyarakat paham bahwa mungkin saja keluarga yang berjualan di atas trotoar itu adalah usaha untuk sekadar mencari sesuap nasi. Tapi, apapun alasannya, sesuap nasi harus didapatkan secara baik dan benar. Tidak dengan merenggut paksa hak-hak orang lain.
Semakin dekat hari Pilkada, seperti biasanya, goreng-menggoreng politik akan semakin meluas. Saran saya, untuk kepentingan publik yang lebih besar, kurangilah goreng-menggoreng politik yang tidak perlu.
Musim pilkada itu serupa musim layang-layang. Anjungkan sajalah setinggi-tingginya layang-layang kelompok masing-masing. Merobek kertas atap layang-layang kawan, sekali jangan.
Padang, 8 Agustus 2020